Rabu, 19 Juni 2013

SONIA SWAN BAB 18: DREAM



BAB 18







Jadi malas rasanya tetap berada di tempat ini. Semua selera makanku mendadak hilang dan bayangan sebab kematian Nick kembali muncul dengan kedatangan mereka. Terutama karena ayahnya Webe. Aku minta ijin papa untuk keluar sebentar. Tidak ada yang menarik lagi bagiku untuk tetap bertahan di sini.

Saat kutengadahkan wajahku ke langit yang penuh bintang. Aku seperti melihat mereka. Salah satu dari bintang yang berkedip seperti sapaan salam dari mereka. Udara di tempat parkir ini lumayan dingin. Di dukung dengan gaun formal ini semakin membuatku menggigil. Tak lama berdiri di sini, aku melihat Webe keluar menuju mobilnya. Bukankah dia harus mendampingi ayahnya? Tak lama setelah itu, dia keluar dari mobilnya membawa sajadah. Aku baru sadar jika sekarang sudah jam tujuh malam dan saatnya saat Isya. Aku semakin penasaran dengan perubahan sikapnya itu. Perlahan aku mengikutinya dan ternyata benar, dia memang menuju mushola di belakang restoran.

Baru kali ini aku melihat seorang salat dengan sujud yang sangat lama. Apa mungkin dia lupa bacaannya kali ya? Biasanya orang salat itu paling hanya lima menit, tapi dia salat sampai setengah jam lebih. Aku seperti kucing, yang mengendap-endap mengawasi tikus. Sembunyiin sepatunya ah, biar tahu rasa. Syukurin. Setelah selesai salat dia kebingungan mencari sepatunya yang kubawa. Dia bertanya pada petugas kebersihan setelah tidak menemukan sepatunya.

“Pak, bisa tolong belikan sepatu di sekitar sini?” pinta Webe masih terkesan sabar. Awalnya aku mengira jika dia akan marah-marah.
“Tidak ada yang jual, Mas. Bagaimana kalau saya pinjami sepatu saya saja, Mas. Sumpah, Mas. Saya tidak tahu jika ada yang nyuri sepatu, Mas.”
“Kan saya tidak nuduh bapak. Ya sudah, sepatu bapak kubeli saja bagaimana?”
“Tapi sepatu saya jelek. Oh, ya. Pakai sepatu anak saya saja yang sedikit bagus.”
“Baiklah. Yang penting saya bisa menghadiri acara ayah saya, Pak. Tidak enak jika masuk ke dalam tidak memakai sepatu.”

Jadi merasa bersalah deh. Apa Webe sedang kesurupan malaikat nih? Mustahil banget dia bisa tahan berubah total seperti itu selama ini, jika dia memang dia hanya ingin mendapatkan perhatianku. Aku membawa sepatunya ke mobil ayah dan kembali ke ruangan. Aku ingin lihat reaksi ayahnya yang sombong itu melihat putera yang dibanggakannya memakai sepatu murahan. Kulihat dari kejauhan mereka saling bisik-bisik dan ayahnya melihat sepatu anaknya. Dia meminta pengawalnya melepas sepatunya dan memberikannya pada Webe.

Saat keluar, mungkin karma kali ya. High heal yang kupakai patah dan kakiku terkilir tepat di hadapannya. Malu sekali rasanya. Adegan murahan seperti ini harusnya tak perlu terjadi di sini. Dia langsung melihatku dan menghampiriku.

“Jangan sentuh aku!” kataku.
“Maaf aku hanya ingin membantu,” kata Webe beranjak mundur.
“Sonia, jaga bicaramu,” kata papa ketika melihat sikapku yang sedikit kasar pada Webe karena dia anak pimpinannya.
“Tidak apa-apa, Om. Sonia teman sekolah saya,” jawab Webe dengan senyumnya yang membuatku pengen muntah.
Saya tahu, Mas. Tapi saya tidak tahu jika Mas itu puteranya Pak Baskoro. Maaf ya, Mas. Maaf sekali lagi. Puteri kami masih berduka karena kematian temannya, mungkin teman mas juga.”
“Saya paham, Om.”

Selang beberapa lama ayahnya Webe datang menghampiri kami setelah selesai berjabat tangan dengan semua direksi yang hadir. Ngapain juga dia kemari? “Sonia? Kenapa dia, Webe?”

“Sepatunya patah, Ayah,” jawab Webe.
“Anda ayahnya Sonia? Kenalkan saya ayahnya Webe,” kata dia menjabat tangan papa. “Saya ingin sekali berterimakasih dengan puteri anda.”
“Maksud Pak Baskoro apa ya?” kata papa sama bingungnya denganku.
“Bagaimana jika kita berbincang-bincang di dalam?”
“Baiklah.”
“Aku ingin pulang, Pa,” kataku masih muak melihat ayahnya Webe yang kutahu dialah penyebab kematian Nick.
“Sonia?” kata papa semakin bingung untuk mengambil keputusan.
“Jika Om tidak keberatan, biar saya yang mengantar,” kata Webe menawarkan diri.
Kunyuk ini mau cari kesempatan atau sedang berlagak sok hero?
“Aku tidak mau,” kataku.
“Tidak apa-apa. Mungkin lain waktu kita bisa berbincang-bincang lagi,” kata ayahnya Webe membiarkan papa pulang bersamaku.

Sesampai di rumah aku buru-buru masuk kamar dan membawa bungkusan plastik berisi sepatu Webe. Sakit sekali kakiku dan sulit untuk kubuat berjalan. Jadi pelajaran deh, besok lagi tidak akan mencuri sepatu orang yang sedang sembayang. Tapi kenapa tadi Webe salatnya lama banget ya? Aku penasaran apa yang tadi dia minta pada Allah. Ih, kenapa aku jadi kepikiran dia terus sih? Dia tetap orang yang harus bertanggungjawab atas kematian Nick walau sudah berubah.

Keesokan harinya, Webe sudah menjemputku dengan mobilnya. Katanya dia khawatir jika aku terlambat sekolah. Sok perhatian banget dia. Seperti biasa aku langsung berjalan dengan tongkatku menuju perpustakaan. Hari ini aku tidak salat, jadi aku akan habiskan waktu istirahatku untuk membaca dan semoga dia tidak menggangguku.

Apes.

Imel datang menghampiriku, seakan sengaja cari ribut nih. Gawat, aku tidak bawa golok untuk bacok-bacok dia jika dia mau buat perhitungan denganku. Dia duduk di bangku depan meja yang kugunakan untuk membaca. Dia mengulurkan tanganku dan tanganku mulai gemetaran.

“Selamat, Sonia,” kata Imel membuatku bingung.
“Selamat apaan?”
“Belum pernah aku melihat Webe begitu mencintai seorang gadis seperti dia mencintaimu. Aku sendiri tidak tahu apa kelebihan yang kamu miliki. Tapi melihat semua perubahan pada dirinya, aku yakin ada yang istimewa pada dirimu. Jadi kuharap kamu jaga dia baik-baik. Dia cowok yang baik kok.”
“Aku masih belum paham, Mel. Aku tidak ada apa-apa dengannya. Sueeer.”
“Anggap saja aku jeles sama kamu, Sonia. Tapi jika memang Webe bahagianya hanya denganmu. Aku ikut senang. Kita masih bisa berteman kan?”
“Tentu saja.”

Awalnya kukira dia akan buat perhitungan denganku, ternyata tidak. Dia meninggalkanku tanpa berbuat sesuatu yang tadinya sangat kutakutkan. Saat turun dari perpus, sulit sekali rasanya kaki ini kutekuk. Aku tidak berharap Webe ada di sini. Tapi. Kenapa selalu ada tapi sih? Yang ada di depanku saat ini, Picas Si Kunyuk Mini bukankah lebih parah.

“Mba, kubantu turun ya?” dia menawarkan bantuan.
“Minggir!” seruku.
“Nanti kalau jatuh?”
“Bisa minggir tidak sih?” aku semakin kesel sama kunyuk mini ini. Maunya apa coba?
“Minggir,” kata Webe dari bawah dan membuat Picas mundur teratur tahu diri siapa yang memintanya minggir daripada bonyok.
“Kamu juga minggir,” Kataku. 

Eh, apa yang dilakukannya? Dia malah menggendongku dan menurunkanku setelah sampai di bawah. Aku semakin benci jika dia terus berbuat baik terhadapku. Bagaimana aku bisa menikmati rasa benciku jika dia terus melakukan sesuatu yang tidak kuharapkan.

“Jangan siksa aku seperti ini terus, Webe. Mau kamu apa sih?” kataku duduk tertunduk ingin menangis.
“Salah jika aku peduli padamu?”
“Salah.”
“Terus bagaimana caranya agar kesalahan ini bisa dibenarkan?”
“Jauhi aku.”
“Aku tidak bisa, Sonia. Aku tidak peduli kamu akan membenciku berapa lama. Aku akan terus berusaha agar kamu sedikit mengerti perasaanku.”
“Kamu itu benar-benar ga tahu diri ya.”
“Semua juga berkata begitu, Sonia. Terserah pendapat mereka apa.”

Seluruh sekolah mengira aku memang sudah jadian sama Webe. Perhatian dan cara dia melindungiku semakin membuatku tidak bisa bernafas. Saat pulang sekolah, mamanya Timur menungguku di depan sekolah. Aku tidak tahu kenapa beliau ingin menemuiku. Dia memberikan sebuah flashdisk yang katanya milik Timur yang dititipkan untukku sebelum kepergiaannya. Aku seperti diingatkan pesan Aira saat kutemui di dalam mimpiku waktu itu setelah aku pingsan tiga hari.

“Timur menitipkan ini untukmu, Sonia. Kami tidak tahu apa isinya, tapi menurutnya, flashdisk ini berisi catatannya untukmu,” kata mamanya Timur kembali menunjukkan ekspresi sedih.
“Terima kasih, Tante.”
“Bisakah kamu masih tetap main ke rumah kami?”
“Saya tidak tahu alamat Timur, Tante. Yang saya tahu hanya alamat kostnya.”
“Ini kartu nama Tante. Maaf ya, kemarin saat kamu sakit, Tante tidak bisa menjenguk. Tante masih belum bisa menerima kenyataan jika Timur harus benar-benar pergi untuk selamanya. Tante masih berharap diberikan kesempatan lagi untuk bisa bersamanya,” kata mamanya Timur diikuti sedu tangisnya yang membuatku juga ingin menangis karenanya. Beliau memelukku erat seperti memeluk anaknya sendiri padahal baru beberapa kali bertemu denganku.

Kami berpelukan cukup lama dan Webe hanya melihat kami lalu menundukkan wajahnya penuh penyesalan. Aku menyimpan flashdisk itu. Kulihat Mamanya Timur meninggalkanku masuk ke mobilnya hingga menghilang di ujung jalan. Webe memberi isyarat agar aku masuk dalam mobilnya. Aku masih penasaran, apa yang ditulis Aira dalam flashdisk Timur ini. Cerpen? Puisi? Atau mungkin malah Novel terakhir Aira yang belum sempat dia tunjukkan? Yang kutahu, dia juga gemar menulis sama sepertiku saat ikut Kemsas.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar