BAB 21
“Apa kita
pernah bertemu?” tanya arwah Aira semakin membuatku pengen kencing di celana.
“Nama mba,
Aira?” tanya Webe kemudian dia berjabat tangan dan aku buru buru menarik Webe
agar tidak dicekik Aira. Walau dia yang telah membunuh Nick –secara tidak
langsung- tapi aku tidak ingin kehilangan Webe saat ini. aku tahu Webe yang
sekarang sudah berubah bukanlah Webe yang dulu badboy.
“Benar? Apa aku
pernah mengenal kalian? Maaf, ingatanku memang sedang tidak baik,” tanya arwah
Aira seperti tidak mengenalku, atau mungkin hanya triknya saja agar mudah
mencekik Webe saat dia lemah.
“Webe jangan
mendekat, nanti dia nyekik kamu,” teriakku spontan dan Aira malah tersenyum
geli.
“Cewe kamu
lucu. Oh, ya kenalkan namaku Aira. Kamu siapa?”
“Panggil saja
Webe, dan ini Sonia. Maaf, Sonia hanya bercanda.”
“Tidak apa-apa.
Oh, ya… sampai ketemu lagi ya, aku akan ke makam temanku dulu.”
“Sampai jumpa.”
Arwah Aira
beneran mau kembali ke makamnya. Tapi kenapa dia tidak mengingatku dan tidak
kenal Webe ya? Dia juga tidak terlihat seperti arwah. Aku melongok memastikan
jika dia memang akan kembali masuk kembali ke makamnya.
“Auhhh, sakit
tahu,” teriakku karena Webe benar-benar mencubitku.
“Kamu kenapa
sih, bikin takut saja,” kata Webe.
“Harusnya aku
yang tanya gitu. Ngapain cubit keras banget. Nih lihat bekas kan.”
“Habis kamu
seperti orang kesurupan gitu.”
“Siapa sih Aira
itu, sampai kamu seperti lihat hantu begitu?”
Aku lupa jika
Webe memang tidak mengenal Aira. Dia tahunya hanya Timur. Tidak mungkin jika
aku jelasin kalau Aira adalah pacarnya Nick.
“Aira itu…”
“Ya,…”
“Aira itu
temanku.”
Dia
memandangiku serius dengan bola matanya yang indah lalu, “Auh.. Sakit Webe,”
dia nyubit aku lagi.
“Makanya ajarin
aku ayat Kursi agar jika kamu kesurupan lagi, aku tak perlu mencubitmu seperti
ini kan.”
“Gila kamu.”
Aku kembali ke
makam Nick untuk memastikan bagaimana cara Aira masuk kembali ke dalam
kuburnya. Ngilang, cling. Gitu atau ada pintu khusus yang hanya diketahui oleh
kaum hantu.
“Kemana?”
“Ke makam
Nick.”
“Ngapain? Ada
yang ketinggalan?”
Aku tidak
mempedulikan pertanyaan Webe. Rasa penasaranku mengalahkan rasa takutku pada
arwah Aira yang tadi kutemui. Seperti dugaanku, dia berdiri di depan makam Nick
dan menaruh sebuah origami burung kertas. Jadi yang membuat origami itu
benar-benar arwah Aira. Sekarang tinggal menunggu bagaimana cara Aira masuk ke
makamnya.
“Ngapain sih?
Masih penasaran banget sama dia? Ceweknya Nick ya?” kata Webe membuatku kaget
dan aku langsung membungkam mulutnya.
“Diam ngapa?”
Gadis itu
pulang setelah berdiri beberapa saat dan meletakkan origami itu. Kok dia tidak
ngilang? Kok dia tidak masuk ke dalam kubur? Dan malah pergi menyusuri jalan.
“Cepetan ikutin
dia,” kataku menarik tangan Webe menuju mobilnya.
“Sebenarnya ada
apa sih kamu dengan Aira? Beneran dia pacarnya Nick dan kamu selingkuh
dengannya?”
“Eh, kalau
ngomong jangan sembarangan ya. Sudah mau ikut atau tidak terserah kamu.”
Akhirnya Webe
hanya bisa mengikuti perkataanku. Aku masih yakin Aira yang kutemui tadi adalah
hantunya Aira. Hanya Aira yang kukenal yang mengunjungi makamnya Nick dan tidak
mungkin Aira yang lain. Dia berjalan seorang diri menyusuri trotoar. Ayolah
ngilang. Biar Webe percaya jika dia adalah hantu.
Dia berhenti
berbicara dengan seorang laki-laki berjaket coklat. Mereka membicarakan sesuatu
yang tak kuketahui karena jarak kami cukup jauh untuk bisa mendengarkan
pembicaraan mereka.
“Sedikit
mendekat, Webe,” kataku membuat Webe semakin penasaran denganku.
“Tidak sopan
menguping pembicaraan sesorang.”
“Bukan nguping,
tapi hanya pengen tahu saja yang mereka bicarakan.”
“Sama saja
lah.”
Mereka sedang
membicarakan sesuatu dengan serius. Wajah Aira seperti sudah pengen pergi dan
tidak mau menanggapi cowok itu, tapi cowok itu masih juga mengajaknya bicara.
Pasti dia adalah buaya.
“Eh, Son. Mau
ngapain lagi sih?” cegah Webe saat aku ingin membuka pintu mobilnya.
“Cowo itu ga
tahu diri banget deh.”
“Biarin saja
kenapa sih? Kamu juga belum jelasin padaku siapa Aira yang membuatmu kaya lihat
hantu gitu.”
“Besok saja.”
“Tapi aku tidak
setuju jika kamu berbuat bodoh.”
Akhirnya aku
hanya duduk diam sambil sesekali mendengarkan yang mereka bicarakan
sekilas-sekilas saja. Aku melihat cowo itu mengeluarkan buku yang sama persis
dengan buku yang kubawa. Buku David. Apa benar cowo ga tahu diri itu yang
bernama Edward William White?
Aku harus
turun.
“Sonia!”
panggil Webe tapi aku tidak mempedulikannya lagi.
Aku mendekat
pada mereka yang masih sibuk mendiskusikan sesuatu. Tidak salah lagi, buku itu
sama persis dengan buku yang perbah diberikan Timur kepadaku.
“Aira!”
panggilku menepis semua rasa takut pada hantu penasaran yang ada di depanku
ini.
“Eh, kamu lagi.
Ada apa? Mana pacarmu?”
“Kamu kenal
dia?” kataku sambil menunjuk cowo berjaket coklat itu dengan buku sama yang
kami pegang di tangan kami masing-masing. Cowo itu juga memperlihatkan ekspresi
keterkejutan yang sama sepertiku saat melihat buku yang ada di tanganku.
“Dari mana kamu
dapat buku itu?” tanya dia.
“Kamu Edward
William White?”
“Kamu sendiri
siapa?”
“Jawab dulu
pertanyaanku.”
“Kamu juga
belum jawab pertanyaanku.”
“Kok kalian
malah saling tanya sih? Kalau begitu silahkan lanjutkan perbincangan kalian,
aku tinggal dulu ya,” kata Aira beranjak pergi.
“Eh, jadi beli
bukunya tidak?” kata cowo itu masih menawarkan buku itu.
“Aku ga bawa
uang sebanyak itu,” jawab Aira.
“Kan hanya 300
ribu rupiah saja, nyesel loh. Ya udah kudiskon jadi 265 ribu saja.”
“Kan tadi sudah
kubilang aku tidak punya uang sebanyak itu.”
Maksa banget
deh cowo itu. Jika benar dia adalah Edward William White yang pernah kubaca di
FB Gita dengan komentarnya lumayan itu, aku malah jadi beralih tidak respon
lagi padanya.
“Biar aku yang
membeli buku itu,” kata Webe memberikan uang 300 ribu kepadanya.
“Wah pengamatan
kamu tentang buku bagus juga. Nih, tapi tidak diskon ya,” kata cowok itu
beranjak pergi meninggalkan kami.
Ngapain juga
Webe mau beli buku itu. Aku suka dengan bukunya, tapi cara dia maksa agar Aira
membeli buku itu yang aku tidak menyukainya. Webe mengajakku kembali masuk ke
mobil setelah memberikan buku David itu pada Aira. Aira sendiri masih bingung
mau diapain buku itu dan hanya melihat kami pergi.
Sebenarnya, aku
masih belum ingin meninggalkan tempat ini, karena rasa penasaranku pada Aira
belum terjawab.
“Kita pulang
saja sudah sore,” kata Webe.
“Tapi Aira?”
“Sejak ketemu
Aira, aku semakin takut denganmu, Sonia. Sudah lupakan saja dia. Kamu menjadi
aneh tahu.”
“Kamu tahu
tidak jika cowok tadi itu Edward William White?”
“Terus mau
diapain? Daripada aku lihat kamu berantem sama dia, mending bayar saja bukunya
selesai perkara kan. Lagi pula untuk apa juga kamu bawa terus bukunya.”
“Sepertinya aku
mengalami dejavu saat dia menawarkan buku itu pada Aira.”
“Ya, dejavunya
disimpan dulu. Mau makan dulu atau salat Ashar dulu?”
Aku terdiam.
Pikiranku semakin tumbuh banyak pertanyaan tentang Aira yang kembali hidup
nyata tidak mengenaliku dan juga tokoh misterius Edward yang tadi memberikan
buku David pada Aira. Sekarang aku ingat, Aira pernah cerita jika dia dulu
mendapatkan buku ini sama seperti kejadian hari ini. Apa mungkin sekarang aku
sedang mengikuti pengulangan cerita Aira yang berbeda?
Jiah….
Aku pasti
stress karena setiap hari membaca buku ini dan kehidupanku menjadi kacau dengan
mencampuradukkan cerita dalam buku ini ke dalam proses hidupku. Ini tidak
nyata. Sekarang aku sedang bermimpi dan sebentar lagi bangun dan segalanya akan
kembali normal.
“Apa menariknya
dengan buku itu sih?” tanya Webe karena dari tadi aku hanya diam.
“Cerita buku
ini beda.”
“Beda gimana?”
“Entahlah. Tapi
aku merasa sedang mengikuti secara langsung cerita dalam buku ini dalam
kehidupanku. Tapi tidak apa-apa, nanti jika bangun juga semua akan kembali
normal.”
“Sonia. Jangan
buat aku tambah takut. Kamu pikir sekarang kamu sedang bermimpi?”
“Begitulah.”
“Kalau begitu
biarkan aku menciummu biar mimpimu menjadi indah.”
“Eh, jangan
kurang ajar ya. Biarpun ini mimpiku burukku, aku tidak ingin kamu
mengacaukannya. Aku juga tidak akan membiarkan kamu menciumku walau hanya dalam
mimpi.”
Webe hanya
tersenyum dan memarkir mobilnya di depan masjid untuk salat Ashar. Dia
memintaku keluar jika ingin salat bersamanya. Karena aku menggelengkan kepala
dia tidak memaksaku dan memintaku menungguku di dalam mobil.
“Beneran ga
pengen salat Ashar dulu? Ga bisa dijamak dengan Maghrib loh. Ok. Tunggu di sini
saja dan jangan keluar. Nanti tersesat dalam mimpi yang lain, hehehe.”
Manis sekali
dia jika tersenyum bercanda seperti itu. Aku melihat dia mengambil air wudhu
dari dalam mobil. Tidak ada salahnya jika ini hanya mimpi, aku salat jamaah
bareng dia. Akhirnya aku turun dari mobil dan ikut mengambil air wudhu.
“Aku makmum
ya?” kataku mengikutinya masuk dan dia hanya membalas dengan senyum.
Dia mulai
mengangkat tangannya menjadi imamku. Kenapa perasaan ini menjadi damai sekali?
Padahal tadi perasaanku tidak karuan. Jika tadi aku merasa ini adalah mimpi
buruk, menurutku ini sebuah mimpi indah. Coba kalau tadi aku mau dicium dia,
hihihi pasti so sweet deh. Mikir apa lagi sih kamu Sonia. Sadar-sadar kamu baru
salat.
Webe keren
sekali jika salat kusu’ begini. Coba saja ini Maghrib atau Isya, mungkin aku
bisa mendengar dia membaca Al Quran dengan suaranya yang merdu. Aku jadi tidak
ingin bangun dari mimpi indah ini.
“Kamu ngapain
senyum senyum gitu, Son?” tanya Webe memperhatikanku setelah dia selesai
dzikir.
“Andai saja di
dunia nyata kamu seperti saat ini, Webe,” kataku masih yakin ini hanya mimpi.
Dia menyentuh
dahiku dengan tangannya. “Kamu tidak sedang sakit atau sedang kesurupan lagi
kan?” kata Webe kembali mencubitku dan aku merasakan sakit.
“Auhhh,”
teriakku. “Sakit tahu.”
“Itu tandanya
kamu tidak bermimpi. Kamu kenapa sih, Son? Ke dokter yuk.”
“Ini bukan
mimpi ya?”
“Aku beneran
takut nih. Kita pulang dan biar aku yang jelasin sama ayah kamu.”
“Jelasin apa?”
“Ya, kamu butuh
istirahat beberapa hari dulu untuk tenangin pikiranmu. Dengar, Sonia. Jika kamu
memang sangat membenciku karena penyebab kematian Nick, kamu boleh bunuh aku.
Tapi aku tidak ingin kamu depresi hanya karena terus menerus meratapi makam
Nick dan membacakan buku konyol milik orang konyol itu terus menerus.”
“Apa aku gila?”
“Jangan bicara
seperti itu.”
Webe mengajakku
pulang setelah salat Ashar berjamaah tadi. Saat ini aku masih belum bisa
mempercayai apa yang sudah kualami hari ini. Intinya setelah sampai di rumah,
aku harus mendapatkan semua jawaban pertanyaan demi pertanyaan ini di flashdisk
Aira. Dia pasti menulis pesan penting untukku yang harus kubaca dan harus
kuterjemahkan pesan itu.
Lalu siapa Aira
tadi?
Edward William
White?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar