Rabu, 19 Juni 2013

SONIA SWAN BAB 20: WEBE





BAB 20




BAB 20

Terlalu membuatku penat. Aku merasa seperti badut yang layak ditertawakan. Walau sekarang Si Picas sudah pulang karena galau, aku juga masih merasa galau. Pikiranku melayang tak tentu arah sampai tidak fokus mendengar apa yang sedang dibicarakan Mia.

“Eh, mikirin Webe lu?” kata Mia mengagetkanku.

Sebegitu transparannya apa otakku hingga Mia bisa dengan sukses menebaknya. Siapa juga yang mikirin dia. Aku hanya berpikir kenapa harus dia yang menyebabkan Nick celaka, kenapa harus dia yang membuat aku sekarang dalam keadaan serba salah.

“Siapa juga yang mikirin dia?” kataku berusaha mengelak.
“Halah, Sonia. Kaya gue tuh kenal lu baru kemarin saja. Membohongi diri sendiri itu menyakitkan loh.”
“Sok wise ah.”
“Bener, Sonia. Kurasa Webe sekarang juga sudah berbeda dengan Webe yang dulu. Tidak ada salahnya jika kamu memang suka dia,” sambung Nazria semakin memojokkanku untuk larut memikirkannya.
 “Ciee yang sedang cenat cenut. Eh, Son. Lu tuh harus move on. Tidak ada gunanya lu terus terpuruk seperti ini terus. Toh, Nick juga akan bilang begitu jika masih ada.”
“Webe yang telah buat Nick meninggal, Mia. Bagaimana aku bisa melupakan hal itu. Aku masih belum bisa memaafkannya.”
“Jiah, kayanya kalau ngomong sama lu, perlu diulang deh. Sorot mata lu tuh ya, menyimpan sesuatu sama Webe, masih juga belum bisa maafin dia. Entar kalau Webenya pergi lagi baru gigit jari lu.”

Siapa yang harus kudengar? Hatiku atau omongan teman-temanku yang mungkin saja juga mewakili ungkapan hatiku. Hari ini aku seperti berada di atas sebatang kayu di tengah lauta. Takut untuk melangkah.

Saatnya menetralisir diri di kamarku. Pertama yang ingin kubaca adalah buku David karangan Edward William White. Sampai sekarang dia belum konfirmasi aku. Pesan yang kukirimkan juga belum dibalas.

 Aku membuka halaman 259. Halaman ini adalah titik balik dimana David mulai menyadari sesuatu bahwa memaksakan sesuatu yang tak mungkin dipaksakan hanya akan menambah beban di hati saja.

“... Aku tak membutuhkan kamus apapun
Untuk mengartikan bahasa hatiku
Karena hanya ada satu kata di sana
Yaitu namanya
Karena hanya satu kata itu
Yang mampu memompa detaknya

Aku tak peduli
Tangan-tangan maut mencengkramku kuat
Menarikku dan memisahkanku darinya
Aku pasti akan kembali padanya
Hanya padanya

Dan demi hari ini
Dengarkan apa yang kukatakan
Cinta hanya dimengerti
Oleh hati yang tulus mengatakan
“Hanya karenamu,  semua ini menjadi arti bagiku…”

....
Mereka semua terkejut dengan apa yang baru saja kulakukan. Sebagian dari mereka pasti mengira aku sudah gila karena penyakitku. Tanpa terkecuali Sonia. Dia adalah satu-satunya orang yang berlari dan berusaha menyelamatkan diary-diary itu. Untuk apa? Untuk membuktikan hebat sekali persahabatan itu, bahkan bisa mengalahkan rasa cinta pada kekasih dan juga penghianatannya?
Lupakanlah Sonia! Untuk apa kau masih terus berusaha memadamkan api yang sudah terlanjur membakar separuh dari buku diary itu? Jika kau tahu, tidak ada orang lain yang lebih mengenal sakitnya selain aku. Karena tanpa diary itu, aku takkan lagi bisa bersama Mega. Aku harus kehilangannya untuk selamanya.
Aku tersenyum kecil melihat wajah cantik Mega dan sekilas melintasi Sonia yang masih sibuk memadamkan api itu.
“Namaku David Beckham…” kataku pelan sebelum meninggalkan semua orang yang menatapku sinis.   
...”


Lupakanlah Sonia! Untuk apa kau masih terus berusaha memadamkan api yang sudah terlanjur membakar separuh dari buku diary itu? Jika kau tahu, tidak ada orang lain yang lebih mengenal sakitnya selain aku. Karena tanpa diary itu, aku takkan lagi bisa bersama Mega. Aku harus kehilangannya untuk selamanya,” aku membaca kalimat itu sekali lagi seperti mengingatkanku bahwa memang sampai kapanpun, Nick hanya akan mencintai Aira. Siapapun yang membujuknya tidak akan mampu negubah apa yang hatinya rasakan termasuk Aira sendiri.

Nyesek.

Pengen buka flashdisk Aira. Tapi tatapan mataku malah mengarah ke ponselku. Jari-jemariku mulai mencari nomor yang ingin kuhubungi. Webe. Apa benar aku sedang berusaha membohongi diriku jika aku memang perlahan menyukainya? Sepertinya tidak. 

Telepon?

Tidak?

Telepon?

Ah... lupakan.

“Drrrrrrrrrttt... derrrrrtttt,” poselku bergetar dan nama Webe tertera di sana. Dia menelponku? Sepertinya jodoh deh. Pas aku memang pengen telepon dia dan bingung malah dia telepon aku dulu. Jiah , apa yang otakku pikirkan nih? Delete-delete.
“Hallo,” kataku pelan.
“Sonia. Aku punya sesuatu untukmu,” kata Webe membuatku berdebar.
“Apa?”
Aku tidak bisa menjelaskannya,” jawaban itu membuatku merasa teleponnya tidak penting.
“Hanya mau bilang itu?”
“Bisa kita bertemu besok, Sonia?”
“Emang ada perlu apa?”
“Ada yang ingin aku sampaikan ke kamu.”
“Sampaikan saja sekarang bisa kan?”
“Ya udah. Sampai ketemu besok ya,” Webe mengakhiri teleponnya begitu saja seperti ada sesuatu yang sulit untuk dikatakan.

Jadi penasaran.

Bisanya jika ada orang yang ngomongnya tanggung-tanggung seperti ini, ujung-ujungnya pasti akan pergi. Dan biasanya aku pasti nyesel. Nyesel kenapa? Harusnya aku hepi jika dia pergi.

Di sekolah, kulihat Webe sudah berbaur kembali dengan teman-temannya. Tumben tadi pagi dia tidak menjemputku. Dia hanya tersenyum kecil kepadaku kemudian asyik berbincang lagi dengan teman-temannya. Suerrrrrrr, aku merasa diabaikan benget dengan sikapnya. Sampai pulang pun dia juga masih bersikap begitu seperti lupa dengan apa yang ingin dikatakannya lewat telepon tadi malam. Padahal aku sudah menunggu dia mau bilang apa. Dia bahkan tidak menawariku pulang bareng dan langsung memacu mobilnya walau tahu aku sedang menunggu angkot.

Kok aku jadi nyesek gini ya?

Kontras banget dengan bayanganku tadi malam. Mungkin gini kali ya rasanya diabaikan. Yang bikin tambah bikin ilfil lagi tuh adalah saat lihat Imel lambain tangannya ke aku seakan sengaja ngejekin aku. Intinya sekarang aku sedang sensitive walau tidak sedang PMS.

“Son, sendirian?” tanya Imel.

Dah tahu sendirian nanya.

“Iya.”
“Ikut aku saja yuk. Katanya kemarin kakimu sakit, sudah sembuh ya?”
“Sudah. Terima kasih, tapi aku mau ke makam Nick hari ini.”
“Oh, ya sudah. Kenapa tidak sama Webe?”
“Tidak.”
“Ok, aku duluan ya.”

Hah… lemes deh kalau gini. Angkot mana angkot? Lama banget sih. Mana setelah dapet penuh lagi. 

Di makam kulihat mobil Webe sudah ada di halaman makam. Untuk apa dia kemari? Aku sengaja tidak mendekat padanya. Dia tidak berdiri di dekat makam Nick. Ada makam lain yang dia tungguin dengan seikat karangan bunga di atasnya. Baru tahu aku jika dia punya kerabat yang dimakamkan di pemakaman ini.

Lebih dekat ah.

“Namanya Sonia, Ma. Orangnya tidak cantik. Tubuhnya juga kecil kerempeng tidak menarik. Aneh saja rasanya. Jika mama masih ada pasti tidak akan percaya saat melihat orangnya…,” kata Webe membuatku ingin bacok-bacok dia karena telah mengejekku, tidak cantik lah, kerempeng lah di depan makam mamanya. Maunya apa sih dia.

“… Tapi dia mengajarkanku sesuatu, Ma. Sesuatu yang selama ini sempat hilang dan tak pernah kurasakan lagi sejak mama pergi. Sesuatu yang telah digantikan oleh ayah dengan semua materi. Pokoknya sesuatu yang sangat berharga sekali. Entahlah aku tidak bisa menyebutnya apa…

… aku sudah membuat dia sangat membenciku, Ma. Sampai sekarang pun dia juga belum bisa memaafkanku. Jika mama ada, mungkin mama akan membantuku memberi saran yang tepat cara meminta maaf yang benar pada seorang cewe ya. Sudahlah. Lupakan ocehanku tadi. Besok aku kemari lagi. Oh, ya lupa. Aku baru tahu jika ayah sering merindukan mama tiap malam. Kemarin ayah meneteskan airmatanya saat melihat lihatin foto mama. Aku hanya ingin bilang, tolong maafin ayah juga ya. Aku tahu ayah sebenarnya sangat menyayangi mama dan semua itu tidak di sengaja.”

Aku buru buru bersembunyi dan menjauh dari tempat Webe mengadu pada makam mamanya. Aku tidak ingin dia tahu jika aku juga ke pemakaman yang sama. Sesampai di makam Nick. Kulihat ada beberapa origami burung kertas di atas nisannya. Biasanya yang buatin origami burung kertas itu adalah Nick untukku. Mana mungkin Nick atau arwahnya buatin origami itu untuk dirinya sendiri. Harusnya diletakkan di makam Aira dong. Atau mungkin arwah memang sudah tidak bisa baca ya? Jangan-jangan Mia.

Aku membersihkan makam Nick dengan kain yang biasa kugunakan untuk membersihkan nisannya. Setelah itu giliran membersihkan makam Aira. Jeles sekali melihat kedua makam itu bisa berdampingan seperti tidak ada yang memisahkan. Kalau biasanya orang-orang sering membacakan doa untuk orang yang telah meninggal di makam itu, aku biasanya membaca buku David beberapa bab. Sebenarnya tanpa membacanya aku sudah sangat hafal ceritanya. Aku terkadang berharap ada sebuah keajaiban atau setidaknya pengulangan waktu atau pengulangan kisah yang menjadikan Nick kembali hidup. Tidak mengenalku juga tidak apa-apa. Seperti David mencoba memperbaiki takdirnya dengan tidak lagi mengenal Mega. Lupakan.

“Sudah selesai?” tanya Webe sudah berdiri tak jauh dari tempatku duduk membaca buku itu.
“Ngapain kamu di sini?” tanyaku pura-pura tidak tahu jika dia baru saja dari makam mamanya.
“Dari makam mama. Kalau sudah selesai nanti kita pulang bareng.”
“Sudah. Aku baru tahu jika kamu sudah tidak punya mama, sudah berapa lama?”
“Sudah lama. Kapan-kapan kuajak ke makam mama, tidak jauh kok.”

Mau dijelek-jelekin lagi? Ogah lah. Emang tadi aku tidak dengar yang tadi dibicarakannya di depan makam mamanya.

Saat perjalanan keluar makam, aku melihat seorang gadis yang sepertinya aku pernah mengenalnya. Aku mencoba mengingat-ingat gadis cantik itu. Siapa dan dimana pernah bertemu denganya. Semakin lama semakin dekat dan aku mulai mengingat siapa dia. Wajahku mendadak pucat seperti melihat hantu. Sepertinya aku memang melihat hantu. Ya, hantunya Aira. Tidak salah lagi jika dia memang Aira dan kemungkinan akan kembali ke makamnya.

“Eh, kamu kenapa?” tanya Webe memegangi tanganku yang menggigil dengan keringat dingin membasahi telapak tanganku. “Kamu kesurupan setan ya? Jangan bercanda ah, Son. Aku masih belum hafal ayat kursi nih. Son, Sonia. Eh…”
“Itu Aira,” kataku sambil berbisik setelah gadis itu melewatiku.

Hah? Tidak Arwah Aira ternyata memiliki pendengaran yang sangat sensitive. Padahal tadi aku merasa hanya berbisik pada Webe tapi dia mendengarnya. Dia membalikkan tubuhnya dan melihat ke arah kami.

“Aira siapa? Kamu kenal dia? Apa dia teman kamu?” tanya Webe jelas sekali jika dia juga melihat arwah Aira.
“Kamu bisa melihatnya juga?”
“Jangan konyol ah. Emang aku katarak? Kalau kamu kenal dia kita temuin dia saja.”
“Eh jangan!”
“Kenapa?”

Terlambat. Arwah Aira sudah menghampiri kami dan siap nyekek Webe.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar