BAB 17
BAB 17
Belum pernah
aku merasakan perasaan sesedih ini sebelumnya. Hari ini aku kehilangan dua
orang sahabatku. Aku tidak menyangka, sebegitu banyak aku berdoa meminta pada
Tuhan tuntuk kesembuhan Nick, tapi malah permintaan terakhirku yang dikabulkan
dengan sangat cepat, secepat internet habis ganti modem.
Aku masih
menangis tersedu dalam pelukannya. Seperti tidak ingin melepaskannya. Entah
sudah berapa lama aku tidak ingat lagi sampai airmataku serasa tak bisa lagi
keluar. Semuanya tak lagi terasakan. Aku seperti berada di suatu tempat yang
tak bisa kujelaskan. Hembusan anginnya sejuk dan terkadang kencang seperti di
sebuah pantai tapi tidak ada lautan. Yang ada hanyalah kabut tebal yang
sesekali menutupi jalan di depanku dan terkadang menutupi semuanya seakan aku
melayang berjalan di atas awan. Intinya, aku merasa tidak sedang di bumi.
Dari balik
kabut yang sedikit memudar, terlihat dua orang bergandengan berjalan menuju
padaku. Semakin lama semakin dekat dan aku bisa mengenali mereka. Salah satunya
Nick dan yang satunya gadis yang sangat cantik. Aira. 100% aku yakin jika aku
memang sedang bermimpi. Tapi mungkin juga aku ikutan mati.
“Nick? Aira?”
aku mencoba memanggil mereka dan mereka hanya tersenyum ramah. “Benarkah itu
kalian?”
“Untuk apa kamu
di sini, Sonia?” tanya Aira.
“Aku sedang
bermimpi kan?”
“Benar, karena
itu cepatlah bangun!” sekali lagi Aira yang menjawab dan Nick hanya diam
menggenggam erat tangan Aira. Bagaimanapun, Airalah sumber kebahagiaan Nick.
Tak peduli di dunia maupun di akherat. Jika benar, aku memang belum bisa
mengikhlaskannya, tidak ada gunanya aku menyusul mereka sampai di sini. Aku
hanya akan menghalangi perjalanan panjang mereka. Ingin sekali mengucapkan satu
kalimat perpisahan untuk Nick. Tapi bibir tak bisa merangkai kata. Semua seakan
tak perlu dijelaskan dengan kata-kata, cukup dimengerti saja.
“Sonia, jaga
buku itu ya. Mahal harganya. Aku dan Nick sudah menemukan tujuan kami, dan kamu
harus memulai tujuan hidupmu. Jangan sia-siakan dia.”
“Dia siapa?”
“Masih juga
kamu mencoba mengingkari hatimu. Jangan melihat isi buku dari sampulnya kan?
Bukankah itu kalimat wajib yang sering kita dengar di Kemsas?”
“Nick?”
“Nick milikku,
Sonia. Cobalah buka hatimu untuk menerima cahaya baru. Kamu takkan melihat
apa-apa jika terus sembunyi dalam kenangan masa lalu. Ok, kami pergi dulu.
Senang mengenalmu walau hanya sebentar saja. Satu lagi, aku menitipkan sebuah
flashdisk pada mamanya Timur, mintalah. Mudah-mudahan bisa kau gunakan untuk
bahan referensi bukumu kelak.”
“Aira, Nick
jangan tinggalkan aku sendiri di sini. Aku takut.”
“Selamat
tinggal.”
“Nick! Nick! Aira,
aku takut!”
Semakin lama
suaraku semakin hilang seiring hilangnya bayangan mereka tertutup kabut tipis.
Yang aku tahu, sekarang aku sudah berbaring di tempat tidur dan bukan di
rumahku. Di sampingku tangan Webe masih menggenggam tanganku dan dia tertidur
pulas dengan kepala di sampingku. Ngapain dia di sini? Aku buru-buru menarik
tanganku walau tubuhku terasa sangat lemah hingga dia terbangun.
“Sonia, kamu
sudah sadar. Jangan bergerak aku panggilkan perawat dulu ya.”
“Aku dimana?”
Jiah.
Dialogku sinetron
banget sih. Sudah tahu akan dipanggilkan perawat, masih juga tanya. ‘aku
dimana?’ Bodoh. Harusnya aku tanya gini, ‘kenapa aku bisa berada di sini?’.
Hemm, itu juga pasaran.
“Tipusmu
kambuh, dan kamu harus rawat inap beberapa hari.”
Untunglah semua
ini hanya mimpi. Jika saat ini aku sedang menjalani rawat inap karena terkena
tipus, itu berarti Nick dan Timur tidak jadi meninggal. Mungkin buku itu memang
memberikan sebuah keajaiban.
“Kenapa kamu
yang jaga aku? Mana papa dan mamaku?” tanyaku merasa pengulangan waktu yang
kualami ini sama membingungkannya dengan yang pernah David alami.
“Sedang menebus
obat dan mencari sarapan.”
“Kamu tidak
sekolah?”
“Hari ini
Minggu.”
“Minggu? Berapa
lama aku ga sadar?”
“Sekitar tiga
hari.”
“Tiga hari? Aku
ingin bertemu Nick.”
“Sonia.
Istirahatlah dulu.”
“Jangan sok
perhatian, Webe. Ada yang harus kukatakan pada Nick sebelum semua terlambat.”
“Nick sudah
tidak ada. Apa kamu benar-benar tidak ingat semua itu?”
Aku kembali
menangis. Ternyata yang sekarang terjadi padaku tidaklah sama seperti yang
terjadi pada David. Nick dan Aira memang benar-benar sudah meninggal.
“Sonia.”
“Pergilah. Aku
tidak akan pernah memaafkanmu. Pergi!” kataku mengusirnya dari kamarku.
Sedih sekali
rasanya mengetahui kenyataan bahwa tak ada yang berubah. Mimpi itu memang
mungkin salam perpisahan langsung dari mereka. Sudah seminggu setelah pulang
dari rumah sakit, aku masih belum mau menyapa Webe. Aku masih belum bisa
memaafkan semua kesalahannya. Hampir setiap hari dia datang ke rumah walau
hanya beberapa menit saja hanya sekedar menanyakan keadaanku. Aku tidak peduli
dia akan datang berapa kali. Tidak akan mempengaruhi simpatiku padanya.
Sejak kepergian Nick dan Timur, aku
semakin banyak diam. Hari-hariku di sekolah juga terkesan hambar. Aku seperti
kehilangan motivasi untuk pergi ke sekolah. Saat istirahat, banyak waktuku
kuhabiskan untuk membaca di perpustakaan atau di mushola. Entahlah, sulit
sekali untuk move on. Banyak juga teman-teman yang menaruh simpati padaku,
mungkin sekarang mereka banyak yang tahu jika aku memang menyukai Nick, bukan
Timur.
Terkadang setelah pulang sekolah, aku
sering pergi ke makam Nick. Aku tahu Webe sering mengikutiku. Terserah saja
maunya. Aku tidak berkepentingan dengannya.
Makam Nick
bersebelahan dengan makam Aira, dan makam Timur tidak jauh dari makam mereka.
Walau mungkin Timur tidak mengenal aku selama hidupnya, tapi tubuhnya pernah
menjadi sahabatku. Tidak ada salahnya aku membersihkan juga makamnya.
Aktifitas itu
hampir rutin kulakukan setiap harinya. Sesampai di rumah, aku melihat papa
sedang berbincang dengan mama dengan ekspresi wajah penuh kegembiraan. Dapat
bonus apa lagi coba? Kenapa aku tidak bisa sehepi mereka ya? Pulang selalu
telat. Mama dan papa juga sudah terbiasa dengan hal itu. Mereka mengira aku
sibuk belajar kelompok karena nilaiku akhir-akhir ini memang selalu naik.
Beberapa ulangan harian yang kudapat banyak yang dapat A.
“Sonia, kemari
sebentar,” panggil papa.
“Sebentar, Pa,”
jawabku malas dan mengemas lagi buku yang tadi sudah kupilah-pilah mana dahulu
yang akan kubaca.
“Nanti malam
mau makan dimana?”
“Di rumah saja
lah. Emang ulang tahun siapa?”
“Katakan ga,
Ma?”
Kok papa dan
mama jadi Alay plus lebay kaya sinetron gini ya? Ga jaman lagi deh main
sinetron-sinetronan ga penting macam gini. Masang muka meleleh.
“Papa naik
pangkat, Son,” jiah hanya itu toh. Mana surprise yang tadi kuharapkan coba?
“Kok mukamu datar gitu?”
“Kirain ada apa
deh, Pa.”
“Bukankah ini
kabar yang membahagiakan? Papa tahu kamu masih sedih atas kepergian pacarmu,
Sonia. Tapi kamu tidak boleh terus larut dalam duka dan menghukum diri seperti
itu terus menerus.”
“Aku sudah ga
sedih lagi kok.”
“Kalau begitu
senyum dong.”
“Sudah nih,”
kataku sambil memaksakan senyum di bibirku.
“Ada pergantian
Dewan Komisaris di perusahaan papa dan papa ditunjuk sebagai salah satu
manajernya, Sonia. Bukankah ini sebuah berita yang harus kita rayakan. Dengan
begini, kamu besok bisa melanjutkan kuliah kemanapun kamu mau. Insya Allah, papa
bisa mengumpulkan uangnya dari sekarang.”
Aku memeluk
papa dan tersentuh dengan tekat beliau untuk menyekolahkanku lebih tinggi lagi.
Dengan jabatan papa yang dulu yang hanya sebagai seorang supervisor, akan sulit
bagi keluarga kami untuk membiayai sekolahku. Saat ini saja aku masih sering
mengandalkan uang beasiswa. Tapi aku tidak heran jika papa bisa meraih jabatan
itu. Papa seorang pekerja yang ulet. Walau dulu hanya seorang supervisor, tapi
papa bisa membeli mobil juga walau tidak mewah.
“Ya, saya
sendiri, Pak,” kata papa menerima telepon sepertinya dari orang penting. “Tapi
saya sudah berjanji dengan putri saya untuk makan di luar, Pak. Bukan tidak
bisa, tapi saya tidak ingin mengecewakan dia. Ya. Saya paham, terima kasih,
Pak. ok, nanti saya coba bicarakan dulu dengan putri saya jika ini memang
masalah penting. Sama-sama,Pak. Waalaikumussalam.”
“Dari siapa,
Pa?” tanyaku ingin tahu pembicaraan papa tadi.
“Ternyata malam
ini ada pisah sambut di kantor, Son. Biasa acara pergantian jajaran direksi dan
manajer baru. Tapi tidak apa-apa kok, beliau juga mengerti jika papa sudah ada
acara.”
“Ya, ga boleh
gitu dong, Pa. Papa boleh kok ikut acara itu. Aku juga masih banyak tugas.”
“Acara ini
biasanya dihadiri oleh seluruh anggota keluarga, Sonia. Seperti makan bersama
di restoran dan perjamuan resmi. Aku tahu acara ini pasti akan membuatmu jemu,
jadi papa batalkan saja dan kita bisa cari tempat lain dimanapun kamu
menyukainya.”
Aku tahu acara
ini penting buat papa. Pertama papa menjabat jabatan baru dan mungkin harus
kenal dengan banyak relasi baru. Kedua papa mungkin memang ingin menghadiri
acara itu, tapi takut mengecewakanku jika membatalkan acara makan malam
keluarga keluar denganku. Masa juga aku tidak mau membuat papa senang.
“Bukankah nanti
acaranya sama-sama makan malam kan, Pa? tidak ada salahnya Sonia tahu relasi
baru papa, kan?”
“Jadi kamu
tidak keberatan ikut acara kantor papa ya, ih kamu memang puteri papa yang
paling baik.”
“Kok papa jadi
lebay gini sih, Pa?”
“Hahhaha,” mama
hanya tertawa mendengar pembicaraan kami.
Aku tidak biasa
berpakain formal kaya gini. Apa lagi acara table manner yang penuh aturan.
Menurutku lebih nyaman makan di kedai makan kecil atau di warung sate tempat
dulu kami biasa rekreasi keluarga. Tidak apa-apa lah, Sonia. Demi masa depan
papamu.
Ini untuk apa
coba? Banyak sekali peralatan makan yang tidak kuketahui gunanya. Papa
memberitahu kami step demi step menu yang akan keluar beserta cara makannya.
Benar kata papa, ini sangat membosankan. Saat tahu tamu utamanya yang tadi
sedikit datang terlambat, kaget bukan main.
What?
Kata wajib ini
harus kuucapkan tanpa mengurangi unsur lebaynya. Sekali lagi ah, “WHATTTTTTT?”
Jadi Ketua
Dewan Komisaris yang baru itu adalah ayahnya Webe? Dia sendiri melangkah di
belakang ayahnya dengan stelan jas yang awesome banget. Belum pernah aku
melihat Webe seganteng ini.
Hoek-hoek.
Ngapain juga aku malah puji-puji dia. Tapi harus kuakui jika dia ganteng banget
jika pakai jas dan kesan rapi elitenya terlihat jelas, tidak seperti saat
memakai baju seragam dan suka badbay seperti saat di sekolah. Dia melangkah
mantap mengikuti ayahnya dari belakang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar