BAB 25
Jari jemariku
langsung terasa kaku saat membaca pesan itu. Aku sudah tidak memikirkan sekarang
aku sedang berhalusinasi atau ini memang kenyataan. Yang pasti rasa takutku
kali ini tak bisa lagi kusembunyikan apalagi kuambaikan. Mendadak aku seperti
diseret oleh tangan-tangan dan memaksaku masuk ke dalam dunia yang sangat
asing. Aku tak tahu berada dimana. Yang aku
tahu sekarang ini aku tidak lagi ada di kamarku, bukan pula ada di bumi. Entah
ini dunia apa.
“Edward!!!!
Keluar kau kalau berani. Jangan hanya bersembunyi dan terus mempermainkanku
hingga aku gila. Aku tidak takut padamu,” aku bicara seorang diri seperti orang
gila. –mungkin memang aku sudah gila kali ya-.
Masih sepi. Aku
seperti berada dalam sebuah perangkat dan tidak kutemui sesuatu yang bisa
dikatakan nyata. Apa ini yang namanya dunia maya?
“Edward!!!!
Keluar kau!!”
Masih tak ada
jawaban.
Masih menunggu.
Aku sudah lelah
berteriak-teriak.
Ayo keluarlah.
Ya, kau menang
lagi.
Keluarkan aku
dari sini!
Webe tolong
aku.
Webe.
Aku menangis
dan tak ada yang mendengar. Yang ada di sekitarku hanya bulatan-bulatan berlalu
lalang tidak memberi jawaban ataupun menghiburku. Kenapa dia tidak membunuhku
saja dan semua ini segera berakhir?
“Edward!! Puas?
Iya kau menang. Keluarlah! Keluarkan aku dari sini, kumohon.”
“Jangan memohon
padaku, Sonia. Aku bukan Tuhan. Aku hanya pengatur system,” kata Edward keluar
begitu saja dari sisi hologram yang terbentuk dari bulatan-bulatan.
“Keluarkan
aku.”
“Bukankah dunia
yang kau tinggali juga sudah mengacuhkanmu? Tinggal saja di sini bersamaku dan
kita bisa menjelajah kemana saja tanpa ada pembatas.”
“Aku tidak
mau.”
“Bagaimana
rasanya?”
“Rasanya apa?”
“Menjadi
sepertiku.”
“Aku kurang
paham.”
“Kamu hanya
pura-pura tidak paham, Sonia. Masih ingin menghancurkan eksistensiku?”
”Bukankah aku
telah kalah? Apa lagi yang kau harapkan dariku?”
“Bagaimana jika
sekarang kita mulai memahami sesuatu? Selamat datang
di dunia nyata.”
“Apa maksudmu
dunia nyata?”
“Setiap orang
memiliki dunianya masing-masing. Karena itu hargailah yang kamu miliki.”
“Aku sudah
bosan berbasa-basi, Edward. Katakan apa maumu?”
“Kamu sudah
membaca buku David sampai hafal, Sonia. Tidakkah kau temukan jawaban di sana?
Sekarang yang kita hadapi hampir sama dengan bab-bab akhir buku itu kan? Kamu
sebagai David dan bedanya aku bukan Tuhan, melainkan hanya system yang
mengetahui cara kerja duniaku. Ok kita mulai dengan membuka-buka pintu
kesempatan seperti yang David pernah lakukan.”
Aku terdiam dan
mengamati apa yang dilakukannya. Aku melihat program Window tiga dimensi
terpampang di hadapanku. Setiap pintu seperti sebuah folder yang di dalamnya
ada beberapa file. Aku masih belum paham apa maksudnya, hingga dia membuka
sebuah file AIRA yang pernah dikatakannya.
“Aku tidak bisa
memasuki semua file yang ada di sana, Sonia. Hanya file-file tertentu yang
terhubung dan sesuai dengan system yang kupunya. Di sanalah aku bertahan hidup.
Kamu pasti ingin bertanya bagaimana aku bisa memasuki kehidupanmu. Iya kan? Ok,
aku jawab langsung saja. Secara tidak langsung kita telah terhubung.”
“Lalu mengapa
kamu malah mengacaukan sistemmu yang bisa membuat kamu kehilangan
keberadaanmu?”
“Aku tidak
mengacaukannya. Hanya menyempurnakannya. Aku mengikuti pola pikir systemku dan
bukan menciptakannya. Dengan begitu, aku bisa bertahan. Yang kulakukan hanya
menulis cerita untuk systemku sesuai dengan apa yang ingin dilakukannya.
Intinya, bukan aku yang membuat kamu gila, tapi karena kamu sendiri yang menganggap dirimu gila, Sonia. Masih bingung.
Kembali ke David. Dia diminta Tuhan memilih, dan pilihan itulah yang kelak
harus dijalaninya.”
“Untuk apa kamu
mencegahku saat aku mencoba memperingatkan Aira?”
“Semua file
tersusun dengan sistemnya masing-masing. Dan jika kamu memasuki system Aira,
secara tidak langsung kamu menjadi virus bagiku dan aku tidak akan
membiarkannya. Tapi kamu memaksaku menscan dirimu. Yang sedang terjadi pada
dirimu saat ini adalah kita sedang saling membunuh atau mungkin malah saling
melengkapi dan sekarang kamu sedang dalam quarantineku. Bagimana, Sonia?”
“Apa aku sudah
tidak mungkin kembali?”
“Aku tidak
ingin menjawab pertanyaan itu.”
“Kenapa?”
“Karena pertanyaan
itu tidak akan membuatmu pintar. Pertanyaan egois semacam itu hanya akan
membuatmu terus terbelenggu. Ingat kembali pesan Aira padamu apa?”
“Dia ingin agar
aku memberitahu dirinya agar mengikhlaskan Nick.”
“Pintar.”
“Maksudnya?”
“Belajarlah
Ikhlas. Kita sama-sama penulis, Sonia. Bedanya kamu menulis untuk kesukaanmu
dan aku menulis untuk bertahan hidup. Jadi kenapa kamu terus khawatirkan Aira
jika aku akan menghancurkan hidupnya? Aku tidak akan menghancurkan rumahku
sendiri kan? Harusnya kamu belajar dari pacarmu yang ganteng itu.”
“Webe?”
“Emang pacar
kamu siapa? Hahhaa.”
Kurang ajar
banget.
“Tidak usah
kesal begitu.”
Sialan dia juga
bisa membaca pikiranku.
“Tentu saja aku
bisa melakukannya.”
Kok kaya Dejavu
gini?
“Kan kamu sudah
hafal buku David, system itu sudah terinstall dalam otakmu dan aku tinggal
mengembangkannya.”
Jadi benar buku
itu adalah flashdisk yang digunakannya untuk membuat takdir Aira.
“Kurang lebih
begitu, tapi belum tepat.”
Berhentilah
membaca pikiranku, dasar cacing.
“Kita sama-sama
virus, Sonia. Anggap saja kamu adalah virus bernama Sonia dan aku virus bernama
Edward. Terserah kamu sekarang, kita akan saling mengebalkan atau harus ada
salah satu yang harus dimusnahkan.”
“Kenapa dengan
Webe?” tanyaku muak setelah tidak bisa lagi berbohong kepadanya.
“Dia lebih
bijak dari kamu dan juga Nick. Dia mau belajar. Dia juga mau menghargai orang
lain, dan tidak asal memusnahkan karya orang lain.”
Tiba-tiba saja
aku merasa bersalah. Aku yang mengaku suka menulis dan sering membuat karya,
malah ingin membakar buku milik orang lain hanya karena menurutku, tulisannya
tidak bagus menurut pendapatku.
“Kamu mulai
pintar. Apakah kamu juga akan menyalahkan Tuhan pada nasib buruk yang menimpa
seseorang? Tuhan itu adalah penulis terbaik dari semua penulis yang ada. Karena
Dia sudah menentukan semuanya sebelum menulisnya. Apakah saat kamu menulis
karyamu bisa seperti Dia menulis takdir seseorang? Tidak bukan.”
“Terus mengapa
kamu bertingkah seolah kamu adalah Tuhan bagi Aira?”
“Itu hanya
persepsimu saja.”
“Kenyataannya
seperti itu.”
“Kenyataan yang
bagaimana?”
“Ya yang
seperti itu.”
“Kamu sendiri
tidak bisa menjelaskan kenyataan itu apa, kenapa malah berpendapat tentang
kenyataan, bukankah itu aneh?” kata Edward membuatku bungkam.
Dia terlalu
pintar. Tentu saja dia pintar karena otakku hanya kaca transparent yang dengan
mudah dia bisa membacanya. Tapi semua yang dikatakannya membuatku bisa berpikir
dari sisi yang berbeda. Sisi yang saling terkait seperti sebuah RECTOVERSO.
“Dunia nyata
bagimu adalah dunia maya bagiku dan begitu pula sebaliknya. Yang dinyatakan
nyata maupun maya, tergantung sudut padang kita, kan? Bagaimana jika kamu
adalah hasil olehan tulisan dari orang lain? Bisa jadi. Kita adalah karya seni
dari yang maha indah. Tuhan itu sendiri, Sonia. Jika kamu bimbang serahkan saja
semua dan segalanya akan menjadi ringan.”
“Aku sudah
paham,”jawabku pelan.
“Terus?”
“Harusnya aku
yang menanyakan itu.”
“Terserah kamu
saja. Aku hanya menawarkan alternative untukmu. Kamu yang pegang kuncinya.”
“Aku ingin kembali,
Edward. Aku ingin memperbaiki semuanya sebelum terlambat dan kehilangan semua
yang kumiliki.”
“Kamu masih
belum cukup pintar.”
“Maksud kamu.”
“Sebenarnya apa
yang kamu miliki? Keluarga? Teman? Atau Webe? Atau mungkin gelar prestasi yang
mendadak harus lepas begitu saja?”
“Aku masih
kurang paham.”
“Karena itu aku
bilang kamu belum cukup pintar. Yang kamu miliki hanyalah dirimu sendiri. Dan
orang lain tak akan memilikinya kecuali kamu memberikannya… kehidupan
ini adalah kehidupanmu, kematian juga kematianmu. jangan takut dicampuri siapapun kecuali TUHANMU jika masih ada keragu-raguan di
dalam dadamu, kamu tidak akan bisa melangkah maju. Belajarlah pada Webe yang
mau belajar.”
“Aku hanya
ingin kembali.”
“Aku tidak
melarang.”
“Kenapa sampai
sekarang aku masih di sini?”
“Karena kamu
sendiri yang ingin tetap berada di sini.”
“Aku tidak
ingin di sini.”
“Niat itu di
hati, Sonia. Bukan di bibirmu. Masih banyak pertanyaan dalam kepalamu yang
membuatmu masih ingin di sini.”
“Kenapa kamu
begitu menyebalkan sih?”
“Hahaha kamu
mulai pintar. Pintar menghujat maksudku.”
“Jika tidak
ingin dihujat jangan ceramah terus dong. Pusing kepalaku tahu.”
“Aku hanya
mengatakan apa yang ingin kamu dengar.”
“Kenapa kamu
berkata muter-muter mulu?”
“Aku hanya
menjawab apa yang kamu tanyakan.”
“Hentikan!...”
“Jika kamu
tidak berhenti, bagaimana aku bisa berhenti?”
“Kumohon.”
“Kamu sendiri
yang tentukan, Sonia.”
“Diam.”
“Hahahaha…
baiklah. Baiklah. Aku akan diam. Aku beri pilihan deh sesuai apa yang tadi
kubaca dari hatimu. Kamu ingin Nick orang yang kamu cintai kembali dan memulai
hidup barumu atau kamu pilih Webe orang yang benar-benar mencintaimu dan tetap
menjalani status gilamu?”
Kok aku jadi
merasa jika Edward itu sebenarnya adalah diriku ya? Tidak salah lagi, dia
memang diriku. Tidak ada gunanya berdebat dengan dir sendiri dan tak ada ujung
pangkalnya. Dia tidak nyata. Dia adalah aku. Aku adalah dia. Aku pasti positif
menderita skizofenia. Ya aku gila karena ini.
“Terserah
pendapatmu saja deh, Sonia. Cepetan tentukan. Aku masih harus menjawab
pertanyaan Mia, nih.”
“Mia?”
“Gita juga?”
“Apa yang akan
kamu lakukan pada teman-temanku, Edward?”
“Seperti biasa
memberi saran. Emang kamu saja yang bisa ngaco di dunia maya menjadi dukun. Aku
juga bisa lah. Malah lebih kena sasaran gitu.”
“Aku pilih
Webe.”
“Ga salah?”
“Ga.”
“Kamu beneran
ga malu disebut gila?”
“Jangan
bertele-tele seperti buku itu deh. Aku tidak mau seperti David. Aku pilih
Webe.”
“Kenapa pilih
Webe?”
“Cerewet banget
sih lu. Urusan gue gitu.”
“Hahhaha itu
gaya bahasa Mia.”
Pengen tambal
lakban deh mulutnya. Dia pasti mempunyai stok kata-kata berlimpah untuk beradu
argumentasi. Diam, percuma.
“Katakan sekali
lagi, sebelum menyesal,” tanya dia.
“WEEEEEEBEEEEEEEEEE…”
teriakku agar dia dengar.
….
“Sonia,… Sonia…
kamu tidak apa-apa,” kata seseorang membangunkanku di depan laptopku.
Webe.
Aku senang
sekali sudah kembali dan langsung memeluknya. Dia masih bingung dengan apa yang
kulakukan. Intinya aku sekarang tahu aku tidak ingin kehilangannya.
“I love you,”
kataku menciumnya dan dia seperti orang bodoh yang belum pernah dicium cewek
cantik sepertiku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar