Rabu, 19 Juni 2013

SONIA SWAN BAB 21: DAVID



BAB 21




“Apa kita pernah bertemu?” tanya arwah Aira semakin membuatku pengen kencing di celana.
“Nama mba, Aira?” tanya Webe kemudian dia berjabat tangan dan aku buru buru menarik Webe agar tidak dicekik Aira. Walau dia yang telah membunuh Nick –secara tidak langsung- tapi aku tidak ingin kehilangan Webe saat ini. aku tahu Webe yang sekarang sudah berubah bukanlah Webe yang dulu badboy.
“Benar? Apa aku pernah mengenal kalian? Maaf, ingatanku memang sedang tidak baik,” tanya arwah Aira seperti tidak mengenalku, atau mungkin hanya triknya saja agar mudah mencekik Webe saat dia lemah.
“Webe jangan mendekat, nanti dia nyekik kamu,” teriakku spontan dan Aira malah tersenyum geli.
“Cewe kamu lucu. Oh, ya kenalkan namaku Aira. Kamu siapa?”
“Panggil saja Webe, dan ini Sonia. Maaf, Sonia hanya bercanda.”
“Tidak apa-apa. Oh, ya… sampai ketemu lagi ya, aku akan ke makam temanku dulu.”
“Sampai jumpa.”

Arwah Aira beneran mau kembali ke makamnya. Tapi kenapa dia tidak mengingatku dan tidak kenal Webe ya? Dia juga tidak terlihat seperti arwah. Aku melongok memastikan jika dia memang akan kembali masuk kembali ke makamnya.

“Auhhh, sakit tahu,” teriakku karena Webe benar-benar mencubitku.
“Kamu kenapa sih, bikin takut saja,” kata Webe.
“Harusnya aku yang tanya gitu. Ngapain cubit keras banget. Nih lihat bekas kan.”
“Habis kamu seperti orang kesurupan gitu.”
“Siapa sih Aira itu, sampai kamu seperti lihat hantu begitu?”

Aku lupa jika Webe memang tidak mengenal Aira. Dia tahunya hanya Timur. Tidak mungkin jika aku jelasin kalau Aira adalah pacarnya Nick.

“Aira itu…”
“Ya,…”
“Aira itu temanku.”

Dia memandangiku serius dengan bola matanya yang indah lalu, “Auh.. Sakit Webe,” dia nyubit aku lagi.

“Makanya ajarin aku ayat Kursi agar jika kamu kesurupan lagi, aku tak perlu mencubitmu seperti ini kan.”
“Gila kamu.”

Aku kembali ke makam Nick untuk memastikan bagaimana cara Aira masuk kembali ke dalam kuburnya. Ngilang, cling. Gitu atau ada pintu khusus yang hanya diketahui oleh kaum hantu.

“Kemana?”
“Ke makam Nick.”
“Ngapain? Ada yang ketinggalan?”

Aku tidak mempedulikan pertanyaan Webe. Rasa penasaranku mengalahkan rasa takutku pada arwah Aira yang tadi kutemui. Seperti dugaanku, dia berdiri di depan makam Nick dan menaruh sebuah origami burung kertas. Jadi yang membuat origami itu benar-benar arwah Aira. Sekarang tinggal menunggu bagaimana cara Aira masuk ke makamnya.

“Ngapain sih? Masih penasaran banget sama dia? Ceweknya Nick ya?” kata Webe membuatku kaget dan aku langsung membungkam mulutnya.
“Diam ngapa?”

Gadis itu pulang setelah berdiri beberapa saat dan meletakkan origami itu. Kok dia tidak ngilang? Kok dia tidak masuk ke dalam kubur? Dan malah pergi menyusuri jalan.

“Cepetan ikutin dia,” kataku menarik tangan Webe menuju mobilnya.
“Sebenarnya ada apa sih kamu dengan Aira? Beneran dia pacarnya Nick dan kamu selingkuh dengannya?”
“Eh, kalau ngomong jangan sembarangan ya. Sudah mau ikut atau tidak terserah kamu.”

Akhirnya Webe hanya bisa mengikuti perkataanku. Aku masih yakin Aira yang kutemui tadi adalah hantunya Aira. Hanya Aira yang kukenal yang mengunjungi makamnya Nick dan tidak mungkin Aira yang lain. Dia berjalan seorang diri menyusuri trotoar. Ayolah ngilang. Biar Webe percaya jika dia adalah hantu.

Dia berhenti berbicara dengan seorang laki-laki berjaket coklat. Mereka membicarakan sesuatu yang tak kuketahui karena jarak kami cukup jauh untuk bisa mendengarkan pembicaraan mereka.

“Sedikit mendekat, Webe,” kataku membuat Webe semakin penasaran denganku.
“Tidak sopan menguping pembicaraan sesorang.”
“Bukan nguping, tapi hanya pengen tahu saja yang mereka bicarakan.”
“Sama saja lah.”

Mereka sedang membicarakan sesuatu dengan serius. Wajah Aira seperti sudah pengen pergi dan tidak mau menanggapi cowok itu, tapi cowok itu masih juga mengajaknya bicara. Pasti dia adalah buaya.

“Eh, Son. Mau ngapain lagi sih?” cegah Webe saat aku ingin membuka pintu mobilnya.
“Cowo itu ga tahu diri banget deh.”
“Biarin saja kenapa sih? Kamu juga belum jelasin padaku siapa Aira yang membuatmu kaya lihat hantu gitu.”
“Besok saja.”
“Tapi aku tidak setuju jika kamu berbuat bodoh.”

Akhirnya aku hanya duduk diam sambil sesekali mendengarkan yang mereka bicarakan sekilas-sekilas saja. Aku melihat cowo itu mengeluarkan buku yang sama persis dengan buku yang kubawa. Buku David. Apa benar cowo ga tahu diri itu yang bernama Edward William White? 

Aku harus turun.

“Sonia!” panggil Webe tapi aku tidak mempedulikannya lagi.

Aku mendekat pada mereka yang masih sibuk mendiskusikan sesuatu. Tidak salah lagi, buku itu sama persis dengan buku yang perbah diberikan Timur kepadaku.

“Aira!” panggilku menepis semua rasa takut pada hantu penasaran yang ada di depanku ini.
“Eh, kamu lagi. Ada apa? Mana pacarmu?”
“Kamu kenal dia?” kataku sambil menunjuk cowo berjaket coklat itu dengan buku sama yang kami pegang di tangan kami masing-masing. Cowo itu juga memperlihatkan ekspresi keterkejutan yang sama sepertiku saat melihat buku yang ada di tanganku.
“Dari mana kamu dapat buku itu?” tanya dia.
“Kamu Edward William White?”
“Kamu sendiri siapa?”
“Jawab dulu pertanyaanku.”
“Kamu juga belum jawab pertanyaanku.”
“Kok kalian malah saling tanya sih? Kalau begitu silahkan lanjutkan perbincangan kalian, aku tinggal dulu ya,” kata Aira beranjak pergi.
“Eh, jadi beli bukunya tidak?” kata cowo itu masih menawarkan buku itu.
“Aku ga bawa uang sebanyak itu,” jawab Aira.
“Kan hanya 300 ribu rupiah saja, nyesel loh. Ya udah kudiskon jadi 265 ribu saja.”
“Kan tadi sudah kubilang aku tidak punya uang sebanyak itu.”

Maksa banget deh cowo itu. Jika benar dia adalah Edward William White yang pernah kubaca di FB Gita dengan komentarnya lumayan itu, aku malah jadi beralih tidak respon lagi padanya.

“Biar aku yang membeli buku itu,” kata Webe memberikan uang 300 ribu kepadanya.
“Wah pengamatan kamu tentang buku bagus juga. Nih, tapi tidak diskon ya,” kata cowok itu beranjak pergi meninggalkan kami.

Ngapain juga Webe mau beli buku itu. Aku suka dengan bukunya, tapi cara dia maksa agar Aira membeli buku itu yang aku tidak menyukainya. Webe mengajakku kembali masuk ke mobil setelah memberikan buku David itu pada Aira. Aira sendiri masih bingung mau diapain buku itu dan hanya melihat kami pergi.

Sebenarnya, aku masih belum ingin meninggalkan tempat ini, karena rasa penasaranku pada Aira belum terjawab. 

“Kita pulang saja sudah sore,” kata Webe.
“Tapi Aira?”
“Sejak ketemu Aira, aku semakin takut denganmu, Sonia. Sudah lupakan saja dia. Kamu menjadi aneh tahu.”
“Kamu tahu tidak jika cowok tadi itu Edward William White?”
“Terus mau diapain? Daripada aku lihat kamu berantem sama dia, mending bayar saja bukunya selesai perkara kan. Lagi pula untuk apa juga kamu bawa terus bukunya.”
“Sepertinya aku mengalami dejavu saat dia menawarkan buku itu pada Aira.”
“Ya, dejavunya disimpan dulu. Mau makan dulu atau salat Ashar dulu?”

Aku terdiam. Pikiranku semakin tumbuh banyak pertanyaan tentang Aira yang kembali hidup nyata tidak mengenaliku dan juga tokoh misterius Edward yang tadi memberikan buku David pada Aira. Sekarang aku ingat, Aira pernah cerita jika dia dulu mendapatkan buku ini sama seperti kejadian hari ini. Apa mungkin sekarang aku sedang mengikuti pengulangan cerita Aira yang berbeda?

Jiah….

Aku pasti stress karena setiap hari membaca buku ini dan kehidupanku menjadi kacau dengan mencampuradukkan cerita dalam buku ini ke dalam proses hidupku. Ini tidak nyata. Sekarang aku sedang bermimpi dan sebentar lagi bangun dan segalanya akan kembali normal.

“Apa menariknya dengan buku itu sih?” tanya Webe karena dari tadi aku hanya diam.
“Cerita buku ini beda.”
“Beda gimana?”
“Entahlah. Tapi aku merasa sedang mengikuti secara langsung cerita dalam buku ini dalam kehidupanku. Tapi tidak apa-apa, nanti jika bangun juga semua akan kembali normal.”
“Sonia. Jangan buat aku tambah takut. Kamu pikir sekarang kamu sedang bermimpi?”
“Begitulah.”
“Kalau begitu biarkan aku menciummu biar mimpimu menjadi indah.”
“Eh, jangan kurang ajar ya. Biarpun ini mimpiku burukku, aku tidak ingin kamu mengacaukannya. Aku juga tidak akan membiarkan kamu menciumku walau hanya dalam mimpi.”

Webe hanya tersenyum dan memarkir mobilnya di depan masjid untuk salat Ashar. Dia memintaku keluar jika ingin salat bersamanya. Karena aku menggelengkan kepala dia tidak memaksaku dan memintaku menungguku di dalam mobil.

“Beneran ga pengen salat Ashar dulu? Ga bisa dijamak dengan Maghrib loh. Ok. Tunggu di sini saja dan jangan keluar. Nanti tersesat dalam mimpi yang lain, hehehe.”

Manis sekali dia jika tersenyum bercanda seperti itu. Aku melihat dia mengambil air wudhu dari dalam mobil. Tidak ada salahnya jika ini hanya mimpi, aku salat jamaah bareng dia. Akhirnya aku turun dari mobil dan ikut mengambil air wudhu.

“Aku makmum ya?” kataku mengikutinya masuk dan dia hanya membalas dengan senyum.

Dia mulai mengangkat tangannya menjadi imamku. Kenapa perasaan ini menjadi damai sekali? Padahal tadi perasaanku tidak karuan. Jika tadi aku merasa ini adalah mimpi buruk, menurutku ini sebuah mimpi indah. Coba kalau tadi aku mau dicium dia, hihihi pasti so sweet deh. Mikir apa lagi sih kamu Sonia. Sadar-sadar kamu baru salat. 

Webe keren sekali jika salat kusu’ begini. Coba saja ini Maghrib atau Isya, mungkin aku bisa mendengar dia membaca Al Quran dengan suaranya yang merdu. Aku jadi tidak ingin bangun dari mimpi indah ini.

“Kamu ngapain senyum senyum gitu, Son?” tanya Webe memperhatikanku setelah dia selesai dzikir.
“Andai saja di dunia nyata kamu seperti saat ini, Webe,” kataku masih yakin ini hanya mimpi.

Dia menyentuh dahiku dengan tangannya. “Kamu tidak sedang sakit atau sedang kesurupan lagi kan?” kata Webe kembali mencubitku dan aku merasakan sakit.
“Auhhh,” teriakku. “Sakit tahu.”
“Itu tandanya kamu tidak bermimpi. Kamu kenapa sih, Son? Ke dokter yuk.”
“Ini bukan mimpi ya?”
“Aku beneran takut nih. Kita pulang dan biar aku yang jelasin sama ayah kamu.”
“Jelasin apa?”
“Ya, kamu butuh istirahat beberapa hari dulu untuk tenangin pikiranmu. Dengar, Sonia. Jika kamu memang sangat membenciku karena penyebab kematian Nick, kamu boleh bunuh aku. Tapi aku tidak ingin kamu depresi hanya karena terus menerus meratapi makam Nick dan membacakan buku konyol milik orang konyol itu terus menerus.”
“Apa aku gila?”
“Jangan bicara seperti itu.”

Webe mengajakku pulang setelah salat Ashar berjamaah tadi. Saat ini aku masih belum bisa mempercayai apa yang sudah kualami hari ini. Intinya setelah sampai di rumah, aku harus mendapatkan semua jawaban pertanyaan demi pertanyaan ini di flashdisk Aira. Dia pasti menulis pesan penting untukku yang harus kubaca dan harus kuterjemahkan pesan itu.

Lalu siapa Aira tadi?

Edward William White?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar