BAB 23
Hari ini aku harus menemui Aira. Jika
aku ngajak Webe, pasti dia akan menanyakan macam-macam. Dia selalu khawatir
setiap kali aku membicarakan tentang Aira. Tapi aku tidak tahu dimana rumahnya.
Akhirnya aku hanya bisa menunggu di Makam Nick, dan seperti dugaanku dia pasti
akan ke makam ini.
“Hai, kamu lagi,” sapa Aira ramah.
“Berikan buku yang kemarin, Aira?”
tanpa banyak kata aku langsung meminta buku yang kemarin dibeli Webe untuknya.
“Di rumah. Emang ada apa?” tanya Aira
bingung dengan sikapku.
“Jangan baca buku itu, Aira. Semua itu
untuk kebaikanmu. Satu hal lagi, ikhlaskan Nick. Kamu tidak harus terus hidup
di masa lalu seperti ini terus kan.”
“Kamu kenal Nick?”
“Ya. Dia teman sekelasku. Hanya itu
yang bisa kusampaikan padamu. Bagaimana bisa kita ambil buku itu sekarang?”
“Tunggu dulu, sepertinya kamu tahu
banget hubunganku dengan Nick. Apa Nick banyak cerita tentang aku padamu? Dia
cerita apa saja?”
Ya Tuhan. Mau ngomong apa lagi nih. Dia
malah sepertinya jadi curiga padaku. Emang sih, aku dulu juga suka sama Nick,
tapi kan dia juga yang minta agar aku bersama Nick.
“Sulit menjelaskannya, Aira.”
“Eh, kemarin namamu siapa?”
“Sonia. Bagaimana bisa kita ambil
sekarang?”
“Sonia, kamu yang kemarin mengira aku
itu hantu kan? Apa karena namaku sama dengan nama di sebelah makam Nick ya?
Terus bagaimana kamu bisa tahu jika namaku Aira?”
“Aduh, Aira. Kok kamu cerewet banget
sih. Anggap saja dulu aku kenal dengan reinkarnasimu, cukup masuk akal tidak.
Dan sekarang Reinkarnasimu itu minta aku menyelamatkanmu dari kutukan buku
itu.”
“Hahahaha, kamu pasti seorang penulis.
Iya, buku itu memang bagus. Aku sudah membacanya sebagian. Kalau kamu memang
inginkan buku itu, nanti kuberikan. Tapi aku masih penasaran kenapa kamu bisa
kenal aku. Padahal aku merasa tidak mengenalmu sebelumnya.”
“Lanjutkan saja ceritanya nanti deh.”
Kami beranjak pulang mengambil buku
itu. Mana Webe nelponin terus lagi, karena hari ini aku bolos sekolah. Aku
sudah jawab jika aku sekarang baru mau ke rumah Aira, eh dianya nanya rumah
Aira dimana. Mana aku tahu. Baru kujawab saat aku sampai di halaman rumahnya
dan SMS alamatnya. Khawatir banget dia.
“Duduk dulu, aku buatin minum ya?” kata
Aira ramah.
“Terima kasih, aku puasa.”
“Oh, sebentar ya kuambilkan buku itu.
Emang ada apa dengan buku itu?”
“Kamu sudah baca sampai bab berapa?”
“Kalau ga salah Bab 24.”
“Hah, berati sudah sampai David menjadi
pacarku? Maksudku David jadian sama Sonia, tapi bingung kapan jadiannya itu
ya?”
“Hafal banget. Iya. Ada apa sih?
Sepertinya kamu serius banget. Santai aja kali. Itu kan hanya cerita fiksi.
Tapi memang buku itu ceritanya berputar-putar sedikit membingungkan.”
Kamu
tidak tahu Aira, jika buku itu akan membawa kutukan padamu untuk menjalani
kisah sedihmu terus-menerus bersama Nick bahkan jika kamu mati, akan hidup dalam
cerita yang berbeda. Itu karena aku peduli padamu tahu.
“Bisa ambilkan buku itu sekarang?”
“Sebentar ya.”
Kok aku merasa ada yang mengawasiku ya?
Apa ini hanya perasaanku? Apa mungkin Edward William White sekarang sedang
mengintaiku dan bersiap-siap akan membunuhku di tengah perjalanan pulang nanti?
Aku jadi takut sendiri nih. Apa aku harus telepon Webe agar dia bisa
melindungiku ya? Aku mulai memencet tombol ponselku untuk menghubungi Webe,
tapi tiba-tiba Aira datang dari dalam dan membuatku terkejut.
“Kamu itu kalau lihat aku kaya lihat
hantu saja, Sonia. Ini bukunya.”
Emang kamu hantu gitu.
“Aku hanya terkejut saja, karena tadi
tuh baru mau hubungi temanku.”
“Teman atau pacar kamu yang keren itu?
Hanya pesan saja, Sonia. Jangan pernah sia-siakan orang yang benar-benar
mencintaimu. Aku lihat dia tuh cowok yang baik dan sangat mencintaimu,
kelihatan banget loh dari tatapan matanya.”
“Bisa ceritakan hubunganmu dengan
Nick,” aku ingin tahu cerita versi Aira yang ini.
“Kami mungkin memang tidak berjodoh ya.
Saat aku mendapatkan beasiswa sekolah di luar kota, kami harus berpisah. Aku
berharap setelah lulus nanti, kami bisa kuliah di universitas yang sama. Tapi
beberapa waktu yang lalu baru aku tahu jika dia sudah meninggal dunia. Ingin
mati juga rasanya. Aku selalu bermimpi buruk saat memimpikan Nick, Sonia.
Banyak sekali seperti kumpulan cerpen yang berakhir dengan perpisahan. Tidak
tahunya semua ini adalah firasat jika aku memang harus kehilangannya,” kata
Aira mengakhiri ceritanya.
“Kenapa kamu tidak mencoba
mengikhlasnya saja? Bukankah itu akan mengurangi bebanmu. Daripada kamu setiap
hari hanya mengiriminya origami kertas juga tidak akan mengembalikannya hidup
kembalikan?”
“Nick itu percaya apada keajaiban,
Sonia,” ya aku tahu. “Terkadang aku
berharap ada pengulangan waktu bagiku untuk memperbaiki semuanya. Saat aku
membaca buku itu, aku berharap memiliki agenda yang bisa memutar balikkan waktu
hingga aku tak perlu menerima beasiswa itu dan bisa bersama Nick. Setidaknya
bisa berada di sampingnya saat dia meninggal dunia. Bukan seperti ini, hanya
bisa mengunjungi makamnya setiap harinya.”
Sebaiknya
kamu tidak membuat permohonan seperti itu, Aira.
Aku tidak bisa menjelaskan lagi hal
yang mungkin akan ditertawakannya. Bagaimana jika kutunjukkan saja isi
flashdisk itu agar dia lebih mengerti maksudku ya? Tapi flashdisk itu
tertinggal di rumah. Lain waktu saja deh. Saat aku mau pamit pulang, kulihat
cowok berjaket coklat itu sudah ada di depan halaman Aira. Mati deh aku. Dia
tahu jika aku ada di sini dan mengambil buku yang memang dititipkannya untuk
Aira.
“Hai, ketemu lagi,” sapa dia dengan
senyum yang membuatku merinding setelah tahu jika dia itu entah apa. Bukan kata
yang tepat. Tapi harus menyebut dia apa juga aku tidak bisa mendeskripsikannya.
“Hai, masuklah,” kata Aira malah
terlihat senang bertemu dengan malaikat mautnya. “Buku kamu yang kemarin itu
keren banget loh, endingnya bagaimana?”
“Belum baca ya?”
“Belum selesai sih, tapi akan dipinjam
temanku dulu.”
“Hahaha, Sonia. Bukankah kamu sudah
punya satu, kenapa masih pinjam punya orang lain juga hayoo. Ketahuan jika kamu
ngefans sama aku kan?” kata Edward seperti ingin memperingatkanku dengan tata
bahasa yang lain.
“Aku..” mendadak tanganku gemetaran
hingga buku itu terjatuh dan diambil lagi olehnya. Aduh, apa dia juga mau cekik
aku coba? Kalau lari mau lari kemana.
“Jatuh nih. Aku masih punya satu buku
baru lagi. Mau baca. Nih aku baca satu. Agak tebal juga sih.”
“Aku mau, tapi jangan mahal-mahal lah
harganya,” kata Aira malah semangat banget mau baca buku kutukannya.
“Limited Edition. Jadi harganya mahal
dong.”
“Apa nih, MIB?”
“Message In the Bottle.”
“Ceritanya tentang apa?”
“Jangan!” cegahku.
“Kamu mau baca juga, Sonia?” kata
Edward dengan tatapan matanya yang membuatku menunduk saat itu juga.
“Tidak.”
“Lalu? Kenapa Aira tidak boleh
membacanya?”
“Aku tidak ingin dia menyesal.”
“Sonia, kamu tidak apa-apa kan? Kok
dari tadi kamu aneh begitu?”
“Mungkin Sonia, ingin bicara empat mata
saja denganku, Aira. Bagaimana, Sonia? Ada yang ingin kamu sampaikan?” tanya
Edward membuatku semakin takut.
“Tidak.”
“Ok, semoga saja kamu tidak lupa dengan
semua yang pernah kamu baca. Aku pergi dulu deh jika tidak ada yang mau beli,”
kata Edward mengingatkanku akan pesan yang dikirimkannya kemarin.
“Harganya berapa?” tanya Aira.
“Lima ratus ribu saja.”
“Hah mahal banget. Eh, bisa beli di
mana lagi?”
“Belum ada di toko buku lah, kan tadi
kubilang limited edition. Bagaimana?”
“Biar aku yang beli,” tiba-tiba Webe
sudah turun dari motornya dan langsung membeli buku itu tanpa menanyakan untuk
apa.
Senang sekali melihat Webe datang. Aku
merasa ada orang yang menyelamatkan nyawaku dari ujung pedang.
“Ok, kamu memang pengamat buku yang
baik,” kata Edward memberikan buku itu pada Webe dan beranjak pergi sambil
tertawa seperti waktu itu.
Aku tidak tahu kenapa aku langsung
memeluk erat Webe setelah dia pergi dengan tubuh menggigil ketakutan. Webe
merasa bingung lalu bertanya pada Aira tentang apa yang sebenarnya terjadi
padaku. Dia hanya mengangguk setelah beberapa saat bicara dengan Aira tanpa aku
tahu lagi dia bicara apa karena rasa takutku yang teramat sangat melihat cowok
berbaju coklat tadi.
“Webe kenapa kamu membawaku ke rumah
sakit?” tanyaku saat tahu dia memarkir motornya di halaman rumah sakit.
“Kan kamu tadi sakit?”
“Aku takut bukan sakit.”
“Takut kenapa?”
“Aku takut dengan Edward.”
“Penjual buku tadi?”
“Iya, dia itu bukan manusia. Kamu harus
mempercayaiku.”
“Sonia. Jangan bercanda ah. Kita pulang
saja ya?”
“Iya. Cepetan ya.”
Sesampai di rumah aku langsung masuk
kamar dan mencabuti seluruh kabel yang terhubung ke PC-ku. Aku takut Edward
secara diam-diam sudah masuk jaringan di kamarku dan menerorku nanti malam.
Papa dan mama terlihat khawatir setelah berbicara dengan Webe. Mereka
mendiskusikan sesuatu dengan Webe di ruangan bawah dan aku hanya menggigil di
atas ranjang menarik selimutku. Aku tidak berani menyentuh buku itu.
Sudah dua hari aku tidak keluar dari
kamarku. Webe juga memintaku menjelaskan sesuatu tentang Edward, tapi setiap
kali aku menjelaskan yang sebanranya, dia malah memelukku erat dan terkadang
meneteskan airmatanya. Tubuhku semakin kecil karena tipusku kambuh lagi telat
makan. Kali ini papa dan mama tidak membawaku ke dokter, karena aku tidak mau
keluar dari kamarku. Mereka malah membawakan seorang dokter yang saat kulihat
namanya ternyata papa malah membawa dokter yang menangani tentang kejiwaanku. Apa tidak salah? Aku tidak gila, Pa.
“Ma, aku tidak gila, Ma. Edward William
White itu memang sengaja membuat semua ini seakan aku gila. Dia yang mengatur
semuanya, Ma. Percayalah. Paling dia juga yang mengirim dokter palsu ini,”
kataku sambil menangis memeluk mama.
“Iya, sayang. Sabar ya, kami akan
berusaha sebaik mungkin,” kata mama memelukku erat.
“Mama percaya padaku, kan?”
“Percaya. Sekarang istirahatlah dan
biarkan dirimu tenang setelah minum obat ini.”
“Aku tidak mau minum obat ini, Ma. Aku
tidak gila. Aku bisa buktikan semuanya jika aku tidak gila. Edward William
White yang sengaja mengacaukan jalan hidupku karena dia itu virus. Dia yang
melakukan semua ini agar terlihat nyata jika aku memang gila.”
Mama mendekapku erat dan kulihat Webe
menghampiri kami. Dia berbisik pada mama lalu mama keluar meninggalkan kami
berdua. Hanya Webe yang tahu pasti jika Edward William White itu nyata. Dia
juga yang membeli buku itu darinya. Dia pasti akan mempercayai semua ceritaku. Aku
berharap dia bisa tetap menjagaku dari ancaman Edward yang bisa hadir
sewaktu-waktu.
“Kamu percaya jika aku tidak gila kan?”
kataku menggenggam tangan Webe dan berharap dia mengiyakannya. Dia hanya
menggangguk.
“Aku pasti akan ada untukmu,” jawab
menarikku dalam peluknya.
“Aku bisa membuktikannya, Webe. Semua
ada di flashdisk Aira, dan setelah aku membukanya Edward mengancamku. Dia itu
Virus. Dia adalah Hacker yang mampu mengacaukan kehidupan seseorang seperti
kehidupan Aira. Percayalah. Aku takut sekali padanya. Kita harus membakar buku
itu.”
“Nanti biar aku yang membakarnya,
Sonia. Kamu istirahat saja dulu.”
Dari tatapan mata Webe yang menatap
sedih padaku, aku semakin yakin jika dia juga menganggapku gila. Bagaimana
harus berkata benar jika seluruh dunia bilang aku salah? Aku semakin terpuruk
tak tahu lagi harus berbuat apa. Ada kekuatan yang lebih besar yang sulit untuk
kulawan sendirian dan sekarang aku tahu jika Webe pun meyakini jika aku memang
gila.
“Apakah kamu akan tetap ada di sini
jika semua orang mengatakan aku gila?”
“Aku tidak peduli, Sonia. Kamu ya kamu.
Apapun pendapat orang tentang kamu bagiku kamu tetap kamu.”
“Kamu tidak malu mempunyai teman gila
sepertiku.”
“Setiap orang juga terkadang berbuat
gila. Ayahku bahkan berpendapat aku sudah gila karena mencintaimu. Apakah aku
salah jika aku gila seperti itu, tidak. Aku rela gila karena itu. Sekarang
istirahatlah. Jangan pikirkan semua yang membuatmu takut. Jika kau takut,
hubungi aku. Aku sudah membuka Flashdiskmu, Sonia. Lebih baik kau lupakan soal
Aira dan buku itu.”
“Sudah baca pesan Aira? Itu adalah
flasdisk Timur, dan Timur adalah Aira. Dia meninggal karena tak bisa hidup
tanpa Nick.”
“Istirahatlah.”
“Kamu tidak percaya yang kukatakan kan,
Webe? Kamu juga mengganggapku gila seperti skenario Edward kan?”
“Pesan Aira, kamu yang menulisnya,
Sonia. Dari tanggal diketiknya, itu ditulis beberapa hari yang lalu dan Timur
sudah meninggal.”
“Tidak mungkin.”
Aku yakin Edward sengaja mengubah
tanggal pembuatannya agar semua percaya jika aku memang berhalusinasi. Dia
telah membuat semua bukti yang mengarahkanku ke arah kegilaanku. Aku juga
terlalu bodoh bilang jika Timur adalah Aira. Sekarang semua orang sudah
mengganggapku gila termasuk Webe yang awalnya akan mendukung argumenku tentang
Edward.
“Sonia. Kumohon. Aku bisa membawa kamu
kemana saja untuk menyembuhkanmu, asal kamu bersedia. Itu janjiku. Tapi jika
kamu keberatan, aku akan merawat kamu dimanapun kamu mau. Lupakan Edward. Kamu
terlalu terobsesi dengan bukunya dan belum bisa menerima kepergian Nick hingga
menjadi seperti ini,” kata Webe semakin membuatku kecil dan terpuruk untuk
meyakini kebenaran yang kutahu.
Aku tidak bisa berkata apa-apa.
Semuanya semakin jelas jika aku telah kalah oleh Edward William White yang
entah dia itu apa. Aku telah kalah dan kehilangan duniaku dan juga
teman-temanku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar