BAB 24
Hampir setiap hari Webe datang ke
rumahku. Aku tidak bisa mengikuti Ujian karena penyakitku ini. Mau bagaimana
lagi. Itu artinya aku harus siap-siap tidak naik lulus deh. Edward William
White sukses menghancurkan hidupku seperti ancamannya. Jika tidak ada Webe
mungkin aku sudah terpuruk lalu bunuh diri.
Setiap hari aku
hanya termenung di dalam kamar dan membaca. Aku ingin sekali menyalakan
laptopku, tapi takut. Yang kulakukan hanya diam, diam dan diam hingga membuat
papa dan mama semakin mengkhawatirku.
“Sonia,” sapa
Webe ramah tapi aku hanya diam. “Aku bawakan sesuatu untukmu. Kemarilah, kamu
pasti suka.”
Aku mendekat
melihat apa yang dibawanya. Dia membawa seekor kucing yang lucu. Aku membelai
bulunya yang lembut hingga dia tertidur di pangkuanku. Mendadak rasa khawatir
dan rasa takut tak beralasan itu mulai memudar.
“Siapa
namanya?” tanyaku sambil tersenyum kepadanya.
“Aku belum
memberinya nama. Kamu boleh memberinya nama yang kamu sukai.”
“Bagaimana
kalau Webe saja,” kataku melihat sekilas ke arah matanya yang indah.
“Apa tidak
salah?”
“Wajahnya mirip
kamu.”
“Bisa kita
keluar, Sonia?”
“Aku lebih
nyaman di sini.”
“Sonia. Apa
yang kamu takutkan? Sampai kapan kamu akan terus mengurung dirimu seperti ini
terus menerus. Apa kamu tidak ingin bertemu dengan teman-temanmu?”
“Aku malu
bertemu dengan mereka. Toh aku juga tidak akan lulus dan sebentar lagi mereka
juga akan melupakanku, Webe. Lebih baik aku mengurung diri dan membuat mereka
aman dariku.”
Webe memelukku
sekali lagi dan melihatku lebih dalam. Dia seperti ingin menyampaikan sesuatu
yang sulit dikatakannya.
“Ada apa?”
“Ada seseorang
yang ingin bertemu denganmu, Sonia.”
“Siapa?”
“Aira. Dia
ingin minta maaf padamu. Aku sengaja tidak mengijinkannya masuk, takut jika
mempengaruhi kondisi psikologismu.”
“Aku juga tidak
ingin bertemu dengannya.”
“Sonia. Apakah
salah jika aku suka kamu?”
“Kamu sedang
berusaha nembak aku ya?”
“Sudah sejak
dulu aku mengatakannya tapi kamu yang tidak tanggap.”
“Kapan? Ngarang
ah kamu.”
“Sebenarnya
ayah mintaku melanjutkan kuliahku ke Australia, Sonia,” kalimat itu langsung
sukses membuat jantungku seakan berhenti berdetak. Lengkap sudah semua hilang
dalam hidupku.
Ya. Kamu menang, Edward. Aku kalah.
Sekarang puas. Puas telah membuat semua yang kumiliki terampas begitu saja dan
aku terkucilkan?
Aku ingin
sekali menangis. Aku ingin berteriak karena tak sanggup membayangkan jika Webe
pun pergi meninggalkanku. Kenapa dia sekejam itu menghancurkan semua impianku
dengan begitu mudah? Apa salah jika aku hanya bermaksud menolong seseorang?
“Semoga sukses,
Webe.”
“Aku belum
memutuskannya, Sonia. Aku hanya ingin melanjutkan kuliahku ke sana jika kamu
juga ikut denganku, walaupun itu akan memakan waktu hingga tiga puluh tahun
sampai kupastikan kesembuhanmu.”
“Jangan bodoh.”
“Aku serius.”
“Kamu tahukan
jika tahun ini aku sudah pasti tidak lulus?”
“Siapa yang
bilang begitu. Karena itu aku kemari untuk memberitahu kamu jika kamu masih
bisa ikut ujian susulan. Yang kamu butuhkan hanya keberanianmu untuk sembuh.”
“Aku takkan
sembuh, karena aku memang tidak sakit. Harus kubilang berapa kali jika yang
terjadi padaku itu benar-benar terjadi. Kamu sendiri tahu jika Edward itu nyata
dan menyebarkan virusnya lewat buku itu. Apa lagi yang harus kubuktikan?”
kataku sambil menangis.
“Takutlah hanya
pada Allah, Sonia. Jangan pada buku atau orang yang tak jelas asal usulnya.
Semakin kamu takut bukan pada Allah, semakin jauh kamu tersesat. Apa yang kamu
takutkan dari buku ini?” kata Webe mengeluarkan buku itu yang kukira dia sudah
membakarnya.
Buku itu
seperti memiliki ribuan tangan yang siap mencekikku. Rasa takutku itu berlipat
dan aku mulai menggigil hebat. Webe terus mendekatkan buku itu. Kali ini dia
membacanya di depanku seperti ingin menunjukkan bahwa tak ada yang perlu
kutakutkan.
“Apa
yang membuatmu yakin?”
“Aku
ingin bisa melihat-MU?”
“Permintaanmu
terlalu tinggi, David.”
“Bukankah
itu hal kecil yang bisa dilakukan oleh Tuhan?”
“Terus
hal besarnya apa?”
“Apa
ya?”
“Hahaha…
Tidak ada hal besar bagi-Ku, David.”
“Bagaimana
jika Engkau buat aku bisa melihat?”
“Kamu
yang sengaja tidak ingin melihat, bagaimana bisa aku meminta-Mu melihat.
Bayangkan, aku ingin kamu tahu gambar apa yang ada di kertas yang kubawa?
Bukankah kamu harus membuka matamu terlebih dahulu?”
“Kumohon,
jika Engkau Tuhan, bimbing aku untuk melihat.”
“Gelap
ya?”
“Bisa
nyalakan mataharinya?”
“Ok.
Tahu dimana tombolnya?”
“Mana
aku tahu.”
“Hahaha..
masih tidak yakin ya? Atau karena suaraku yang menurut telingamu adalah seorang
wanita?”
“Aku
pasrah pada Tuhanku. Aku serahkan semua pada kehenda-Nya.”
“Jangan
membuatku tertawa, David. Aku tahu semua yang ada di hati manusia. Kamu belum
siap menyerahkan apapun pada-Ku. Aku tidak butuh apapun darimu ataupun dari
siapapun. Keren bukan? Baiklah, aku hanya ingin kamu berdoa dan meminta sesuatu
yang setulusnya pada-Ku. Minta saja? tidak perlu menggunakan kata-kata indah.
Aku hanya ingin kamu katakan apa yang hatimu ingin ucapkan dengan
sejujur-jujurnya dan setulusnya.”
“Hentikan!”
teriakku.
“Apa kamu
melihat ada sesuatu yang terjadi pada dirimu, Sonia. Sadarlah. Kamu yang
membuatku mengerti tentang Tuhan. Kamu yang mengajarkannya, tapi mengapa kamu
sendiri yang ingin agar aku mengingkarinya. Katakan, Sonia. Jangan terus tutupi
hatimu dengan ketakutan yang hanya akan menyesatkanmu lebih dalam.”
“Kenapa kamu
tidak membakar saja buku itu?” kataku sambil melempar buku itu menjauh dariku.
Aku tidak ingin buku itu kembali menghantuiku dan terus membuatku tertekan
lebih hebat lagi.
“Apa setelah
aku membakarnya kamu akan sembuh? Kamu yang bisa menyembuhkan diri kamu sendiri
dan bukan orang lain, Sonia. Sampai kapanpun aku tidak akan membakar karya
seseorang hanya karena aku tidak menyukai isinya.”
“Aku takut,
Webe. Aku takut.”
“Apa yang kamu
takutkan? Apa dia Tuhan. Wa lam yaqullahu kufuan ahad. Kamu yang pernah
mengajarkan itu padaku kan? Dan tidak ada yang seorang pun yang setara
dengan-Nya. Apa dia Tuhan? Tidak bukan. Sonia. Aku sayang kamu. Demi apapun kau
memintaku bersumpah, aku sungguh sayang kamu. Secara tidak langsung kamu telah
menyakitiku dengan terus menyiksa dirimu seperti ini. Tidakkah kamu bersedia
memberiku kesempatan untuk sekali saja membuatmu bahagia dengan caraku?” dia
memelukku lebih erat. Hangat sekali. Aku tidak tahu rasa hangat ini berasal
dari pelukannya, atau dari ucapannya. Yang pasti aku tak ingin dia pergi
dariku.
Semua yang tadi
dikatakan Webe tidak ada yang salah. Penggalan Ayat terakhir surat Al –Ikhlas
itu menyadarkanku, untuk apa aku takut jika masih tempat memohon pertolongan.
Allah. Edward bukan Tuhan ataupun malaikat maut. Jika aku terus terpuruk seperti ini dan tidak berani melawan rasa
takutku, aku akan kehilangan lebih banyak lagi. Aku akan semakin jauh dari
semua yang kumiliki, termasuk jauh dari Tuhanku sendiri.
Terima kasih,
Webe.
Dia beranjak
keluar dan hanya berdiri di depan pintu seperti orang yang bimbang untuk
memutuskan sesuatu. Aku ingin sekali memeluknya sekali lagi dan mengatakan, ‘jangan pergi, Webe. Aku tidak tahu harus
berbuat apa lagi jika kau juga meninggalkanku saat ini.’
“Aku tidak akan
pernah meninggalkanmu, Sonia. Percayalah,” kata Webe seakan menjawab kata-kata
yang tak pernah bisa kukatakan di hadapannya.
“Kamu sudah
salat Ashar?” tanyaku berusaha menahannya agar tidak segera pergi. Aku masih
ingin dia ada di sini.
“Belum.”
“Maukah kamu
salat Ashar bersamaku?”
“Tentu. Kita
ambil air wudhu dulu yuk.”
“Tapi aku belum
makan. Maukah kamu menemaniku makan?”
“Ayolah.”
Silau sekali
melihat dunia luar setelah beberapa minggu mungkin beberapa bulan aku tidak
keluar dari kamarku. Kulihat mama tersenyum meneteskan airmatanya saat melihat
kami turun dan makan di meja makan. Mama menciumiku seperti kami lama tidak
pernah bertemu. Aku sendiri tidak ingat kapan terakhir kali bicara dengan papa
ataupun mama. Aku juga merindukan mereka.
Setelah aku
mandi dan mengambil air wudhu, Webe kembali menjadi imamku untuk yang kedua
kalinya. Aku tidak menyangka jika anak yang terkenal paling nakal dan sangat
ditakuti di sekolah kami, bisa salat sekusu’ ini. Dia pasti mendapat hidayah
tidak sepertiku yang lemah dan mudah tersesat. Mulai saat ini aku mencoba untuk mengalahkan rasa takutku. Aku harus
bisa mengalahkan Edward William White, apapun dia. Aku mulai membenahi lagi
kamarku. Semua kabel yang dulu kulepaskan mulai kupasang kembali. Aku berharap
malam ini Edward datang.
Dia telah
mengkonfirmasi permintaan pertemananku. Ingin rasanya menremove lagi
pertemanannya, tapi aku kembali ingat pesan Webe untuk mengatasi rasa takutku
dengan menghadapinya. Kulihat stastusnya yang hampir mirip dengan perkataan
Webe.
Edward William White
kehidupan ini adalah kehidupanmu
kematian juga kematianmu
jangan takut dicampuri siapapun kecuali TUHANMU
kematian juga kematianmu
jangan takut dicampuri siapapun kecuali TUHANMU
Aku ingin
mengomentari statusnya. Tapi apa ya? Belum sempat aku mengetik untuk
mengomentari statusnya, sebuah notif baru muncul dan bertuliskan dari namanya.
“Apa Kabar,
Sonia?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar