Rabu, 19 Juni 2013

SONIA SWAN BAB 23: SKIZOFENIA



BAB 23





Hari ini aku harus menemui Aira. Jika aku ngajak Webe, pasti dia akan menanyakan macam-macam. Dia selalu khawatir setiap kali aku membicarakan tentang Aira. Tapi aku tidak tahu dimana rumahnya. Akhirnya aku hanya bisa menunggu di Makam Nick, dan seperti dugaanku dia pasti akan ke makam ini.

“Hai, kamu lagi,” sapa Aira ramah.
“Berikan buku yang kemarin, Aira?” tanpa banyak kata aku langsung meminta buku yang kemarin dibeli Webe untuknya.
“Di rumah. Emang ada apa?” tanya Aira bingung dengan sikapku.
“Jangan baca buku itu, Aira. Semua itu untuk kebaikanmu. Satu hal lagi, ikhlaskan Nick. Kamu tidak harus terus hidup di masa lalu seperti ini terus kan.”
“Kamu kenal Nick?”
“Ya. Dia teman sekelasku. Hanya itu yang bisa kusampaikan padamu. Bagaimana bisa kita ambil buku itu sekarang?”
“Tunggu dulu, sepertinya kamu tahu banget hubunganku dengan Nick. Apa Nick banyak cerita tentang aku padamu? Dia cerita apa saja?”
Ya Tuhan. Mau ngomong apa lagi nih. Dia malah sepertinya jadi curiga padaku. Emang sih, aku dulu juga suka sama Nick, tapi kan dia juga yang minta agar aku bersama Nick.
“Sulit menjelaskannya, Aira.”
“Eh, kemarin namamu siapa?”
“Sonia. Bagaimana bisa kita ambil sekarang?”
“Sonia, kamu yang kemarin mengira aku itu hantu kan? Apa karena namaku sama dengan nama di sebelah makam Nick ya? Terus bagaimana kamu bisa tahu jika namaku Aira?”
“Aduh, Aira. Kok kamu cerewet banget sih. Anggap saja dulu aku kenal dengan reinkarnasimu, cukup masuk akal tidak. Dan sekarang Reinkarnasimu itu minta aku menyelamatkanmu dari kutukan buku itu.”
“Hahahaha, kamu pasti seorang penulis. Iya, buku itu memang bagus. Aku sudah membacanya sebagian. Kalau kamu memang inginkan buku itu, nanti kuberikan. Tapi aku masih penasaran kenapa kamu bisa kenal aku. Padahal aku merasa tidak mengenalmu sebelumnya.”
“Lanjutkan saja ceritanya nanti deh.”

Kami beranjak pulang mengambil buku itu. Mana Webe nelponin terus lagi, karena hari ini aku bolos sekolah. Aku sudah jawab jika aku sekarang baru mau ke rumah Aira, eh dianya nanya rumah Aira dimana. Mana aku tahu. Baru kujawab saat aku sampai di halaman rumahnya dan SMS alamatnya. Khawatir banget dia.

“Duduk dulu, aku buatin minum ya?” kata Aira ramah.
“Terima kasih, aku puasa.”
“Oh, sebentar ya kuambilkan buku itu. Emang ada apa dengan buku itu?”
“Kamu sudah baca sampai bab berapa?”
“Kalau ga salah Bab 24.”
“Hah, berati sudah sampai David menjadi pacarku? Maksudku David jadian sama Sonia, tapi bingung kapan jadiannya itu ya?”
“Hafal banget. Iya. Ada apa sih? Sepertinya kamu serius banget. Santai aja kali. Itu kan hanya cerita fiksi. Tapi memang buku itu ceritanya berputar-putar sedikit membingungkan.”

Kamu tidak tahu Aira, jika buku itu akan membawa kutukan padamu untuk menjalani kisah sedihmu terus-menerus bersama Nick bahkan jika kamu mati, akan hidup dalam cerita yang berbeda. Itu karena aku peduli padamu tahu.

“Bisa ambilkan buku itu sekarang?”
“Sebentar ya.”

Kok aku merasa ada yang mengawasiku ya? Apa ini hanya perasaanku? Apa mungkin Edward William White sekarang sedang mengintaiku dan bersiap-siap akan membunuhku di tengah perjalanan pulang nanti? Aku jadi takut sendiri nih. Apa aku harus telepon Webe agar dia bisa melindungiku ya? Aku mulai memencet tombol ponselku untuk menghubungi Webe, tapi tiba-tiba Aira datang dari dalam dan membuatku terkejut.

“Kamu itu kalau lihat aku kaya lihat hantu saja, Sonia. Ini bukunya.”

Emang kamu hantu gitu.

“Aku hanya terkejut saja, karena tadi tuh baru mau hubungi temanku.”
“Teman atau pacar kamu yang keren itu? Hanya pesan saja, Sonia. Jangan pernah sia-siakan orang yang benar-benar mencintaimu. Aku lihat dia tuh cowok yang baik dan sangat mencintaimu, kelihatan banget loh dari tatapan matanya.”
“Bisa ceritakan hubunganmu dengan Nick,” aku ingin tahu cerita versi Aira yang ini.
“Kami mungkin memang tidak berjodoh ya. Saat aku mendapatkan beasiswa sekolah di luar kota, kami harus berpisah. Aku berharap setelah lulus nanti, kami bisa kuliah di universitas yang sama. Tapi beberapa waktu yang lalu baru aku tahu jika dia sudah meninggal dunia. Ingin mati juga rasanya. Aku selalu bermimpi buruk saat memimpikan Nick, Sonia. Banyak sekali seperti kumpulan cerpen yang berakhir dengan perpisahan. Tidak tahunya semua ini adalah firasat jika aku memang harus kehilangannya,” kata Aira mengakhiri ceritanya.
“Kenapa kamu tidak mencoba mengikhlasnya saja? Bukankah itu akan mengurangi bebanmu. Daripada kamu setiap hari hanya mengiriminya origami kertas juga tidak akan mengembalikannya hidup kembalikan?”
“Nick itu percaya apada keajaiban, Sonia,” ya aku tahu. “Terkadang aku berharap ada pengulangan waktu bagiku untuk memperbaiki semuanya. Saat aku membaca buku itu, aku berharap memiliki agenda yang bisa memutar balikkan waktu hingga aku tak perlu menerima beasiswa itu dan bisa bersama Nick. Setidaknya bisa berada di sampingnya saat dia meninggal dunia. Bukan seperti ini, hanya bisa mengunjungi makamnya setiap harinya.”

Sebaiknya kamu tidak membuat permohonan seperti itu, Aira

Aku tidak bisa menjelaskan lagi hal yang mungkin akan ditertawakannya. Bagaimana jika kutunjukkan saja isi flashdisk itu agar dia lebih mengerti maksudku ya? Tapi flashdisk itu tertinggal di rumah. Lain waktu saja deh. Saat aku mau pamit pulang, kulihat cowok berjaket coklat itu sudah ada di depan halaman Aira. Mati deh aku. Dia tahu jika aku ada di sini dan mengambil buku yang memang dititipkannya untuk Aira.

“Hai, ketemu lagi,” sapa dia dengan senyum yang membuatku merinding setelah tahu jika dia itu entah apa. Bukan kata yang tepat. Tapi harus menyebut dia apa juga aku tidak bisa mendeskripsikannya.
“Hai, masuklah,” kata Aira malah terlihat senang bertemu dengan malaikat mautnya. “Buku kamu yang kemarin itu keren banget loh, endingnya bagaimana?”
“Belum baca ya?”
“Belum selesai sih, tapi akan dipinjam temanku dulu.”
“Hahaha, Sonia. Bukankah kamu sudah punya satu, kenapa masih pinjam punya orang lain juga hayoo. Ketahuan jika kamu ngefans sama aku kan?” kata Edward seperti ingin memperingatkanku dengan tata bahasa yang lain.
“Aku..” mendadak tanganku gemetaran hingga buku itu terjatuh dan diambil lagi olehnya. Aduh, apa dia juga mau cekik aku coba? Kalau lari mau lari kemana.
“Jatuh nih. Aku masih punya satu buku baru lagi. Mau baca. Nih aku baca satu. Agak tebal juga sih.”
“Aku mau, tapi jangan mahal-mahal lah harganya,” kata Aira malah semangat banget mau baca buku kutukannya.
“Limited Edition. Jadi harganya mahal dong.”
“Apa nih, MIB?”
“Message In the Bottle.”
“Ceritanya tentang apa?”
“Jangan!” cegahku.
“Kamu mau baca juga, Sonia?” kata Edward dengan tatapan matanya yang membuatku menunduk saat itu juga.
“Tidak.”
“Lalu? Kenapa Aira tidak boleh membacanya?”
“Aku tidak ingin dia menyesal.”
“Sonia, kamu tidak apa-apa kan? Kok dari tadi kamu aneh begitu?”
“Mungkin Sonia, ingin bicara empat mata saja denganku, Aira. Bagaimana, Sonia? Ada yang ingin kamu sampaikan?” tanya Edward membuatku semakin takut.
“Tidak.”
“Ok, semoga saja kamu tidak lupa dengan semua yang pernah kamu baca. Aku pergi dulu deh jika tidak ada yang mau beli,” kata Edward mengingatkanku akan pesan yang dikirimkannya kemarin.
“Harganya berapa?” tanya Aira.
“Lima ratus ribu saja.”
“Hah mahal banget. Eh, bisa beli di mana lagi?”
“Belum ada di toko buku lah, kan tadi kubilang limited edition. Bagaimana?”
“Biar aku yang beli,” tiba-tiba Webe sudah turun dari motornya dan langsung membeli buku itu tanpa menanyakan untuk apa.

Senang sekali melihat Webe datang. Aku merasa ada orang yang menyelamatkan nyawaku dari ujung pedang.

“Ok, kamu memang pengamat buku yang baik,” kata Edward memberikan buku itu pada Webe dan beranjak pergi sambil tertawa seperti waktu itu.

Aku tidak tahu kenapa aku langsung memeluk erat Webe setelah dia pergi dengan tubuh menggigil ketakutan. Webe merasa bingung lalu bertanya pada Aira tentang apa yang sebenarnya terjadi padaku. Dia hanya mengangguk setelah beberapa saat bicara dengan Aira tanpa aku tahu lagi dia bicara apa karena rasa takutku yang teramat sangat melihat cowok berbaju coklat tadi.

“Webe kenapa kamu membawaku ke rumah sakit?” tanyaku saat tahu dia memarkir motornya di halaman rumah sakit.
“Kan kamu tadi sakit?”
“Aku takut bukan sakit.”
“Takut kenapa?”
“Aku takut dengan Edward.”
“Penjual buku tadi?”
“Iya, dia itu bukan manusia. Kamu harus mempercayaiku.”
“Sonia. Jangan bercanda ah. Kita pulang saja ya?”
“Iya. Cepetan ya.”

Sesampai di rumah aku langsung masuk kamar dan mencabuti seluruh kabel yang terhubung ke PC-ku. Aku takut Edward secara diam-diam sudah masuk jaringan di kamarku dan menerorku nanti malam. Papa dan mama terlihat khawatir setelah berbicara dengan Webe. Mereka mendiskusikan sesuatu dengan Webe di ruangan bawah dan aku hanya menggigil di atas ranjang menarik selimutku. Aku tidak berani menyentuh buku itu.

Sudah dua hari aku tidak keluar dari kamarku. Webe juga memintaku menjelaskan sesuatu tentang Edward, tapi setiap kali aku menjelaskan yang sebanranya, dia malah memelukku erat dan terkadang meneteskan airmatanya. Tubuhku semakin kecil karena tipusku kambuh lagi telat makan. Kali ini papa dan mama tidak membawaku ke dokter, karena aku tidak mau keluar dari kamarku. Mereka malah membawakan seorang dokter yang saat kulihat namanya ternyata papa malah membawa dokter yang menangani tentang kejiwaanku. Apa tidak salah? Aku tidak gila, Pa.

“Ma, aku tidak gila, Ma. Edward William White itu memang sengaja membuat semua ini seakan aku gila. Dia yang mengatur semuanya, Ma. Percayalah. Paling dia juga yang mengirim dokter palsu ini,” kataku sambil menangis memeluk mama.
“Iya, sayang. Sabar ya, kami akan berusaha sebaik mungkin,” kata mama memelukku erat.
“Mama percaya padaku, kan?”
“Percaya. Sekarang istirahatlah dan biarkan dirimu tenang setelah minum obat ini.”
“Aku tidak mau minum obat ini, Ma. Aku tidak gila. Aku bisa buktikan semuanya jika aku tidak gila. Edward William White yang sengaja mengacaukan jalan hidupku karena dia itu virus. Dia yang melakukan semua ini agar terlihat nyata jika aku memang gila.”

Mama mendekapku erat dan kulihat Webe menghampiri kami. Dia berbisik pada mama lalu mama keluar meninggalkan kami berdua. Hanya Webe yang tahu pasti jika Edward William White itu nyata. Dia juga yang membeli buku itu darinya. Dia pasti akan mempercayai semua ceritaku. Aku berharap dia bisa tetap menjagaku dari ancaman Edward yang bisa hadir sewaktu-waktu.

“Kamu percaya jika aku tidak gila kan?” kataku menggenggam tangan Webe dan berharap dia mengiyakannya. Dia hanya menggangguk.
“Aku pasti akan ada untukmu,” jawab menarikku dalam peluknya.
“Aku bisa membuktikannya, Webe. Semua ada di flashdisk Aira, dan setelah aku membukanya Edward mengancamku. Dia itu Virus. Dia adalah Hacker yang mampu mengacaukan kehidupan seseorang seperti kehidupan Aira. Percayalah. Aku takut sekali padanya. Kita harus membakar buku itu.”
“Nanti biar aku yang membakarnya, Sonia. Kamu istirahat saja dulu.”

Dari tatapan mata Webe yang menatap sedih padaku, aku semakin yakin jika dia juga menganggapku gila. Bagaimana harus berkata benar jika seluruh dunia bilang aku salah? Aku semakin terpuruk tak tahu lagi harus berbuat apa. Ada kekuatan yang lebih besar yang sulit untuk kulawan sendirian dan sekarang aku tahu jika Webe pun meyakini jika aku memang gila.

“Apakah kamu akan tetap ada di sini jika semua orang mengatakan aku gila?”
“Aku tidak peduli, Sonia. Kamu ya kamu. Apapun pendapat orang tentang kamu bagiku kamu tetap kamu.”
“Kamu tidak malu mempunyai teman gila sepertiku.”
“Setiap orang juga terkadang berbuat gila. Ayahku bahkan berpendapat aku sudah gila karena mencintaimu. Apakah aku salah jika aku gila seperti itu, tidak. Aku rela gila karena itu. Sekarang istirahatlah. Jangan pikirkan semua yang membuatmu takut. Jika kau takut, hubungi aku. Aku sudah membuka Flashdiskmu, Sonia. Lebih baik kau lupakan soal Aira dan buku itu.”
“Sudah baca pesan Aira? Itu adalah flasdisk Timur, dan Timur adalah Aira. Dia meninggal karena tak bisa hidup tanpa Nick.”
“Istirahatlah.”
“Kamu tidak percaya yang kukatakan kan, Webe? Kamu juga mengganggapku gila seperti skenario Edward kan?”
“Pesan Aira, kamu yang menulisnya, Sonia. Dari tanggal diketiknya, itu ditulis beberapa hari yang lalu dan Timur sudah meninggal.”
“Tidak mungkin.”

Aku yakin Edward sengaja mengubah tanggal pembuatannya agar semua percaya jika aku memang berhalusinasi. Dia telah membuat semua bukti yang mengarahkanku ke arah kegilaanku. Aku juga terlalu bodoh bilang jika Timur adalah Aira. Sekarang semua orang sudah mengganggapku gila termasuk Webe yang awalnya akan mendukung argumenku tentang Edward.

“Sonia. Kumohon. Aku bisa membawa kamu kemana saja untuk menyembuhkanmu, asal kamu bersedia. Itu janjiku. Tapi jika kamu keberatan, aku akan merawat kamu dimanapun kamu mau. Lupakan Edward. Kamu terlalu terobsesi dengan bukunya dan belum bisa menerima kepergian Nick hingga menjadi seperti ini,” kata Webe semakin membuatku kecil dan terpuruk untuk meyakini kebenaran yang kutahu.

Aku tidak bisa berkata apa-apa. Semuanya semakin jelas jika aku telah kalah oleh Edward William White yang entah dia itu apa. Aku telah kalah dan kehilangan duniaku dan juga teman-temanku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar