BAB 18
Jadi malas
rasanya tetap berada di tempat ini. Semua selera makanku mendadak hilang dan
bayangan sebab kematian Nick kembali muncul dengan kedatangan mereka.
Terutama karena ayahnya Webe. Aku minta ijin papa untuk keluar sebentar. Tidak
ada yang menarik lagi bagiku untuk tetap bertahan di sini.
Saat kutengadahkan wajahku ke langit
yang penuh bintang. Aku seperti melihat mereka. Salah satu dari bintang yang
berkedip seperti sapaan salam dari mereka. Udara di tempat parkir ini lumayan
dingin. Di dukung dengan gaun formal ini semakin membuatku menggigil. Tak lama
berdiri di sini, aku melihat Webe keluar menuju mobilnya. Bukankah dia harus
mendampingi ayahnya? Tak lama setelah itu, dia keluar dari mobilnya membawa
sajadah. Aku baru sadar jika sekarang sudah jam tujuh malam dan saatnya saat
Isya. Aku semakin penasaran dengan perubahan sikapnya itu. Perlahan aku mengikutinya dan ternyata benar, dia memang menuju mushola
di belakang restoran.
Baru kali ini
aku melihat seorang salat dengan sujud yang sangat lama. Apa mungkin dia lupa
bacaannya kali ya? Biasanya orang salat itu paling hanya lima menit, tapi dia
salat sampai setengah jam lebih. Aku seperti kucing, yang mengendap-endap
mengawasi tikus. Sembunyiin sepatunya ah, biar tahu rasa. Syukurin. Setelah
selesai salat dia kebingungan mencari sepatunya yang kubawa. Dia bertanya pada
petugas kebersihan setelah tidak menemukan sepatunya.
“Pak, bisa
tolong belikan sepatu di sekitar sini?” pinta Webe masih terkesan sabar.
Awalnya aku mengira jika dia akan marah-marah.
“Tidak ada yang
jual, Mas. Bagaimana kalau saya pinjami sepatu saya saja, Mas. Sumpah, Mas.
Saya tidak tahu jika ada yang nyuri sepatu, Mas.”
“Kan saya tidak
nuduh bapak. Ya sudah, sepatu bapak kubeli saja bagaimana?”
“Tapi sepatu
saya jelek. Oh, ya. Pakai sepatu anak saya saja yang sedikit bagus.”
“Baiklah. Yang
penting saya bisa menghadiri acara ayah saya, Pak. Tidak enak jika masuk ke
dalam tidak memakai sepatu.”
Jadi merasa
bersalah deh. Apa Webe sedang kesurupan malaikat nih? Mustahil banget dia bisa
tahan berubah total seperti itu selama ini, jika dia memang dia hanya ingin
mendapatkan perhatianku. Aku membawa sepatunya ke mobil ayah dan kembali ke ruangan.
Aku ingin lihat reaksi ayahnya yang sombong itu melihat putera yang
dibanggakannya memakai sepatu murahan. Kulihat dari kejauhan mereka saling
bisik-bisik dan ayahnya melihat sepatu
anaknya. Dia meminta pengawalnya melepas sepatunya dan memberikannya pada Webe.
Saat keluar,
mungkin karma kali ya. High heal yang kupakai patah dan kakiku terkilir tepat
di hadapannya. Malu sekali rasanya. Adegan murahan seperti ini harusnya tak
perlu terjadi di sini. Dia langsung melihatku dan menghampiriku.
“Jangan sentuh
aku!” kataku.
“Maaf aku hanya
ingin membantu,” kata Webe beranjak mundur.
“Sonia, jaga
bicaramu,” kata papa ketika melihat sikapku yang sedikit kasar pada Webe karena
dia anak pimpinannya.
“Tidak apa-apa,
Om. Sonia teman sekolah saya,” jawab Webe dengan senyumnya yang membuatku
pengen muntah.
“Saya tahu, Mas. Tapi saya
tidak tahu jika Mas itu puteranya Pak Baskoro. Maaf ya, Mas. Maaf sekali lagi.
Puteri kami masih berduka karena kematian temannya, mungkin teman mas juga.”
“Saya paham,
Om.”
Selang beberapa
lama ayahnya Webe datang menghampiri kami setelah selesai berjabat tangan
dengan semua direksi yang hadir. Ngapain juga dia kemari? “Sonia? Kenapa dia,
Webe?”
“Sepatunya
patah, Ayah,” jawab Webe.
“Anda ayahnya
Sonia? Kenalkan saya ayahnya Webe,” kata dia menjabat tangan papa. “Saya ingin
sekali berterimakasih dengan puteri anda.”
“Maksud Pak
Baskoro apa ya?” kata papa sama bingungnya denganku.
“Bagaimana jika
kita berbincang-bincang di dalam?”
“Baiklah.”
“Aku ingin
pulang, Pa,” kataku masih muak melihat ayahnya Webe yang kutahu dialah penyebab
kematian Nick.
“Sonia?” kata
papa semakin bingung untuk mengambil keputusan.
“Jika Om tidak
keberatan, biar saya yang mengantar,” kata Webe menawarkan diri.
Kunyuk ini mau
cari kesempatan atau sedang berlagak sok hero?
“Aku tidak
mau,” kataku.
“Tidak apa-apa.
Mungkin lain waktu kita bisa berbincang-bincang lagi,” kata ayahnya Webe
membiarkan papa pulang bersamaku.
Sesampai di
rumah aku buru-buru masuk kamar dan membawa bungkusan plastik berisi sepatu Webe. Sakit sekali kakiku dan sulit untuk kubuat
berjalan. Jadi pelajaran deh, besok lagi tidak akan mencuri sepatu orang yang
sedang sembayang. Tapi kenapa tadi Webe salatnya lama banget ya? Aku penasaran
apa yang tadi dia minta pada Allah. Ih, kenapa aku jadi kepikiran dia terus sih? Dia tetap orang yang harus bertanggungjawab atas kematian Nick walau
sudah berubah.
Keesokan
harinya, Webe sudah menjemputku dengan mobilnya. Katanya dia khawatir jika aku
terlambat sekolah. Sok perhatian banget dia. Seperti biasa aku langsung
berjalan dengan tongkatku menuju perpustakaan. Hari ini aku tidak salat, jadi
aku akan habiskan waktu istirahatku untuk membaca dan semoga
dia tidak menggangguku.
Apes.
Imel datang
menghampiriku, seakan sengaja cari ribut nih. Gawat, aku tidak bawa golok untuk bacok-bacok dia jika dia mau buat
perhitungan denganku. Dia duduk di bangku depan meja yang kugunakan untuk
membaca. Dia mengulurkan tanganku dan tanganku mulai gemetaran.
“Selamat,
Sonia,” kata Imel membuatku bingung.
“Selamat
apaan?”
“Belum pernah
aku melihat Webe begitu mencintai seorang gadis seperti dia mencintaimu. Aku
sendiri tidak tahu apa kelebihan yang kamu miliki. Tapi melihat semua perubahan
pada dirinya, aku yakin ada yang istimewa pada dirimu. Jadi kuharap kamu jaga
dia baik-baik. Dia cowok yang baik kok.”
“Aku masih
belum paham, Mel. Aku tidak ada apa-apa dengannya. Sueeer.”
“Anggap saja
aku jeles sama kamu, Sonia. Tapi jika memang Webe bahagianya hanya denganmu.
Aku ikut senang. Kita masih bisa berteman kan?”
“Tentu saja.”
Awalnya kukira
dia akan buat perhitungan denganku, ternyata tidak. Dia meninggalkanku tanpa
berbuat sesuatu yang tadinya sangat kutakutkan. Saat turun dari perpus, sulit
sekali rasanya kaki ini kutekuk. Aku tidak berharap Webe ada di sini. Tapi. Kenapa selalu
ada tapi sih? Yang ada di depanku saat ini, Picas
Si Kunyuk Mini bukankah lebih parah.
“Mba, kubantu
turun ya?” dia menawarkan bantuan.
“Minggir!”
seruku.
“Nanti kalau
jatuh?”
“Bisa minggir
tidak sih?” aku semakin kesel sama kunyuk mini ini. Maunya apa coba?
“Minggir,” kata
Webe dari bawah dan membuat Picas mundur teratur tahu diri siapa yang
memintanya minggir daripada bonyok.
“Kamu juga
minggir,” Kataku.
Eh, apa yang
dilakukannya? Dia malah menggendongku dan menurunkanku setelah sampai di bawah.
Aku semakin benci jika dia terus berbuat baik terhadapku. Bagaimana aku bisa
menikmati rasa benciku jika dia terus melakukan sesuatu yang tidak kuharapkan.
“Jangan siksa
aku seperti ini terus, Webe. Mau kamu apa sih?” kataku duduk tertunduk ingin
menangis.
“Salah jika aku
peduli padamu?”
“Salah.”
“Terus
bagaimana caranya agar kesalahan ini bisa dibenarkan?”
“Jauhi aku.”
“Aku tidak
bisa, Sonia. Aku tidak peduli kamu akan membenciku berapa lama. Aku akan terus
berusaha agar kamu sedikit mengerti perasaanku.”
“Kamu itu
benar-benar ga tahu diri ya.”
“Semua juga
berkata begitu, Sonia. Terserah pendapat mereka apa.”
Seluruh sekolah
mengira aku memang sudah jadian sama Webe. Perhatian dan cara dia melindungiku
semakin membuatku tidak bisa bernafas. Saat pulang sekolah, mamanya Timur
menungguku di depan sekolah. Aku tidak tahu kenapa beliau ingin menemuiku. Dia
memberikan sebuah flashdisk yang katanya milik Timur yang dititipkan untukku sebelum
kepergiaannya. Aku seperti diingatkan pesan Aira saat kutemui di dalam mimpiku
waktu itu setelah aku pingsan tiga hari.
“Timur menitipkan ini untukmu, Sonia.
Kami tidak tahu apa isinya, tapi menurutnya, flashdisk ini berisi catatannya
untukmu,” kata mamanya Timur kembali menunjukkan ekspresi sedih.
“Terima kasih, Tante.”
“Bisakah kamu masih tetap main ke rumah
kami?”
“Saya tidak tahu alamat Timur, Tante.
Yang saya tahu hanya alamat kostnya.”
“Ini kartu nama Tante. Maaf ya, kemarin
saat kamu sakit, Tante tidak bisa menjenguk. Tante masih belum bisa menerima
kenyataan jika Timur harus benar-benar pergi untuk selamanya. Tante masih
berharap diberikan kesempatan lagi untuk bisa bersamanya,” kata mamanya Timur
diikuti sedu tangisnya yang membuatku juga ingin menangis karenanya. Beliau
memelukku erat seperti memeluk anaknya sendiri padahal baru beberapa kali
bertemu denganku.
Kami berpelukan
cukup lama dan Webe hanya melihat kami lalu menundukkan wajahnya penuh
penyesalan. Aku menyimpan flashdisk itu. Kulihat Mamanya Timur meninggalkanku
masuk ke mobilnya hingga menghilang di ujung jalan. Webe memberi isyarat agar
aku masuk dalam mobilnya. Aku masih penasaran, apa yang ditulis Aira dalam
flashdisk Timur ini. Cerpen? Puisi? Atau mungkin malah Novel terakhir Aira yang
belum sempat dia tunjukkan? Yang kutahu, dia juga gemar menulis sama sepertiku
saat ikut Kemsas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar