Rabu, 19 Juni 2013

SONIA SWAN BAB 24: NEVER END



BAB 24





Hampir setiap hari Webe datang ke rumahku. Aku tidak bisa mengikuti Ujian karena penyakitku ini. Mau bagaimana lagi. Itu artinya aku harus siap-siap tidak naik lulus deh. Edward William White sukses menghancurkan hidupku seperti ancamannya. Jika tidak ada Webe mungkin aku sudah terpuruk lalu bunuh diri. 

Setiap hari aku hanya termenung di dalam kamar dan membaca. Aku ingin sekali menyalakan laptopku, tapi takut. Yang kulakukan hanya diam, diam dan diam hingga membuat papa dan mama semakin mengkhawatirku.

“Sonia,” sapa Webe ramah tapi aku hanya diam. “Aku bawakan sesuatu untukmu. Kemarilah, kamu pasti suka.”

Aku mendekat melihat apa yang dibawanya. Dia membawa seekor kucing yang lucu. Aku membelai bulunya yang lembut hingga dia tertidur di pangkuanku. Mendadak rasa khawatir dan rasa takut tak beralasan itu mulai memudar.

“Siapa namanya?” tanyaku sambil tersenyum kepadanya.
“Aku belum memberinya nama. Kamu boleh memberinya nama yang kamu sukai.”
“Bagaimana kalau Webe saja,” kataku melihat sekilas ke arah matanya yang indah.
“Apa tidak salah?”
“Wajahnya mirip kamu.”
“Bisa kita keluar, Sonia?”
“Aku lebih nyaman di sini.”
“Sonia. Apa yang kamu takutkan? Sampai kapan kamu akan terus mengurung dirimu seperti ini terus menerus. Apa kamu tidak ingin bertemu dengan teman-temanmu?”
“Aku malu bertemu dengan mereka. Toh aku juga tidak akan lulus dan sebentar lagi mereka juga akan melupakanku, Webe. Lebih baik aku mengurung diri dan membuat mereka aman dariku.”

Webe memelukku sekali lagi dan melihatku lebih dalam. Dia seperti ingin menyampaikan sesuatu yang sulit dikatakannya.

“Ada apa?”
“Ada seseorang yang ingin bertemu denganmu, Sonia.”
“Siapa?”
“Aira. Dia ingin minta maaf padamu. Aku sengaja tidak mengijinkannya masuk, takut jika mempengaruhi kondisi psikologismu.”
“Aku juga tidak ingin bertemu dengannya.”
“Sonia. Apakah salah jika aku suka kamu?”
“Kamu sedang berusaha nembak aku ya?”
“Sudah sejak dulu aku mengatakannya tapi kamu yang tidak tanggap.”
“Kapan? Ngarang ah kamu.”
“Sebenarnya ayah mintaku melanjutkan kuliahku ke Australia, Sonia,” kalimat itu langsung sukses membuat jantungku seakan berhenti berdetak. Lengkap sudah semua hilang dalam hidupku.

Ya. Kamu menang, Edward. Aku kalah. Sekarang puas. Puas telah membuat semua yang kumiliki terampas begitu saja dan aku terkucilkan?

Aku ingin sekali menangis. Aku ingin berteriak karena tak sanggup membayangkan jika Webe pun pergi meninggalkanku. Kenapa dia sekejam itu menghancurkan semua impianku dengan begitu mudah? Apa salah jika aku hanya bermaksud menolong seseorang?

“Semoga sukses, Webe.”
“Aku belum memutuskannya, Sonia. Aku hanya ingin melanjutkan kuliahku ke sana jika kamu juga ikut denganku, walaupun itu akan memakan waktu hingga tiga puluh tahun sampai kupastikan kesembuhanmu.”
“Jangan bodoh.”
“Aku serius.”
“Kamu tahukan jika tahun ini aku sudah pasti tidak lulus?”
“Siapa yang bilang begitu. Karena itu aku kemari untuk memberitahu kamu jika kamu masih bisa ikut ujian susulan. Yang kamu butuhkan hanya keberanianmu untuk sembuh.”
“Aku takkan sembuh, karena aku memang tidak sakit. Harus kubilang berapa kali jika yang terjadi padaku itu benar-benar terjadi. Kamu sendiri tahu jika Edward itu nyata dan menyebarkan virusnya lewat buku itu. Apa lagi yang harus kubuktikan?” kataku sambil menangis.
“Takutlah hanya pada Allah, Sonia. Jangan pada buku atau orang yang tak jelas asal usulnya. Semakin kamu takut bukan pada Allah, semakin jauh kamu tersesat. Apa yang kamu takutkan dari buku ini?” kata Webe mengeluarkan buku itu yang kukira dia sudah membakarnya.

Buku itu seperti memiliki ribuan tangan yang siap mencekikku. Rasa takutku itu berlipat dan aku mulai menggigil hebat. Webe terus mendekatkan buku itu. Kali ini dia membacanya di depanku seperti ingin menunjukkan bahwa tak ada yang perlu kutakutkan.


“Apa yang membuatmu yakin?”
“Aku ingin bisa melihat-MU?”
“Permintaanmu terlalu tinggi, David.”
“Bukankah itu hal kecil yang bisa dilakukan oleh Tuhan?”
“Terus hal besarnya apa?”
“Apa ya?”
“Hahaha… Tidak ada hal besar bagi-Ku, David.”
“Bagaimana jika Engkau buat aku bisa melihat?”
“Kamu yang sengaja tidak ingin melihat, bagaimana bisa aku meminta-Mu melihat. Bayangkan, aku ingin kamu tahu gambar apa yang ada di kertas yang kubawa? Bukankah kamu harus membuka matamu terlebih dahulu?”
“Kumohon, jika Engkau Tuhan, bimbing aku untuk melihat.”
“Gelap ya?”
“Bisa nyalakan mataharinya?”
“Ok. Tahu dimana tombolnya?”
“Mana aku tahu.”
“Hahaha.. masih tidak yakin ya? Atau karena suaraku yang menurut telingamu adalah seorang wanita?”
“Aku pasrah pada Tuhanku. Aku serahkan semua pada kehenda-Nya.”
“Jangan membuatku tertawa, David. Aku tahu semua yang ada di hati manusia. Kamu belum siap menyerahkan apapun pada-Ku. Aku tidak butuh apapun darimu ataupun dari siapapun. Keren bukan? Baiklah, aku hanya ingin kamu berdoa dan meminta sesuatu yang setulusnya pada-Ku. Minta saja? tidak perlu menggunakan kata-kata indah. Aku hanya ingin kamu katakan apa yang hatimu ingin ucapkan dengan sejujur-jujurnya dan setulusnya.”


“Hentikan!” teriakku.
“Apa kamu melihat ada sesuatu yang terjadi pada dirimu, Sonia. Sadarlah. Kamu yang membuatku mengerti tentang Tuhan. Kamu yang mengajarkannya, tapi mengapa kamu sendiri yang ingin agar aku mengingkarinya. Katakan, Sonia. Jangan terus tutupi hatimu dengan ketakutan yang hanya akan menyesatkanmu lebih dalam.”
“Kenapa kamu tidak membakar saja buku itu?” kataku sambil melempar buku itu menjauh dariku. Aku tidak ingin buku itu kembali menghantuiku dan terus membuatku tertekan lebih hebat lagi.
“Apa setelah aku membakarnya kamu akan sembuh? Kamu yang bisa menyembuhkan diri kamu sendiri dan bukan orang lain, Sonia. Sampai kapanpun aku tidak akan membakar karya seseorang hanya karena aku tidak menyukai isinya.”
“Aku takut, Webe. Aku takut.”
“Apa yang kamu takutkan? Apa dia Tuhan. Wa lam yaqullahu kufuan ahad. Kamu yang pernah mengajarkan itu padaku kan? Dan tidak ada yang seorang pun yang setara dengan-Nya. Apa dia Tuhan? Tidak bukan. Sonia. Aku sayang kamu. Demi apapun kau memintaku bersumpah, aku sungguh sayang kamu. Secara tidak langsung kamu telah menyakitiku dengan terus menyiksa dirimu seperti ini. Tidakkah kamu bersedia memberiku kesempatan untuk sekali saja membuatmu bahagia dengan caraku?” dia memelukku lebih erat. Hangat sekali. Aku tidak tahu rasa hangat ini berasal dari pelukannya, atau dari ucapannya. Yang pasti aku tak ingin dia pergi dariku.

Semua yang tadi dikatakan Webe tidak ada yang salah. Penggalan Ayat terakhir surat Al –Ikhlas itu menyadarkanku, untuk apa aku takut jika masih tempat memohon pertolongan. Allah. Edward bukan Tuhan ataupun malaikat maut. Jika aku terus terpuruk seperti ini dan tidak berani melawan rasa takutku, aku akan kehilangan lebih banyak lagi. Aku akan semakin jauh dari semua yang kumiliki, termasuk jauh dari Tuhanku sendiri. 

Terima kasih, Webe.

Dia beranjak keluar dan hanya berdiri di depan pintu seperti orang yang bimbang untuk memutuskan sesuatu. Aku ingin sekali memeluknya sekali lagi dan mengatakan, ‘jangan pergi, Webe. Aku tidak tahu harus berbuat apa lagi jika kau juga meninggalkanku saat ini.’

“Aku tidak akan pernah meninggalkanmu, Sonia. Percayalah,” kata Webe seakan menjawab kata-kata yang tak pernah bisa kukatakan di hadapannya.
“Kamu sudah salat Ashar?” tanyaku berusaha menahannya agar tidak segera pergi. Aku masih ingin dia ada di sini.
“Belum.”
“Maukah kamu salat Ashar bersamaku?”
“Tentu. Kita ambil air wudhu dulu yuk.”
“Tapi aku belum makan. Maukah kamu menemaniku makan?”
“Ayolah.”

Silau sekali melihat dunia luar setelah beberapa minggu mungkin beberapa bulan aku tidak keluar dari kamarku. Kulihat mama tersenyum meneteskan airmatanya saat melihat kami turun dan makan di meja makan. Mama menciumiku seperti kami lama tidak pernah bertemu. Aku sendiri tidak ingat kapan terakhir kali bicara dengan papa ataupun mama. Aku juga merindukan mereka.

Setelah aku mandi dan mengambil air wudhu, Webe kembali menjadi imamku untuk yang kedua kalinya. Aku tidak menyangka jika anak yang terkenal paling nakal dan sangat ditakuti di sekolah kami, bisa salat sekusu’ ini. Dia pasti mendapat hidayah tidak sepertiku yang lemah dan mudah tersesat. Mulai saat ini aku mencoba untuk mengalahkan rasa takutku. Aku harus bisa mengalahkan Edward William White, apapun dia. Aku mulai membenahi lagi kamarku. Semua kabel yang dulu kulepaskan mulai kupasang kembali. Aku berharap malam ini Edward datang.

Dia telah mengkonfirmasi permintaan pertemananku. Ingin rasanya menremove lagi pertemanannya, tapi aku kembali ingat pesan Webe untuk mengatasi rasa takutku dengan menghadapinya. Kulihat stastusnya yang hampir mirip dengan perkataan Webe.

Edward William White
kehidupan ini adalah kehidupanmu
kematian juga kematianmu

jangan takut dicampuri siapapun kecuali TUHANMU

Aku ingin mengomentari statusnya. Tapi apa ya? Belum sempat aku mengetik untuk mengomentari statusnya, sebuah notif baru muncul dan bertuliskan dari namanya.

“Apa Kabar, Sonia?”



Tidak ada komentar:

Posting Komentar