Rabu, 29 Agustus 2012

SONIA SWAN BAB 10: AIRA


BAB 10


Aira?

Apa maksudnya? Candaan macam apa lagi ini setelah mereka sukses membuatku hancur? Yang kutahu Aira adalah mantannya Nick yang sudah meninggal dunia karena kanker. Mana mungkin arwahnya merasuki Timur dan Nick dengan mudah mempercayainya begitu saja tanpa menggunakan logikanya.

Aku baru menyadari semua yang telah diucapakan Nick. Mungkin karena terlalu emosi hingga tadi tidak mendengar Nick itu memanggil Timur dengan panggilan Aira. Apa mungkin Nick sudah gila karena terlalu sedih ditinggalkan Aira, dan menganggap Timur itu Aira. Tapi kenapa sekarang malah Timur sendiri yang ngaku Aira? Itu yang tak bisa kupercaya.

“Jelaskan semua omong kosong ini!” kataku tak ingin lagi berlama-lama dalam teka-teki.
“Sinta belum menceritakannya kepadamu?” tanya Timur dan aku hanya menggelengkan kepalaku. “Aku akan menceritakannya sekarang. Sama sepertimu, awalnya Nick juga tidak percaya aku Aira. Butuh waktu juga menjelaskan semua itu padanya. Tapi seperti itulah adanya. Aku juga tidak tahu bagaimana bisa terjadi, semua terjadi begitu saja dan kusadari diriku sudah ada di dalam tubuh ini. Awalnya aku menganggapnya kutukan bukan keajaiban yang selama ini diyakini Nick….”

Timur atau Aira entahlah panggilan apa yang tepat baginya menceritakan semua kejadian tidak masuk akal ini. Berawal dari kamar 19 tempat dia dirawat dan dinyatakan menghembuskan nafasnya untuk yang terakhir kalinya dan dibangkitkan lagi di kamar mayat dengan tubuh seorang laki-laki penuh luka karena kecelakaan lalu lintas.

Keluarga Timur tentu saja sangat bersyukur dan bahagia mendengar kabar jika dirinya bangkit dari mati suri, tapi berbalik dengan keluarga Aira dan juga Nick yang harus menerima kenyataan bahwa telah ditinggal Aira selamanya. Terutama Nick yang hanyut dalam kesedihan dan terpuruk menjadi seorang yang pendiam. Setiap hari mengunjungi makam kekasihnya yang telah pergi.

“…. Seperti teriris-iris rasanya hati ini mengikuti Nick setiap harinya, Sonia. Coba bayangkan jika orang yang kamu sayangi terpuruk meratapi nisanmu seorang diri, tanpa kamu bisa berbuat apa-apa. Aku sampai hafal cara dia mengutuk Tuhan. Lihat, Aira. Siapa yang lebih layak dibilang parah? Kamu atau aku? Jika aku marah pada Tuhan, bukankah itu wajar? Aku sudah tidak main bola lagi. Demi kamu. Sekarang saat aku berusaha melupakanmu, malah aku dihukum lagi dan mengadu padamu lagi kan? Ini yang disebut Tuhan itu maha adil? Dia terlalu sempurna untuk menghukumku. Jika saja aku bisa memiliki agenda ajaib seperti David dalam buku yang kau berikan ini, aku tak peduli walau harus mati seribu kali, asal aku bisa mati untukmu. Tapi sekarang apa? Aku menyedihkan bukan? Sedih sekali rasanya, Sonia. Sedih sekali, tapi jika aku menemuinya dan mengatakan yang sebenarnya jika aku itu Aira, apa dia percaya? Apa dia bisa menerima diriku dengan tubuh seorang pria. Tidak bukan? Kalau aku boleh memilih, aku lebih memilih mati saja dan tidak mengingat apa dan siapa..,

… dengan sabar aku menjelaskan semuanya. Sekarang tujuanku hidup hanya satu agar Nick bisa bahagia bersamamu itu saja, tidak lebih.”

Love lives beyond
The tomb, the earth, which fades like dew-
I love the fond,
The faithful, and the true.
Love lies in sleep,
The happiness of healthy dreams,
Eve's dews may weep,
But love delightful seems.
'Tis seen in flowers,
And in the even's pearly dew
On earth's green hours,
And in the heaven's eternal blue.

'Tis heard in spring
When light and sunbeams, warm and kind,
On angels wing
Bring love and music to the wind.
And where is voice
So young, so beautiful, so sweet
As nature's choice,
Where spring and lovers meet?
Love lies beyond
The tomb, the earth, the flowers, and dew.
I love the fond,
The faithful, young, and true.

John Clare


Puisi itu terngiang begitu saja di benakku. Love Lives Beyond The Tomb milik John Clare.

Terharu aku mendengar cerita Aira, walau akan dibilang gila jika aku mempercayainya. Aku sendiri sebagai cewek bisa merasakan kepedihan yang luar biasa hebatnya jika harus menerima kenyataan diberi kehidupan kedua tapi tidak pernah bisa mencintai pasangannya. Bagaimana bisa jika dirinya sendiri sekarang harus menerima kodrat seorang laki-laki. Jika pun mereka saling menerima belum tentu keluarga dan agama bisa menerima.

Dari sorot mata Nick, aku bisa merasakan cinta yang begitu dalam pada Aira. Aku tahu Nick tidak peduli Aira akan berujud apa. Mungkin jika pun Aira beralih jadi serigala, dia akan tetap mencintainya. Terus bagaimana bisa aku tetap bertahan mengharapkannya.

Aira sendiri bersikeras agar aku tetap menerima Nick dan melupakan peristiwa di Kemsas saat itu. Dia juga terus membujuk Nick agar bisa membiasakan hatinya mencintaiku. Kali ini aku ingin menangis tapi bukan karena mereka pernah melukaiku. Aku ingin menangis dan memeluk Aira erat karena ketulusan hatinya. Jika saja sekarang aku tidak di depan rumahku sendiri dan takut dilihat mama atau papa saat aku memeluk Timur, aku pasti sudah memeluknya erat.

Silahkan bilang aku gila. Aku juga yakin jika keajaiban itu ada dan Tuhan selalu memberikan pelajaran bagi kita dengan berbagai cara.

Semalaman penuh aku memikirkan mereka berdua. Bagaimana jika mereka dikeluarkan dari sekolah. Mungkin saja hal itu akan sedikit mengurangi bebanku, tapi aku masih ingin bersamanya. Kok aku jadi merasa serba salah gini ya? Aku harus bisa meyakinkan BK jika semua ini hanya kesalahpahaman. Pokoknya harus bisa.

Hari ini aku ke sekolah dengan langkah gontai. Setiap mata melihatku seakan menaruh iba. Aku merasa jijik sendiri diperhatikan seperti itu. Mungkin ini hanya perasaanku saja, tapi aku tidak menyukainya.

Aku langsung duduk di bangku sebelahan sama Mia. Laila kuminta duduk di bangku.

“Kenape lu?” tanya Mia.
“Tahu sendirilah.”
“Tahu apa?”
“Timur.”
“Tabah aja deh.”
“Kamu percaya dengan semua itu.”
“Entahlah, Son. Gue dah tanya Zhoey tentang Timur. Lu kenal Bu Sinta yang kemarin ngisi Biologi itu kan? Menurut Zhoey, Bu Sinta itu dulu pacarnya. Timur juga kenal Nick belum lama kok.”
“Aku dah tahu itu.”
“What? Tahu dari mana lu. Setahu gue saja ya, Timur itu bukan orang sini.”
“Kemarin aku ngobrol sama Bu Sinta karena papa telat jemput, dia juga nanya beberapa hal tentang Timur. Jadi kusimpulkan saja jika dia memang ada hubungan khusus dengannya. Coba bayangin, apa mungkin orang yang suka cewek mau berpose seperti itu?”
“Bu Sinta ngomong apa saja?”
“Serius amat tentang Bu Sinta. Mia, aku tidak mau mereka dikeluarin. Kamu tahu cara agar mereka tidak dikeluarin ga?”
“Pusing gue.”
“Bantuin mikir dong.”
“Mikir ape?”
“Ah, jadi lemes nih.”
“Bagaimana jika lu bilang ke BK jika lu pacaran sama Timur dan semua yang ada di FB itu ga bener. Mungkin saja BK bisa mengerti.”
“Aku itu ga suka sama Timur. Harus berapa kali kuulangi sih.”
“Kalau lu bilang pacaran sama Nick mana ada yang percaya. Gue sih percaya, la mereka?”

Kulihat kursi tempat Timur biasa duduk tak lagi terisi. Aku tidak tahu mereka diskor berapa lama. Mana sekarang pelajaran Biologi lagi. Melihat Bu Sinta menjelaskan malah jadi teringat cerita Mia tadi yang katanya mereka memang punya hubungan khusus. Ih, ngapain aku jadi mikirin hubungan mereka?

Tidak fokus sama sekali.

Saat istirahat tiba, kulihat Webe dan teman-temannya asyik nongkrong di dekat lapangan. Geram rasanya melihat ketidakadilan ini. Bukankah dia jelas-jelas sudah ngaku yang upload foto itu malah dibiarin bebas tidak kena hukuman, sedang Nick dan Timur yang harusnya korban malah kena skor. Pengen nampar mereka rasanya.

“Eh, mau kemana lu,” cegah Mia saat aku mulai beranjak berdiri pengen deketin Webe dan kasih pelajaran buat dia.
“Kok bisa cowok brengsek itu ga kena hukuman sih?”
“Jiah, lu. Eh, Son. Kamu tuh di sini kan bukan siswa pindahan. Kaya ga tahu saja pengaruh bokapnya itu kuat. Mana berani guru sini ambil tindakan sama dia.”
“Tapi ga bisa gitu dong. Ini namanya tidak adil.”
“Idealis banget otak lu. Mana ada sih di dunia ini yang bener-bener adil. Sudah, makan dulu yuk. Aku yang bayarin deh.”
“Aku harus beri dia pelajaran,” kataku bergegas menuju ke arah mereka.
“Sonia, jangan bodoh!” teriak Mia tak berani deket pada mereka.

Aku tidak peduli biarpun ayahnya Presiden Negara ini. Jika semua hanya bisa diam terhadap keonaran yang terus dilakukan Webe, bisa-bisa sekolah ini akan bobrok karenanya.

“Plakkkkkk,” suara tamparan keras terdengar saat tanganku menggampar wajahnya.

Webe hanya diam saat tahu yang menampar wajahnya aku. Sebenarnya aku sedikit takut juga dengan tatapan matanya yang tajam, tapi mengapa dia tidak mengeskpresikan tanda-tanda akan marah ya? Dia mencegah teman-temannya yang tidak terima karena aku telah menamparnya.

“Itu pelajaran untukmu,” kataku.
“Wow, ceweknya Timur marah. Aku bisa menjelaskannya, Sonia. Kenapa harus pakai tampar menampar segala?” kata dia sambil mengusap pipinya yang masih merah dengan bekas telapak tanganku.

Tiba-tiba saja di sekelilingku sudah terlihat sangat ramai. Aku jadi kikuk sendiri mau ngomong apa. Awalnya aku berharap dia akan marah dan kami berdua akan dibawa ke BK untuk diintrogasi, tapi semua di luar perkiraanku.

“Jika mau menjelaskan, jelaskan ke BK jika semua itu perbuatanmu. Mereka hanya korban keisenganmu, tapi mereka juga yang harus nerima hukuman. Apa itu yang namanya adil?”
“Terus?”
“Aku ingin mereka masuk lagi ke sekolah.”
“Itu saja?”
“Sombong sekali kau.”
“Ok. Nanti aku akan bilang semua itu salahku. Sekarang apa perlu aku minta maaf juga padamu?”
“Tidak perlu.”

Gregetan banget aku dengan cowok ga tahu diri ini. preman banget ni anak hingga membuatku tidak tahu harus berbuat apa lagi.

“Kalian berdua ikut saya,” kata Kepala Sekolah menggiring kami ke ruang BK.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar