BAB 20
BAB 20
Terlalu membuatku penat. Aku merasa
seperti badut yang layak ditertawakan. Walau sekarang Si Picas sudah pulang
karena galau, aku juga masih merasa galau. Pikiranku melayang tak tentu arah sampai
tidak fokus mendengar apa yang sedang dibicarakan Mia.
“Eh, mikirin Webe lu?” kata Mia
mengagetkanku.
Sebegitu transparannya apa otakku
hingga Mia bisa dengan sukses menebaknya. Siapa juga yang mikirin dia. Aku
hanya berpikir kenapa harus dia yang menyebabkan Nick celaka, kenapa harus dia
yang membuat aku sekarang dalam keadaan serba salah.
“Siapa juga yang mikirin dia?” kataku
berusaha mengelak.
“Halah, Sonia. Kaya gue tuh kenal lu
baru kemarin saja. Membohongi diri sendiri itu menyakitkan loh.”
“Sok wise ah.”
“Bener, Sonia. Kurasa Webe sekarang
juga sudah berbeda dengan Webe yang dulu. Tidak ada salahnya jika kamu memang
suka dia,” sambung Nazria semakin memojokkanku untuk larut memikirkannya.
“Ciee yang sedang cenat cenut. Eh, Son. Lu tuh
harus move on. Tidak ada gunanya lu terus terpuruk seperti ini terus. Toh, Nick
juga akan bilang begitu jika masih ada.”
“Webe yang telah buat Nick meninggal,
Mia. Bagaimana aku bisa melupakan hal itu. Aku masih belum bisa memaafkannya.”
“Jiah, kayanya kalau ngomong sama lu,
perlu diulang deh. Sorot mata lu tuh ya, menyimpan sesuatu sama Webe, masih
juga belum bisa maafin dia. Entar kalau Webenya pergi lagi baru gigit jari lu.”
Siapa yang harus kudengar? Hatiku atau
omongan teman-temanku yang mungkin saja juga mewakili ungkapan hatiku. Hari ini
aku seperti berada di atas sebatang kayu di tengah lauta. Takut untuk
melangkah.
Saatnya menetralisir diri di kamarku.
Pertama yang ingin kubaca adalah buku David karangan Edward William White.
Sampai sekarang dia belum konfirmasi aku. Pesan yang kukirimkan juga belum
dibalas.
Aku membuka halaman 259. Halaman ini adalah
titik balik dimana David mulai menyadari sesuatu bahwa memaksakan sesuatu yang
tak mungkin dipaksakan hanya akan menambah beban di hati saja.
“... Aku tak membutuhkan kamus apapun
Untuk
mengartikan bahasa hatiku
Karena
hanya ada satu kata di sana
Yaitu
namanya
Karena
hanya satu kata itu
Yang
mampu memompa detaknya
Aku
tak peduli
Tangan-tangan
maut mencengkramku kuat
Menarikku
dan memisahkanku darinya
Aku
pasti akan kembali padanya
Hanya
padanya
Dan
demi hari ini
Dengarkan
apa yang kukatakan
Cinta
hanya dimengerti
Oleh
hati yang tulus mengatakan
“Hanya
karenamu, semua ini menjadi arti
bagiku…”
....
Mereka semua terkejut dengan apa yang
baru saja kulakukan. Sebagian dari mereka pasti mengira aku sudah gila karena
penyakitku. Tanpa terkecuali Sonia. Dia adalah satu-satunya orang yang berlari
dan berusaha menyelamatkan diary-diary itu. Untuk apa? Untuk membuktikan hebat
sekali persahabatan itu, bahkan bisa mengalahkan rasa cinta pada kekasih dan
juga penghianatannya?
Lupakanlah Sonia! Untuk apa kau masih
terus berusaha memadamkan api yang sudah terlanjur membakar separuh dari buku
diary itu? Jika kau tahu, tidak ada orang lain yang lebih mengenal sakitnya
selain aku. Karena tanpa diary itu, aku takkan lagi bisa bersama Mega. Aku
harus kehilangannya untuk selamanya.
Aku tersenyum kecil melihat wajah
cantik Mega dan sekilas melintasi Sonia yang masih sibuk memadamkan api itu.
“Namaku David Beckham…” kataku pelan
sebelum meninggalkan semua orang yang menatapku sinis.
...”
“Lupakanlah
Sonia! Untuk apa kau masih terus berusaha memadamkan api yang sudah terlanjur
membakar separuh dari buku diary itu? Jika kau tahu, tidak ada orang lain yang
lebih mengenal sakitnya selain aku. Karena tanpa diary itu, aku takkan lagi
bisa bersama Mega. Aku harus kehilangannya untuk selamanya,” aku membaca
kalimat itu sekali lagi seperti mengingatkanku bahwa memang sampai kapanpun,
Nick hanya akan mencintai Aira. Siapapun yang membujuknya tidak akan mampu
negubah apa yang hatinya rasakan termasuk Aira sendiri.
Nyesek.
Pengen buka flashdisk Aira. Tapi
tatapan mataku malah mengarah ke ponselku. Jari-jemariku mulai mencari nomor
yang ingin kuhubungi. Webe. Apa benar aku sedang berusaha membohongi diriku
jika aku memang perlahan menyukainya? Sepertinya tidak.
Telepon?
Tidak?
Telepon?
Ah... lupakan.
“Drrrrrrrrrttt... derrrrrtttt,” poselku
bergetar dan nama Webe tertera di sana. Dia menelponku? Sepertinya jodoh deh.
Pas aku memang pengen telepon dia dan bingung malah dia telepon aku dulu. Jiah
, apa yang otakku pikirkan nih? Delete-delete.
“Hallo,” kataku pelan.
“Sonia. Aku punya sesuatu untukmu,”
kata Webe membuatku berdebar.
“Apa?”
“Aku tidak bisa menjelaskannya,”
jawaban itu membuatku merasa teleponnya tidak penting.
“Hanya mau
bilang itu?”
“Bisa kita bertemu
besok, Sonia?”
“Emang ada
perlu apa?”
“Ada yang ingin
aku sampaikan ke kamu.”
“Sampaikan saja
sekarang bisa kan?”
“Ya udah.
Sampai ketemu besok ya,” Webe mengakhiri teleponnya begitu saja seperti ada
sesuatu yang sulit untuk dikatakan.
Jadi penasaran.
Bisanya jika
ada orang yang ngomongnya tanggung-tanggung seperti ini, ujung-ujungnya pasti
akan pergi. Dan biasanya aku pasti nyesel. Nyesel kenapa? Harusnya aku hepi
jika dia pergi.
Di sekolah,
kulihat Webe sudah berbaur kembali dengan teman-temannya. Tumben tadi pagi dia
tidak menjemputku. Dia hanya tersenyum kecil kepadaku kemudian asyik berbincang
lagi dengan teman-temannya. Suerrrrrrr, aku merasa diabaikan benget dengan
sikapnya. Sampai pulang pun dia juga masih bersikap begitu seperti lupa dengan
apa yang ingin dikatakannya lewat telepon tadi malam. Padahal aku sudah
menunggu dia mau bilang apa. Dia bahkan tidak menawariku pulang bareng dan
langsung memacu mobilnya walau tahu aku sedang menunggu angkot.
Kok aku jadi
nyesek gini ya?
Kontras banget
dengan bayanganku tadi malam. Mungkin gini kali ya rasanya diabaikan. Yang
bikin tambah bikin ilfil lagi tuh adalah saat lihat Imel lambain tangannya ke
aku seakan sengaja ngejekin aku. Intinya sekarang aku sedang sensitive walau
tidak sedang PMS.
“Son, sendirian?”
tanya Imel.
Dah tahu
sendirian nanya.
“Iya.”
“Ikut aku saja
yuk. Katanya kemarin kakimu sakit, sudah sembuh ya?”
“Sudah. Terima
kasih, tapi aku mau ke makam Nick hari ini.”
“Oh, ya sudah.
Kenapa tidak sama Webe?”
“Tidak.”
“Ok, aku duluan
ya.”
Hah… lemes deh
kalau gini. Angkot mana angkot? Lama banget sih. Mana setelah dapet penuh lagi.
Di makam
kulihat mobil Webe sudah ada di halaman makam. Untuk apa dia kemari? Aku
sengaja tidak mendekat padanya. Dia tidak berdiri di dekat makam Nick. Ada makam
lain yang dia tungguin dengan seikat karangan bunga di atasnya. Baru tahu aku
jika dia punya kerabat yang dimakamkan di pemakaman ini.
Lebih dekat ah.
“Namanya Sonia,
Ma. Orangnya tidak cantik. Tubuhnya juga kecil kerempeng tidak menarik. Aneh
saja rasanya. Jika mama masih ada pasti tidak akan percaya saat melihat
orangnya…,” kata Webe membuatku ingin bacok-bacok dia karena telah mengejekku,
tidak cantik lah, kerempeng lah di depan makam mamanya. Maunya apa sih dia.
“… Tapi dia
mengajarkanku sesuatu, Ma. Sesuatu yang selama ini sempat hilang dan tak pernah
kurasakan lagi sejak mama pergi. Sesuatu yang telah digantikan oleh ayah dengan
semua materi. Pokoknya sesuatu yang sangat berharga sekali. Entahlah aku tidak
bisa menyebutnya apa…
… aku sudah
membuat dia sangat membenciku, Ma. Sampai sekarang pun dia juga belum bisa
memaafkanku. Jika mama ada, mungkin mama akan membantuku memberi saran yang
tepat cara meminta maaf yang benar pada seorang cewe ya. Sudahlah. Lupakan
ocehanku tadi. Besok aku kemari lagi. Oh, ya lupa. Aku baru tahu jika ayah
sering merindukan mama tiap malam. Kemarin ayah meneteskan airmatanya saat
melihat lihatin foto mama. Aku hanya ingin bilang, tolong maafin ayah juga ya.
Aku tahu ayah sebenarnya sangat menyayangi mama dan semua itu tidak di
sengaja.”
Aku buru buru
bersembunyi dan menjauh dari tempat Webe mengadu pada makam mamanya. Aku tidak
ingin dia tahu jika aku juga ke pemakaman yang sama. Sesampai di makam Nick.
Kulihat ada beberapa origami burung kertas di atas nisannya. Biasanya yang
buatin origami burung kertas itu adalah Nick untukku. Mana mungkin Nick atau
arwahnya buatin origami itu untuk dirinya sendiri. Harusnya diletakkan di makam
Aira dong. Atau mungkin arwah memang sudah tidak bisa baca ya? Jangan-jangan
Mia.
Aku membersihkan
makam Nick dengan kain yang biasa kugunakan untuk membersihkan nisannya.
Setelah itu giliran membersihkan makam Aira. Jeles sekali melihat kedua makam
itu bisa berdampingan seperti tidak ada yang memisahkan. Kalau biasanya
orang-orang sering membacakan doa untuk orang yang telah meninggal di makam
itu, aku biasanya membaca buku David beberapa bab. Sebenarnya tanpa membacanya
aku sudah sangat hafal ceritanya. Aku terkadang berharap ada sebuah keajaiban
atau setidaknya pengulangan waktu atau pengulangan kisah yang menjadikan Nick
kembali hidup. Tidak mengenalku juga tidak apa-apa. Seperti David mencoba
memperbaiki takdirnya dengan tidak lagi mengenal Mega. Lupakan.
“Sudah
selesai?” tanya Webe sudah berdiri tak jauh dari tempatku duduk membaca buku
itu.
“Ngapain kamu
di sini?” tanyaku pura-pura tidak tahu jika dia baru saja dari makam mamanya.
“Dari makam
mama. Kalau sudah selesai nanti kita pulang bareng.”
“Sudah. Aku
baru tahu jika kamu sudah tidak punya mama, sudah berapa lama?”
“Sudah lama. Kapan-kapan
kuajak ke makam mama, tidak jauh kok.”
Mau
dijelek-jelekin lagi? Ogah lah. Emang tadi aku tidak dengar yang tadi
dibicarakannya di depan makam mamanya.
Saat perjalanan
keluar makam, aku melihat seorang gadis yang sepertinya aku pernah mengenalnya.
Aku mencoba mengingat-ingat gadis cantik itu. Siapa dan dimana pernah bertemu
denganya. Semakin lama semakin dekat dan aku mulai mengingat siapa dia. Wajahku
mendadak pucat seperti melihat hantu. Sepertinya aku memang melihat hantu. Ya,
hantunya Aira. Tidak salah lagi jika dia memang Aira dan kemungkinan akan
kembali ke makamnya.
“Eh, kamu
kenapa?” tanya Webe memegangi tanganku yang menggigil dengan keringat dingin
membasahi telapak tanganku. “Kamu kesurupan setan ya? Jangan bercanda ah, Son.
Aku masih belum hafal ayat kursi nih. Son, Sonia. Eh…”
“Itu Aira,”
kataku sambil berbisik setelah gadis itu melewatiku.
Hah? Tidak
Arwah Aira ternyata memiliki pendengaran yang sangat sensitive. Padahal tadi
aku merasa hanya berbisik pada Webe tapi dia mendengarnya. Dia membalikkan
tubuhnya dan melihat ke arah kami.
“Aira siapa?
Kamu kenal dia? Apa dia teman kamu?” tanya Webe jelas sekali jika dia juga
melihat arwah Aira.
“Kamu bisa
melihatnya juga?”
“Jangan konyol
ah. Emang aku katarak? Kalau kamu kenal dia kita temuin dia saja.”
“Eh jangan!”
“Kenapa?”
Terlambat.
Arwah Aira sudah menghampiri kami dan siap nyekek Webe.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar