BAB 16
Beberapa saat kemudian,
papa menjemputku dengan wajah kurang senang. Aku bisa memakluminya karena
memang ini semua salahku. Dalam perjalanan, aku masih terus memikirkan keadaan
Nick yang masih belum sadarkan diri. Teringat kembali perkataan dokter yang
mengatakan jika harapan kesembuhan Nick sangat kecil membuatku ingin menangis.
Papa tidak
menanyakan tadi di rumah sakit aku menjenguk siapa. Papa hanya diam dan aku
tahu tanda diamnya itu berarti papa sedang marah. Sesampai di rumah, aku
langsung mandi dan salat maghrib lalu mendoakan kesembuhan Nick. Yang lebih
membuatku tidak tenang adalah Webe yang sekarang ini menjaganya. Bagaimana jika
dia mencabut selang oksigennya? Bagaimana jika dia menyuntikkan racun ke dalam
selang infusnya? Semua pikiran buruk bergelombang, bergantian menghantam
pikiranku.
Aku mencoba
membuka-buka buku pelajaran dan berusaha menghilangkan semua pikiran buruk
tentang kemungkinan hal terburuk yang bisa dilakukan Webe terhadap Nick. Aduh
kenapa aku jadi galau sendiri seperti ini sih? Buku yang kubaca sama sekali
tidak masuk dalam dereten ruang di otakku. Perlahan kulihat buku David yang
terselip di beberapa buku pelajaranku. Aku kembali penasaran dengan buku itu.
Buku yang sering dibaca Timur dan juga diberikannya padaku.
Aku membuka
beberapa halaman terakhir dan mencoba memahami sekilas isi dari buku aneh milik
Timur. Ceritanya sedikit mengarah tentang takdir itu apa dan bagaimana peran
Tuhan atas buku yang disebut TAKDIR.
Terima
kasih, Tuhan. Engkau tidak jadi mengirimku ke Neraka.
“Mana
Tuhan?” tanyaku pada Mega tapi dia malah tersenyum dan meraih tanganku
mengajakku ke sebuah tempat yang di penuhi pintu-pintu. “Kamu dikirim Tuhan ke sini untukku ya?” tanyaku lagi dan
dia masih tersenyum lagi memberi tanda tanya itu semakin besar.
“Aku
Tuhan, hahaha…” kata Dia sambil tertawa lagi dan membuatku semakin
dipermainkan.
What?
Semakin lama aku semakin tidak mengerti jalan pikiran Tuhan itu bagaimana.
Selalu memberi kejutan yang aku sendiri merasa terkucilkan dan terabaikan.
Ataukah sekarang Dia sedang menunjukkan secuil kuasa-Nya.
“Tentu
saja kamu tidak mengerti yang Aku pikirkan, David. Jika kamu tahu, itu artinya Aku bukan Tuhan. Haha..” Dia kembali tertawa seperti
menyindir kebodohanku. Bukan hanya kebodohanku, tapi semua kebodohan manusia
yang merasa sok tahu apa pendapat Tuhan, sedang mereka sebenarnya hanyalah
ciptaan-Nya.
Aku
semakin dibawa untuk berpikir lebih realistis dan terbuka. Jika seorang tukang
kayu membuat kursi, mana mungkin kursi itu akan berpikir seperti yang yang
diinginkan pembuatnya. Sebegitu sombongnya manusia yang sudah merasa dekat
dengan Tuhannya, padahal mereka semakin jauh dari Tuhannya sebelum mereka
menyerahkan dengan tulus semua atas kehendak Tuhan itu sendiri.
Aku
tertunduk malu karena sudah berbuat dosa lagi, padahal baru beberapa menit tadi
mendapat pelajaran langsung dari Tuhan. Mana mungkin manusia mampu berperan
sedetik saja menjadi Tuhan dan bisa bersabar.
“Kenapa,
David? Merasa aneh ya melihat Aku dengan wajah kekasihmu? Hahaha kamu boleh
panggil aku Mega jika kamu suka.”
“Ampuni
aku.”
“Ayolah,
kenapa jadi formal begini. Ada sesuatu yang akan Aku tunjukkan padamu. Bukankah
harusnya kamu mati tanggal 29 Februari kan, hehehe…”
“Engkau
yang lebih berhak menentukkannya.”
“Kemarilah!”
Banyak
sekali pintu-pintu yang ada di hadapanku. Apakah aku diminta untuk memilih
salah satunya, mungkin Surga atau Neraka?
“Itu
pintu menuju Surga atau Neraka?” tanyaku to the point, karena aku yakin Tuhan
sendiri juga sudah tahu isi hatiku.
“Itu
adalah pintu kesempatan.”
“Pintu
Kesempatan?”
“Yap.
Ok, sekarang kita lihat, apa saja yang telah kamu lewati darinya.”
Kali
ini setiap pintu yang dibuka oleh Tuhan dan menjelaskanku semuanya. Bagaimana
pertemuanku dengan Mega saat SMP dan semua kejadian buruk yang menimpaku. Jalur
cerita ini seperti film yang komplit dan tidak dipangkas iklan ataupun sensor.
Tuhan telah menentukan sesuatu yang tak bisa diubah dan sesuatu yang bisa
diubah dengan usaha dan pilihan.
Pintu
kesempatan itu telah membawaku untuk memilih seandainya aku menjadi seorang
pemain bola professional dan tidak mengenal Mega. Diawali dengan ayah yang
memenangkan tiket nonton Manchester United ke Old Trafford dan bertemu mama di
sana. Sejak pertama mendapat tanda tangan dari David Beckham, ayah menjadi
terobsesi dengannya. Semua tentang David. Bahkan saat kelahiranku yang ternyata
laki-laki, membuat ayah senang sekali dan dengan mantab memberiku nama David
Beckham. Semua diusahakan ayah agar aku menjadi seperti dirinya. Maka jadilah
aku seperti yang diharapkannya. Tapi semua juga berubah jalur karena pintu
kesempatan yang dibuka tidak membawaku satu kelas bersama Mega sewaktu SMP dan
itu artinya aku –seharusnya- tidak mengenal Mega.
“Kok
ceritanya jadi melenceng jauh seperti ini, sih?” tanyaku bingung.
“Terus
harusnya bagaimana?”
“Bukankah
ini melanggar aturan takdir?”
“Siapa
bilang?”
“Aku
masih belum paham.”
“OK.
Lihat Aku!”
What?
Sekarang wajah Tuhan menjadi Boss. Dengan gayanya yang acuh dan mulai membuatku
penasaran.
“Sekarang
paham?” kata Tuhan dengan senyuman khas Boss yang super narsis.
“Belum.”
“Tidak
mudah lo, memilih mana doa yang harus dikabulkan dan mana yang tidak. Kita
ambil contoh saja kamu dan Mega, Aku ulang berulang kali, apakah akan membawa
sesuatu yang lebih baik? Ok, David. Sekarang apakah kamu masih ingin kembali ke
awal. Pikirkan baik-baik, Aku masih memberimu kesempatan terakhir.”
Aku
terdiam beberapa saat. Sesuatu yang rumit masih belum bisa kupahami hingga
kini. Menurutku semua menjadi aneh jika kita berbincang langsung dengan Tuhan.
Terlebih jika Tuhan berganti wajah sesuka hati-Nya.
“Aku
ingin kembali ke awal,” kataku mantab.
“Serius?”
“Serius.”
“Bukankah
tadi kamu bilang sudah lelah?”
“Aku
punya alasan sendiri, Tuhan.”
“Boleh
Aku tahu alasannya?”
“Jangan
mengejekku lagi, Tuhan. Bukankah Engkau maha mengetahui segalanya?”
“Hahahaa
sepertinya kamu lebih nyaman berbicara dengan-Ku jika aku berwajah seperti ini
ya?”
“Bukan
seperti itu. Aku hanya berharap, jika kelak aku tersesat lagi, berikan selalu
petunjuk-Mu. Ya, masih banyak hal yang harus kulakukan.”
“Aku
berubah lagi jadi Mega ya hahhaa..”
Apakah
Tuhan suka bercanda seperti ini? Dulu aku selalu berpikir Tuhan itu kaku, tegas
dan menakutkan dengan ancaman Neraka-Nya. Tapi yang kulihat saat ini, Dia
begitu murah senyum dan tanpa basa basi.
“David,
sebenarnya Aku suka kamu berada disini. Kamu tidak menyesal memutuskan kembali
bersusah-susah lagi di dunia?”
“Dengan
petunjuk-Mu, aku tidak perlu khawatir.”
“Bagaimana
jika Aku hanya diam saat kamu berteriak-teriak dan memohon?”
“Aku
yakin Engkau sedang mendengarnya.”
“Up
to you, deh. Ingat jangan nyesel lagi, Ok.”
Sekarang aku
sedikit mengerti kiasan aneh di buku ini. Terlalu sering bagi kita merasa sok
mengerti yang Tuhan pikirkan, yang Tuhan inginkan itu apa, padahal kita hanya
menerka-nerka saja. Sudah ada petunjuk yang jelas yang diberikan-Nya melalui
apa saja. Melalui hal kecil yang terkadang malah kita abaikan. Aku seperti
diingatkan akan pengajian yang pernah kuikuti yang dulunya malah kutinggal
tidur atau bikin status di FB. Menurut Ustadz, Al Quran adalah petunjuk yang
nyata.
Maka nikmat Rabb kamu yang manakah yang akan kau dustakan lagi?
(QS. Ar-Rahman)
Ayat ini
diulang hingga 31 kali, masihkah kita berpikir pahala dan amalan ibadah kita
itu sebanding dengan nikmat yang telah Allah berikan pada kita hingga kita
berpikir sudah layak masuk dalam surganya. Tidak. Sedikit pun tidak, kecuali
karena Ridho dari Allah Ta’alla. Surga itu Rahmatullah.
Dari sini aku
mulai mencoba mengambil semua sisi positif yang bisa kupelajari. Mencoba untuk
ikhlas. Saat istirahat, aku menyempatkan diri untuk salat di mushala. Setelah
pulang sekolah, Webe mengantarku ke rumah sakit untuk menjenguk Nick.
Sebenarnya aku belum bisa memaafkan Webe, jadi saat perjalanan, aku hanya diam.
Hari ini Timur
tidak datang menjenguk Nick. Sangat sulit dipercaya. Ok, Sonia positif
thinking. Aku tak tahu lagi bagaimana caranya agar bisa membuat Nick mengerti
jika aku peduli padanya. Setiap hari saat menjenguknya, aku membacakan satu bab
buku David. Sudah sampai bab keempat, Timur belum jenguk juga. Lama-lama aku
mulai khawatir padanya. Atau mungkin orang tuanya tidak mengijinkan dia
menjenguk Nick ya? Takut jika gossip itu kembali menyebar.
Setiap hari hal
rutin itu saja yang kulakukan. Berangkat sekolah, istirahat ke mushalla doain
Nick, lalu ke rumah sakit bacakan setiap bab. Masih ada Tuhan di atas sana yang
pasti mendengar doaku. Keyakinan kecilku akan kesembuhan Nick walau itu sama
halnya mengharap keajaiban. Aku tidak peduli teman-temanku menganggapku aneh.
Saat aku
mengambil air wudhu, aku melihat Webe sedang berdiskusi dengan Pak Ahmad guru
Agama Islam. Entahlah dia mau apa. Akhirnya aku tahu jika dia sedang belajar
salat pada beliau. Jiah, taktik basi untuk mendapatkan simpati cewek. Jika pun
dia salat hanya untuk mendapatkan simpatiku, itu adalah ciri orang munafik yang
akan diancam Naar di neraka.
Lama-lama
kulihat Webe dengan tekun mengerjakan salatnya mulai membuatku menepis semua
pikiran negative tentangnya. Bahkan saat aku tidak salat saja dia tetap
melakukannya. Apa benar ya dia sudah berubah. Terserah dia. Itu hak dia. Hanya
dia dan Tuhan yang tahu.
Ini adalah bab
ke 18 dengan judul Ex- Teen. Sudah lebih dari dua puluh hari Nick tak sadarkan
diri. Bahkan tanda-tanda kesembuhannya saja tidak terlihat sama sekali. Saat keluar ruangan, aku berpapasan dengan
Mamanya Timur. Wajahnya sedih dan terkesan menyimpan sebuah permasalahan. Ingin
rasanya aku bertanya, ada apa dengan Timur. Tapi aku takut, beliau marah.
“Selamat sore,
Tante,” sapaku memberanikan diri menegurnya.
“Sonia ya?”
“Benar, Tante.
Timur mana?”
Mamanya Timur
malah menangis dan mengajakku duduk seperti sulit untuk menceritakan sesuatu
yang ingin diceritakannya. Aku harus menunggu sampai beliau berhenti menangis
dan menceritakan keadaan yang sebenarnya.
“Setelah
kembali dari rumah sakit, Timur mendadak merasa pusing dan ingin tidur, Sonia.
Setiap hari tubuhnya semakin lemah dan kini malah tak sanggup lagi menelan
makanan. Kami tidak tahu apa sebabnya. Sekarang dia dirawat di ruang 19. Sedih
sekali rasanya. Dia adalah anak kami satu-satunya. Kami pernah hampir
kehilangannya dan tidak ingin kehilangan dia lagi untuk kedua kalinya. Bahkan
dokter saja tidak tahu penyakitnya.”
Sepertinya aku
mulai mengerti apa yang sedang dialami Timur saat ini. Timur hanyalah tubuh
yang digunakan oleh Aira sebagai nyawanya. Jika Aira saja sudah tidak memiliki
keinginan untuk hidup lagi, bagaimana tubuh Timur bisa bertahan. Aira pasti
sudah menyerah untuk memperjuangkan keajaiban yang diyakininya. Baginya jika
Nick tidak terselamatkan lagi, untuk apa dia hidup. Hanya Nick yang bisa
membuat Timur bertahan hidup. Bertahan hidup bagaimana? Nick saja sampai
sekarang belum sadarkan diri. Iba sekali melihat Mamanya Timur begitu sedih
mencari cara agar putera satu-satunya bisa sembuh kembali.
Aku kembali ke
kamar Nick dan mencoba berbisik padanya, “Nick bangunlah. Lihatlah kami. Jika
benar kamu sayang Aira, bangunlah. Beri dia semangat dan tidak menyerah.
Ayolah, Nick.”
Dia tidak bisa
mendengarnya. Yang ada aku hanya bisa terisak menggenggam tangannya yang
dingin.
“Sonia,” kata
seseorang memegang bahuku.
Aku menengok ke
belakang. Webe. Kenapa dia terus yang aku temui? Aku tidak ingin dia ada dalam
hidupku.
“Biarkan aku
sendiri.”
“Aku akan
keluar setelah kamu makan.”
“Lihatlah yang
telah kamu lakukan. Puas sekarang?”
“Aku tidak
menyalahkanmu jika sampai sekarang pun kamu masih belum bisa memaafkanku. Tapi
makanlah dulu. Nick juga akan bilang begitu jika dia bisa bicara.”
Akhirnya aku
menggigit roti yang diberikannya. Webe keluar setelah memastikan bahwa aku
sudah makan separuh roti itu. Apa Imel tidak marah jika dia setiap hari
kerjaannya hanya ngikutin aku terus? Atau mungkin mereka sudah putus? Entahlah.
Sejak Nick dirawat di rumah sakit, aku memang sudah jarang sekali berhubungan
dengan teman-teman sekelasku. Aku juga sudah jarang membuka jejaring sosialku
hingga tidak tahu berita terbaru dari teman-temanku.
Papa mulai
terbiasa melihatku pulang sore. Mungkin sekarang papa sudah mengerti jika aku
sebenarnya menyukai Nick dari pada Timur. Mungkin juga papa bertanya-tanya
mengapa yang sering menjemputku malah Webe. Entahlah lagi.
“Sonia. Aku
minta maaf,” kata Mia mengagetkanku saat aku merapikan mukenahku.
“Mia. Maaf
kenapa? Harusnya aku yang minta maaf.”
“Kenapa kamu
tidak mengkonfirmasi permintaan pertemananku? Kukira kamu benar-benar serius
marah padaku.”
“Akhir-akhir
ini aku tidak sempat membuka FB, Mia. Maaf ya. Nanti kalau sempat kukonfirmasi.”
“Sepertinya
Webe sudah benar-benar berubah, Son. Apa kamu belum bisa memaafkannya?”
“Jika kamu
kemari hanya karena diminta dia, sepertinya sampai sekarang aku belum bisa,
Mia. Dia yang telah membuat Nick seperti ini. Timur juga terbaring lemah di
rumah sakit. Bagaimana bisa aku memaafkan orang yang telah membuat orang yang
paling kusayangi tak sadarkan diri hampir sebulan penuh. Sulit, Mia. Hatiku
belum bisa ikhlas menerima permintaan maafnya.”
“Ya aku tahu
benar sifatmu. Aku mengerti. Kemarin Webe minta maaf pada semua orang yang
pernah dijailinya. Apa itu tidak aneh?”
“Terserah dia
sajalah.”
“Nanti kamu
akan ke rumah sakit? Boleh aku ikut?”
“Silahkan.
Lagipula, jika harus semobil berdua terus dengan Webe aku juga cepat bosan.”
“Itu buku terbaru
kamu ya?” kata Mia menunjuk buku yang selama ini kubawa.
“Bukan. Ini
buku pemberian Timur. Buku ini selalu kubaca agar Nick sadar, karena dulu Nick
suka banget buku ini.”
“Son. Kamu
tambah kurus. Tidakkah kamu sadar jika yang kamu lakukan itu sangat bodoh.”
“Terima kasih
sudah mau bicara jujur.”
“Sudah tidak
marah padaku lagi kan?”
“Ya tidaklah,
Mia. Bagaimanapun kamu itu adalah sahabatku. Sulit mencari sahabat. Kalau
mencari teman sih mudah. Benar tidak? Kamu pasti juga kangen aku kan?”
Kami berpelukan
setelah sekian lama saling diam. Sesampai di rumah sakit, masih belum ada kabar
positif akan perkembangan kesehatan mereka berdua. Lama aku memperhatikan Webe
yang memang sudah banyak berubah. Bahkan dia sekarang lebih rajin beribadah.
Dia juga lebih sabar, tidak seperti Webe yang pernah kukenal sebelumnya yang
merupakan preman di sekolah kami.
“Kenapa, Son?
Percayalah, semua orang pasti bisa berubah. Kamu hanya perlu memberinya
kesempatan,” kata Mia mengagetkanku.
“Aku tidak
sedang melihatnya kok.”
“Sonia. Beri
dia kesempatan. Jangan biarkan dia kembali tersesat lagi di jalan lamanya.”
“Entahlah, Mia.
Semoga saja aku bisa.”
Ini adalah
keberapa aku tidak tahu lagi. Yang pasti, saat ini aku sudah sampai ke bab
terakhir buku ini. Bab ke 32, Tree to Eternity. Bab ini pernah dibacakan Aira
karena hanya berisi satu surat terakhir David untuk Mega. Menetes airmataku
membacakannya. Saat ini aku tidak berharap lagi Nick sembuh. Aku hanya berharap
mereka berdua bisa bersama walau mungkin tidak bersama di dunia ini.
“Tittttttttttttt….”
Suara yang
kutakutkan benar-benar terjadi. Garis datar putih di layar itu sudah memberitahukan
semuanya jika ini adalah akhir dari kisah Nick. Aku tak sanggup lagi menangis
kecuali memanggil perawat jika Nick sudah tiada.
Dari kamar 19
tak jauh dari ruangan Nick, terdengar suara seorang ibu yang tak bisa merelakan
kepergian seseorang. Lengkap sudah. Mereka berdua sekarang sudah pergi untuk
selamanya dan bersama seperti janji mereka. Sedang aku? Menangis tidak bisa
hanya bisa duduk meratap di pojok lorong dalam kesedihan.
Kenapa Tuhan begitu maha tidak adil? Aku sudah
memperbanyak ibadahku dan hanya meminta kesembuhannya, tapi itu pun tidak
dikabulkan-Nya. Sesekali kurasakan dada ini sangat sesak. Aku ingin sekali
menangis dan mengeluarkan semua beban yang menggumpal memenuhi setiap urat di
jantungku. Tiba-tiba seseorang mendekapku erat dan membiarkanku menangis
mengeluarkan semua beban itu. Aku tidak tahu sudah berapa lama berada dalam
pelukannya. Setidaknya aku merasa sedikit rasa hangat. Tidak peduli dia siapa.