Rabu, 19 Juni 2013

SONIA SWAN BAB 17: BAD



BAB 17



BAB 17

Belum pernah aku merasakan perasaan sesedih ini sebelumnya. Hari ini aku kehilangan dua orang sahabatku. Aku tidak menyangka, sebegitu banyak aku berdoa meminta pada Tuhan tuntuk kesembuhan Nick, tapi malah permintaan terakhirku yang dikabulkan dengan sangat cepat, secepat internet habis ganti modem.

Aku masih menangis tersedu dalam pelukannya. Seperti tidak ingin melepaskannya. Entah sudah berapa lama aku tidak ingat lagi sampai airmataku serasa tak bisa lagi keluar. Semuanya tak lagi terasakan. Aku seperti berada di suatu tempat yang tak bisa kujelaskan. Hembusan anginnya sejuk dan terkadang kencang seperti di sebuah pantai tapi tidak ada lautan. Yang ada hanyalah kabut tebal yang sesekali menutupi jalan di depanku dan terkadang menutupi semuanya seakan aku melayang berjalan di atas awan. Intinya, aku merasa tidak sedang di bumi.

Dari balik kabut yang sedikit memudar, terlihat dua orang bergandengan berjalan menuju padaku. Semakin lama semakin dekat dan aku bisa mengenali mereka. Salah satunya Nick dan yang satunya gadis yang sangat cantik. Aira. 100% aku yakin jika aku memang sedang bermimpi. Tapi mungkin juga aku ikutan mati.

“Nick? Aira?” aku mencoba memanggil mereka dan mereka hanya tersenyum ramah. “Benarkah itu kalian?”
“Untuk apa kamu di sini, Sonia?” tanya Aira.
“Aku sedang bermimpi kan?”
“Benar, karena itu cepatlah bangun!” sekali lagi Aira yang menjawab dan Nick hanya diam menggenggam erat tangan Aira. Bagaimanapun, Airalah sumber kebahagiaan Nick. Tak peduli di dunia maupun di akherat. Jika benar, aku memang belum bisa mengikhlaskannya, tidak ada gunanya aku menyusul mereka sampai di sini. Aku hanya akan menghalangi perjalanan panjang mereka. Ingin sekali mengucapkan satu kalimat perpisahan untuk Nick. Tapi bibir tak bisa merangkai kata. Semua seakan tak perlu dijelaskan dengan kata-kata, cukup dimengerti saja.
“Sonia, jaga buku itu ya. Mahal harganya. Aku dan Nick sudah menemukan tujuan kami, dan kamu harus memulai tujuan hidupmu. Jangan sia-siakan dia.”
“Dia siapa?”
“Masih juga kamu mencoba mengingkari hatimu. Jangan melihat isi buku dari sampulnya kan? Bukankah itu kalimat wajib yang sering kita dengar di Kemsas?”
“Nick?”
“Nick milikku, Sonia. Cobalah buka hatimu untuk menerima cahaya baru. Kamu takkan melihat apa-apa jika terus sembunyi dalam kenangan masa lalu. Ok, kami pergi dulu. Senang mengenalmu walau hanya sebentar saja. Satu lagi, aku menitipkan sebuah flashdisk pada mamanya Timur, mintalah. Mudah-mudahan bisa kau gunakan untuk bahan referensi bukumu kelak.”
“Aira, Nick jangan tinggalkan aku sendiri di sini. Aku takut.”
“Selamat tinggal.”
“Nick! Nick! Aira, aku takut!”

Semakin lama suaraku semakin hilang seiring hilangnya bayangan mereka tertutup kabut tipis. Yang aku tahu, sekarang aku sudah berbaring di tempat tidur dan bukan di rumahku. Di sampingku tangan Webe masih menggenggam tanganku dan dia tertidur pulas dengan kepala di sampingku. Ngapain dia di sini? Aku buru-buru menarik tanganku walau tubuhku terasa sangat lemah hingga dia terbangun.

“Sonia, kamu sudah sadar. Jangan bergerak aku panggilkan perawat dulu ya.”
“Aku dimana?”

Jiah. 

Dialogku sinetron banget sih. Sudah tahu akan dipanggilkan perawat, masih juga tanya. ‘aku dimana?’ Bodoh. Harusnya aku tanya gini, ‘kenapa aku bisa berada di sini?’. Hemm, itu juga pasaran. 

“Tipusmu kambuh, dan kamu harus rawat inap beberapa hari.”

Untunglah semua ini hanya mimpi. Jika saat ini aku sedang menjalani rawat inap karena terkena tipus, itu berarti Nick dan Timur tidak jadi meninggal. Mungkin buku itu memang memberikan sebuah keajaiban.

“Kenapa kamu yang jaga aku? Mana papa dan mamaku?” tanyaku merasa pengulangan waktu yang kualami ini sama membingungkannya dengan yang pernah David alami.
“Sedang menebus obat dan mencari sarapan.”
“Kamu tidak sekolah?”
“Hari ini Minggu.”
“Minggu? Berapa lama aku ga sadar?”
“Sekitar tiga hari.”
“Tiga hari? Aku ingin bertemu Nick.”
“Sonia. Istirahatlah dulu.”
“Jangan sok perhatian, Webe. Ada yang harus kukatakan pada Nick sebelum semua terlambat.”
“Nick sudah tidak ada. Apa kamu benar-benar tidak ingat semua itu?”
Aku kembali menangis. Ternyata yang sekarang terjadi padaku tidaklah sama seperti yang terjadi pada David. Nick dan Aira memang benar-benar sudah meninggal.
“Sonia.”
“Pergilah. Aku tidak akan pernah memaafkanmu. Pergi!” kataku mengusirnya dari kamarku.

Sedih sekali rasanya mengetahui kenyataan bahwa tak ada yang berubah. Mimpi itu memang mungkin salam perpisahan langsung dari mereka. Sudah seminggu setelah pulang dari rumah sakit, aku masih belum mau menyapa Webe. Aku masih belum bisa memaafkan semua kesalahannya. Hampir setiap hari dia datang ke rumah walau hanya beberapa menit saja hanya sekedar menanyakan keadaanku. Aku tidak peduli dia akan datang berapa kali. Tidak akan mempengaruhi simpatiku padanya.

Sejak kepergian Nick dan Timur, aku semakin banyak diam. Hari-hariku di sekolah juga terkesan hambar. Aku seperti kehilangan motivasi untuk pergi ke sekolah. Saat istirahat, banyak waktuku kuhabiskan untuk membaca di perpustakaan atau di mushola. Entahlah, sulit sekali untuk move on. Banyak juga teman-teman yang menaruh simpati padaku, mungkin sekarang mereka banyak yang tahu jika aku memang menyukai Nick, bukan Timur. 

Terkadang setelah pulang sekolah, aku sering pergi ke makam Nick. Aku tahu Webe sering mengikutiku. Terserah saja maunya. Aku tidak berkepentingan dengannya.
 
Makam Nick bersebelahan dengan makam Aira, dan makam Timur tidak jauh dari makam mereka. Walau mungkin Timur tidak mengenal aku selama hidupnya, tapi tubuhnya pernah menjadi sahabatku. Tidak ada salahnya aku membersihkan juga makamnya.

Aktifitas itu hampir rutin kulakukan setiap harinya. Sesampai di rumah, aku melihat papa sedang berbincang dengan mama dengan ekspresi wajah penuh kegembiraan. Dapat bonus apa lagi coba? Kenapa aku tidak bisa sehepi mereka ya? Pulang selalu telat. Mama dan papa juga sudah terbiasa dengan hal itu. Mereka mengira aku sibuk belajar kelompok karena nilaiku akhir-akhir ini memang selalu naik. Beberapa ulangan harian yang kudapat banyak yang dapat A.

“Sonia, kemari sebentar,” panggil papa.
“Sebentar, Pa,” jawabku malas dan mengemas lagi buku yang tadi sudah kupilah-pilah mana dahulu yang akan kubaca.
“Nanti malam mau makan dimana?”
“Di rumah saja lah. Emang ulang tahun siapa?”
“Katakan ga, Ma?”

Kok papa dan mama jadi Alay plus lebay kaya sinetron gini ya? Ga jaman lagi deh main sinetron-sinetronan ga penting macam gini. Masang muka meleleh.

“Papa naik pangkat, Son,” jiah hanya itu toh. Mana surprise yang tadi kuharapkan coba? “Kok mukamu datar gitu?”
“Kirain ada apa deh, Pa.”
“Bukankah ini kabar yang membahagiakan? Papa tahu kamu masih sedih atas kepergian pacarmu, Sonia. Tapi kamu tidak boleh terus larut dalam duka dan menghukum diri seperti itu terus menerus.”
“Aku sudah ga sedih lagi kok.”
“Kalau begitu senyum dong.”
“Sudah nih,” kataku sambil memaksakan senyum di bibirku.
“Ada pergantian Dewan Komisaris di perusahaan papa dan papa ditunjuk sebagai salah satu manajernya, Sonia. Bukankah ini sebuah berita yang harus kita rayakan. Dengan begini, kamu besok bisa melanjutkan kuliah kemanapun kamu mau. Insya Allah, papa bisa mengumpulkan uangnya dari sekarang.”

Aku memeluk papa dan tersentuh dengan tekat beliau untuk menyekolahkanku lebih tinggi lagi. Dengan jabatan papa yang dulu yang hanya sebagai seorang supervisor, akan sulit bagi keluarga kami untuk membiayai sekolahku. Saat ini saja aku masih sering mengandalkan uang beasiswa. Tapi aku tidak heran jika papa bisa meraih jabatan itu. Papa seorang pekerja yang ulet. Walau dulu hanya seorang supervisor, tapi papa bisa membeli mobil juga walau tidak mewah.

“Ya, saya sendiri, Pak,” kata papa menerima telepon sepertinya dari orang penting. “Tapi saya sudah berjanji dengan putri saya untuk makan di luar, Pak. Bukan tidak bisa, tapi saya tidak ingin mengecewakan dia. Ya. Saya paham, terima kasih, Pak. ok, nanti saya coba bicarakan dulu dengan putri saya jika ini memang masalah penting. Sama-sama,Pak. Waalaikumussalam.”
“Dari siapa, Pa?” tanyaku ingin tahu pembicaraan papa tadi.
“Ternyata malam ini ada pisah sambut di kantor, Son. Biasa acara pergantian jajaran direksi dan manajer baru. Tapi tidak apa-apa kok, beliau juga mengerti jika papa sudah ada acara.”
“Ya, ga boleh gitu dong, Pa. Papa boleh kok ikut acara itu. Aku juga masih banyak tugas.”
“Acara ini biasanya dihadiri oleh seluruh anggota keluarga, Sonia. Seperti makan bersama di restoran dan perjamuan resmi. Aku tahu acara ini pasti akan membuatmu jemu, jadi papa batalkan saja dan kita bisa cari tempat lain dimanapun kamu menyukainya.”

Aku tahu acara ini penting buat papa. Pertama papa menjabat jabatan baru dan mungkin harus kenal dengan banyak relasi baru. Kedua papa mungkin memang ingin menghadiri acara itu, tapi takut mengecewakanku jika membatalkan acara makan malam keluarga keluar denganku. Masa juga aku tidak mau membuat papa senang.

“Bukankah nanti acaranya sama-sama makan malam kan, Pa? tidak ada salahnya Sonia tahu relasi baru papa, kan?”
“Jadi kamu tidak keberatan ikut acara kantor papa ya, ih kamu memang puteri papa yang paling baik.”
“Kok papa jadi lebay gini sih, Pa?”
“Hahhaha,” mama hanya tertawa mendengar pembicaraan kami.

Aku tidak biasa berpakain formal kaya gini. Apa lagi acara table manner yang penuh aturan. Menurutku lebih nyaman makan di kedai makan kecil atau di warung sate tempat dulu kami biasa rekreasi keluarga. Tidak apa-apa lah, Sonia. Demi masa depan papamu. 

Ini untuk apa coba? Banyak sekali peralatan makan yang tidak kuketahui gunanya. Papa memberitahu kami step demi step menu yang akan keluar beserta cara makannya. Benar kata papa, ini sangat membosankan. Saat tahu tamu utamanya yang tadi sedikit datang terlambat, kaget bukan main.

What?

Kata wajib ini harus kuucapkan tanpa mengurangi unsur lebaynya. Sekali lagi ah, “WHATTTTTTT?”

Jadi Ketua Dewan Komisaris yang baru itu adalah ayahnya Webe? Dia sendiri melangkah di belakang ayahnya dengan stelan jas yang awesome banget. Belum pernah aku melihat Webe seganteng ini. 

Hoek-hoek. Ngapain juga aku malah puji-puji dia. Tapi harus kuakui jika dia ganteng banget jika pakai jas dan kesan rapi elitenya terlihat jelas, tidak seperti saat memakai baju seragam dan suka badbay seperti saat di sekolah. Dia melangkah mantap mengikuti ayahnya dari belakang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar