Rabu, 19 Juni 2013

SONIA SWAN BAB 25: DUMAY



BAB 25






Jari jemariku langsung terasa kaku saat membaca pesan itu. Aku sudah tidak memikirkan sekarang aku sedang berhalusinasi atau ini memang kenyataan. Yang pasti rasa takutku kali ini tak bisa lagi kusembunyikan apalagi kuambaikan. Mendadak aku seperti diseret oleh tangan-tangan dan memaksaku masuk ke dalam dunia yang sangat asing. Aku tak tahu berada dimana. Yang aku tahu sekarang ini aku tidak lagi ada di kamarku, bukan pula ada di bumi. Entah ini dunia apa.

“Edward!!!! Keluar kau kalau berani. Jangan hanya bersembunyi dan terus mempermainkanku hingga aku gila. Aku tidak takut padamu,” aku bicara seorang diri seperti orang gila. –mungkin memang aku sudah gila kali ya-.

Masih sepi. Aku seperti berada dalam sebuah perangkat dan tidak kutemui sesuatu yang bisa dikatakan nyata. Apa ini yang namanya dunia maya?

“Edward!!!! Keluar kau!!”

Masih tak ada jawaban.

Masih menunggu.

Aku sudah lelah berteriak-teriak. 

Ayo keluarlah.

Ya, kau menang lagi. 

Keluarkan aku dari sini!

Webe tolong aku. 

Webe.

Aku menangis dan tak ada yang mendengar. Yang ada di sekitarku hanya bulatan-bulatan berlalu lalang tidak memberi jawaban ataupun menghiburku. Kenapa dia tidak membunuhku saja dan semua ini segera berakhir?

“Edward!! Puas? Iya kau menang. Keluarlah! Keluarkan aku dari sini, kumohon.”
“Jangan memohon padaku, Sonia. Aku bukan Tuhan. Aku hanya pengatur system,” kata Edward keluar begitu saja dari sisi hologram yang terbentuk dari bulatan-bulatan.
“Keluarkan aku.”
“Bukankah dunia yang kau tinggali juga sudah mengacuhkanmu? Tinggal saja di sini bersamaku dan kita bisa menjelajah kemana saja tanpa ada pembatas.”
“Aku tidak mau.”
“Bagaimana rasanya?”
“Rasanya apa?”
“Menjadi sepertiku.”
“Aku kurang paham.”
“Kamu hanya pura-pura tidak paham, Sonia. Masih ingin menghancurkan eksistensiku?”
”Bukankah aku telah kalah? Apa lagi yang kau harapkan dariku?”
“Bagaimana jika sekarang kita mulai memahami sesuatu? Selamat datang di dunia nyata.”
“Apa maksudmu dunia nyata?”
“Setiap orang memiliki dunianya masing-masing. Karena itu hargailah yang kamu miliki.”
“Aku sudah bosan berbasa-basi, Edward. Katakan apa maumu?”
“Kamu sudah membaca buku David sampai hafal, Sonia. Tidakkah kau temukan jawaban di sana? Sekarang yang kita hadapi hampir sama dengan bab-bab akhir buku itu kan? Kamu sebagai David dan bedanya aku bukan Tuhan, melainkan hanya system yang mengetahui cara kerja duniaku. Ok kita mulai dengan membuka-buka pintu kesempatan seperti yang David pernah lakukan.”

Aku terdiam dan mengamati apa yang dilakukannya. Aku melihat program Window tiga dimensi terpampang di hadapanku. Setiap pintu seperti sebuah folder yang di dalamnya ada beberapa file. Aku masih belum paham apa maksudnya, hingga dia membuka sebuah file AIRA yang pernah dikatakannya.

“Aku tidak bisa memasuki semua file yang ada di sana, Sonia. Hanya file-file tertentu yang terhubung dan sesuai dengan system yang kupunya. Di sanalah aku bertahan hidup. Kamu pasti ingin bertanya bagaimana aku bisa memasuki kehidupanmu. Iya kan? Ok, aku jawab langsung saja. Secara tidak langsung kita telah terhubung.”
“Lalu mengapa kamu malah mengacaukan sistemmu yang bisa membuat kamu kehilangan keberadaanmu?”
“Aku tidak mengacaukannya. Hanya menyempurnakannya. Aku mengikuti pola pikir systemku dan bukan menciptakannya. Dengan begitu, aku bisa bertahan. Yang kulakukan hanya menulis cerita untuk systemku sesuai dengan apa yang ingin dilakukannya. Intinya, bukan aku yang membuat kamu gila, tapi karena kamu sendiri yang  menganggap dirimu gila, Sonia. Masih bingung. Kembali ke David. Dia diminta Tuhan memilih, dan pilihan itulah yang kelak harus dijalaninya.”
“Untuk apa kamu mencegahku saat aku mencoba memperingatkan Aira?”
“Semua file tersusun dengan sistemnya masing-masing. Dan jika kamu memasuki system Aira, secara tidak langsung kamu menjadi virus bagiku dan aku tidak akan membiarkannya. Tapi kamu memaksaku menscan dirimu. Yang sedang terjadi pada dirimu saat ini adalah kita sedang saling membunuh atau mungkin malah saling melengkapi dan sekarang kamu sedang dalam quarantineku. Bagimana, Sonia?”
“Apa aku sudah tidak mungkin kembali?”
“Aku tidak ingin menjawab pertanyaan itu.”
“Kenapa?”
“Karena pertanyaan itu tidak akan membuatmu pintar. Pertanyaan egois semacam itu hanya akan membuatmu terus terbelenggu. Ingat kembali pesan Aira padamu apa?”
“Dia ingin agar aku memberitahu dirinya agar mengikhlaskan Nick.”
“Pintar.”
“Maksudnya?”
“Belajarlah Ikhlas. Kita sama-sama penulis, Sonia. Bedanya kamu menulis untuk kesukaanmu dan aku menulis untuk bertahan hidup. Jadi kenapa kamu terus khawatirkan Aira jika aku akan menghancurkan hidupnya? Aku tidak akan menghancurkan rumahku sendiri kan? Harusnya kamu belajar dari pacarmu yang ganteng itu.”
“Webe?”
“Emang pacar kamu siapa? Hahhaa.”
Kurang ajar banget.
“Tidak usah kesal begitu.”
Sialan dia juga bisa membaca pikiranku.
“Tentu saja aku bisa melakukannya.”
Kok kaya Dejavu gini?
“Kan kamu sudah hafal buku David, system itu sudah terinstall dalam otakmu dan aku tinggal mengembangkannya.”
Jadi benar buku itu adalah flashdisk yang digunakannya untuk membuat takdir Aira.
“Kurang lebih begitu, tapi belum tepat.”
Berhentilah membaca pikiranku, dasar cacing.
“Kita sama-sama virus, Sonia. Anggap saja kamu adalah virus bernama Sonia dan aku virus bernama Edward. Terserah kamu sekarang, kita akan saling mengebalkan atau harus ada salah satu yang harus dimusnahkan.”
“Kenapa dengan Webe?” tanyaku muak setelah tidak bisa lagi berbohong kepadanya.
“Dia lebih bijak dari kamu dan juga Nick. Dia mau belajar. Dia juga mau menghargai orang lain, dan tidak asal memusnahkan karya orang lain.”
Tiba-tiba saja aku merasa bersalah. Aku yang mengaku suka menulis dan sering membuat karya, malah ingin membakar buku milik orang lain hanya karena menurutku, tulisannya tidak bagus menurut pendapatku.
“Kamu mulai pintar. Apakah kamu juga akan menyalahkan Tuhan pada nasib buruk yang menimpa seseorang? Tuhan itu adalah penulis terbaik dari semua penulis yang ada. Karena Dia sudah menentukan semuanya sebelum menulisnya. Apakah saat kamu menulis karyamu bisa seperti Dia menulis takdir seseorang? Tidak bukan.”
“Terus mengapa kamu bertingkah seolah kamu adalah Tuhan bagi Aira?”
“Itu hanya persepsimu saja.”
“Kenyataannya seperti itu.”
“Kenyataan yang bagaimana?”
“Ya yang seperti itu.”
“Kamu sendiri tidak bisa menjelaskan kenyataan itu apa, kenapa malah berpendapat tentang kenyataan, bukankah itu aneh?” kata Edward membuatku bungkam.

Dia terlalu pintar. Tentu saja dia pintar karena otakku hanya kaca transparent yang dengan mudah dia bisa membacanya. Tapi semua yang dikatakannya membuatku bisa berpikir dari sisi yang berbeda. Sisi yang saling terkait seperti sebuah RECTOVERSO. 

“Dunia nyata bagimu adalah dunia maya bagiku dan begitu pula sebaliknya. Yang dinyatakan nyata maupun maya, tergantung sudut padang kita, kan? Bagaimana jika kamu adalah hasil olehan tulisan dari orang lain? Bisa jadi. Kita adalah karya seni dari yang maha indah. Tuhan itu sendiri, Sonia. Jika kamu bimbang serahkan saja semua dan segalanya akan menjadi ringan.”
“Aku sudah paham,”jawabku pelan.
“Terus?”
“Harusnya aku yang menanyakan itu.”
“Terserah kamu saja. Aku hanya menawarkan alternative untukmu. Kamu yang pegang kuncinya.”
“Aku ingin kembali, Edward. Aku ingin memperbaiki semuanya sebelum terlambat dan kehilangan semua yang kumiliki.”
“Kamu masih belum cukup pintar.”
“Maksud kamu.”
“Sebenarnya apa yang kamu miliki? Keluarga? Teman? Atau Webe? Atau mungkin gelar prestasi yang mendadak harus lepas begitu saja?”
“Aku masih kurang paham.”
“Karena itu aku bilang kamu belum cukup pintar. Yang kamu miliki hanyalah dirimu sendiri. Dan orang lain tak akan memilikinya kecuali kamu memberikannya… kehidupan ini adalah kehidupanmu, kematian juga kematianmu. jangan takut dicampuri siapapun kecuali TUHANMU jika masih ada keragu-raguan di dalam dadamu, kamu tidak akan bisa melangkah maju. Belajarlah pada Webe yang mau belajar.”
“Aku hanya ingin kembali.”
“Aku tidak melarang.”
“Kenapa sampai sekarang aku masih di sini?”
“Karena kamu sendiri yang ingin tetap berada di sini.”
“Aku tidak ingin di sini.”
“Niat itu di hati, Sonia. Bukan di bibirmu. Masih banyak pertanyaan dalam kepalamu yang membuatmu masih ingin di sini.”
“Kenapa kamu begitu menyebalkan sih?”
“Hahaha kamu mulai pintar. Pintar menghujat maksudku.”
“Jika tidak ingin dihujat jangan ceramah terus dong. Pusing kepalaku tahu.”
“Aku hanya mengatakan apa yang ingin kamu dengar.”
“Kenapa kamu berkata muter-muter mulu?”
“Aku hanya menjawab apa yang kamu tanyakan.”
“Hentikan!...”
“Jika kamu tidak berhenti, bagaimana aku bisa berhenti?”
“Kumohon.”
“Kamu sendiri yang tentukan, Sonia.”
“Diam.”
“Hahahaha… baiklah. Baiklah. Aku akan diam. Aku beri pilihan deh sesuai apa yang tadi kubaca dari hatimu. Kamu ingin Nick orang yang kamu cintai kembali dan memulai hidup barumu atau kamu pilih Webe orang yang benar-benar mencintaimu dan tetap menjalani status gilamu?”
Kok aku jadi merasa jika Edward itu sebenarnya adalah diriku ya? Tidak salah lagi, dia memang diriku. Tidak ada gunanya berdebat dengan dir sendiri dan tak ada ujung pangkalnya. Dia tidak nyata. Dia adalah aku. Aku adalah dia. Aku pasti positif menderita skizofenia. Ya aku gila karena ini.
“Terserah pendapatmu saja deh, Sonia. Cepetan tentukan. Aku masih harus menjawab pertanyaan Mia, nih.”
“Mia?”
“Gita juga?”
“Apa yang akan kamu lakukan pada teman-temanku, Edward?”
“Seperti biasa memberi saran. Emang kamu saja yang bisa ngaco di dunia maya menjadi dukun. Aku juga bisa lah. Malah lebih kena sasaran gitu.”
“Aku pilih Webe.”
“Ga salah?”
“Ga.”
“Kamu beneran ga malu disebut gila?”
“Jangan bertele-tele seperti buku itu deh. Aku tidak mau seperti David. Aku pilih Webe.”
“Kenapa pilih Webe?”
“Cerewet banget sih lu. Urusan gue gitu.”
“Hahhaha itu gaya bahasa Mia.”
Pengen tambal lakban deh mulutnya. Dia pasti mempunyai stok kata-kata berlimpah untuk beradu argumentasi. Diam, percuma.
“Katakan sekali lagi, sebelum menyesal,” tanya dia.
“WEEEEEEBEEEEEEEEEE…” teriakku agar dia dengar.
….
“Sonia,… Sonia… kamu tidak apa-apa,” kata seseorang membangunkanku di depan laptopku.

Webe.

Aku senang sekali sudah kembali dan langsung memeluknya. Dia masih bingung dengan apa yang kulakukan. Intinya aku sekarang tahu aku tidak ingin kehilangannya.

“I love you,” kataku menciumnya dan dia seperti orang bodoh yang belum pernah dicium cewek cantik sepertiku.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar