Rabu, 29 Agustus 2012

SONIA SWAN BAB 14: STUPID


BAB 14


Buru-buru aku mandi dan sarapan untuk langsung samperin tuh anak ga tahu diri. Dia masih berdiri seperti orang kebingungan di samping mobilnya. Mau apa coba?

“Eh, ngapain pagi-pagi gini sudah ada di depan rumah?” bentakku.
“Son. Aku antar ya?”
“Ga usah sok baik deh. Aku bisa berangkat sendiri. Bukankah kamu ga jadi kena skor? Ngapain ga pakai seragam?”
“Aku malas berangkat hari ini. Aku antar ya?”
“Kamu demam ya? Ngaco banget sikapmu hari ini. Ga perlu kawatirin aku mau keluarin atau ga. Aku ga takut sama bokapmu.”
“Son. Bisa ga sih bersikap sedikit ramah sama aku? Aku hanya menawarkan bantuan saja kok. Aku antar ya?”

Tumben banget sikapnya hari ini ga sombong seperti kemarin. Kok aku jadi curiga kalau ada apa-apa yang dia sembunyiin di balik sikapnya itu ya. Jangan bodoh, Sonia. Bisa saja kan jika kamu ikut mobilnya, dia akan membawamu ke suatu tempat dan ngapa-ngapain kamu. Ih takut. Naik angkot saja deh.

“Son. Sonia!” dia terus memanggil dan buru-buru masuk mobilnya saat aku beranjak masuk dalam angkot.

Hah?

Dia masih ngikutin lagi. Mau apa coba? Sampai sejauh ini dia masih mengikutiku dari belakang angkot. Aduh, hapenya Nick maupun punya Timur kenapa dimatiin lagi sih? Aku takut Webe nekat berbuat yang tidak-tidak sama aku.

Sesampai di sekolah, aku buru-buru masuk kelas. Kata ketua kelas, aku diminta ke kantor guru sekarang juga. Mate deh gue. Ini pasti hari terakhirku di sekolah ini. Webe mengikutiku masuk ke ruang guru dengan baju tak berseragam.

Seperti dugaanku. Bokapnya Webe sudah duduk di meja Ketua Dewan Komisaris sekolah. Tidak ada harapan lagi dan aku hanya bisa menelan liurku sendiri agar tidak terlihat nervous. Gila, wajahnya kaku banget. Sorot matanya tajam dan membuatku takut saat itu juga.

“Ayah tidak berhak ikut campur dengan urusan pribadiku,” kata Webe seketika walau bokapnya masih diam.

Seluruh ruangan tak berani mengankat wajahnya. Sekolah ini memang bisa dibilang milik Keluarga Webe. Saham mayoritasnya dipegang olehnya. Tapi yang membuatku tak habis pikir itu adalah dimana nurani setiap orang di sekolah ini yang mengaku berprofesi sebagai guru, tapi tidak berani memberi contoh untuk menegakkan keadilan seperti teori yang diajarkan mereka.

“Hari ini saya akan memperkenalkan Kepala Sekolah baru di sekolah ini untuk menggantikan Pak Suhendra yang saya nilai tidak mampu memimpin sekolah ini. Saya berharap bapak dan ibu guru serta karyawan yang ada di sekolah ini membantu beliau untuk memajukan sekolah ini. Jika ada yang keberatan dengan keputusan saya, silahkan katakana sekarang juga di sini,” kata laki-laki itu tegas.
“Aku tidak setuju,” kata Webe angkat bicara.
“Kamu siapa?” tanya laki-laki itu geram.
“Aku murid di sini, jadi aku berhak untuk tidak setuju dengan keputusan sepihakmu.”
“Mana seragammu? Pulang sana! Darimana saja semalaman tidak pulang?”

Hah? Berarti dari semalam Webe berdiri di depan rumahku? Ngapain? Kurang kerjaan banget dia.

“Ayah tidak berhak otoriter begitu di sekolah ini. mau ayah apa sih?”
“Jika kamu ingin bicara gunakan almamater sekolah ini atau diam.”

Webe langsung beranjak keluar ruangan dan menyeret seorang siswa, meminta paksa baju seragamnya. Ayah sama anak ga jauh beda banget ya. Suka sekali mereka memaksakan kehendaknya.

“Jadi kamu yang bernama Sonia? Duduk,” kata laki-laki itu memintaku duduk di sebuah bangku kosong yang ada. “Kamu tahu kenapa sekarang kamu dipanggil kemari?”
“Saya tahu. Anda ingin saya tahu jika anda bisa menunjukkan sisi arogan anda itu kan?”
“Tepat sekali. Tidak salah jika rapormu bagus. Jadi lebih baik gunakan otak pintarmu sebelum melakukan sesuatu yang kuanggap bodoh.”
“Sekarang mau anda apa? Keluarkan saya dari sekolah ini?”
“Aku tidak setuju jika ayah mengeluarkan Sonia,” teriak Webe masuk dengan memakai seragam milik salah satu siswa yang diseretnya tadi.
“Sekolah ini tidak memberitahu cara berpakaian yang benar dan cara  bersopan santun ya. Jadi tidak salah jika kupecat kepala sekolah yang lama kan? Apa perlu aku memecat juga guru BKnya?”

Guru BK yang mendengar pernyataan Bokapnya Webe langsung gemetar ketakutan. Bu Nurul yang kemarin menangani kasusku malah langsung pingsan. Guru kok pengecut ya?

“Cukup ayah. Ayah sudah kelewatan. Apa ayah tidak ingat yang telah ayah lakukan pada temanku dan menjadikannya harus dirawat di rumah sakit?”
“Salah dia sendiri. Dan ini semua tidak ada kaitannya dengan yang sedang kita bicarakan saat ini.”
“Ayah. Bisa tidak sih biarkan aku belajar secara normal? Aku sudah muak selalu berada dalam bayang-bayang ayah terus.”
“Terserah. Aku tidak mau berdebat terus denganmu. Sekarang apa maumu?”
“Jangan pernah sentuh Sonia.”
“Ya Tuhan. Jadi gadis kecil krempeng ini yang sudah berhasil buat kamu gunakan otakmu.”
“Ayah. Ingat sedikit kita sedang bicara dalam forum, bukan di rumah.”
“Ok. Fine. Tidak aka nada di sekolah ini yang akan menyentuh gadis kecilmu. Tapi ingat, jika sampai kamu lulus, kamu belum bisa menjadi yang ayah harapkan. Kamu harus ikuti aturan ayah. Titik. Tidak aka nada lagi tawar menawar.”
“Deal.”

Sebenarnya ada permasalahan apa sih, di antara ayah dan anak ini?  mereka terkesan saling ingin membuktikan.

Jujur, dari tadi perutku mules banget nahan nervous. Mungkin jika tidak ada Webe yang ngotot belain aku, aku sudah tak bisa lagi bertahan di sekolah ini. Kejadian kali ini langsung menjadi trending topic di sekolah. Pastinya Imel akan langsung memperlihatkan rasa jealous tingkat dewanya padaku. Tak ada yang berani bertanya apa-apa termasuk Mia saat Webe ada di belakangku.

Bisa ditebak deh. Mia langsung nyerang aku dengan semua pertanyaan yang tadi sudah terlihat seperti ingus pengen netes dari hidung.
“Jelasin ke gue!” kata Mia langsung menarik tanganku ke tempat duduknya.
“Jelasin apa?”
“Hah, semuanya lah. Kaya tidak tahu saja jika dinding di sekolah ini semua punya kuping.”
“Terus aku harus jelasin apa?”
“Kamu beneran jadian sama Webe?”
“Ih najislah, jadian sama makhluk ga tahu diri itu. Apa sudah tidak ada lagi species cowok di kelas ini?”
“Semua juga tahu jika Webe mati-matian belain kamu. Semua juga tahu jika kamu juga yang pernah nampar Webe. Sepertinya dia serius suka kamu deh, Son.”
“Tumben kamu ga pakai gue lu lagi.”
“Eh, Son. Gue sedang bicara serius dengan lu. Mana hati nurani lu?”
“Loh, kok sekarang kamu malah balik salahin aku hanya karena Webe belain aku di depan bokapnya?”
“Lu tuh beneran bodoh atau sedang membodohin diri lu sendiri sih?”
“Mia, tunggu. Apa sekarang kamu jeles karena Webe deketin aku?”
“Lama-lama gue muak juga ya temenan sama lu. Terserah lu saja deh. Anggap kita ga saling kenal.”
“Mia, jelasin ke aku dong. Jangan buat aku bingung gini.”
“Makan saja semuanya,” kata Mia terlihat sangat kesal dan berlalu meninggalkan mejanya mengacuhkanku.

Tumben Mia bisa senarah gini sama aku. Apa aku salah ngomong ya? Dia sama sekali tidak mau menyapaku lagi. Sejak kejadian tadi pagi, semua sikap teman-temanku menjadi aneh. Tidak salah lagi ini semua pasti ada kaitannya sama Webe. Huh, tapi mengapa Mia juga harus ikutan dinginin aku. Aku tidak ingin kehilangan sahabat kaya dia lagi untuk yang kedua kalinya.

Yang paling parah sekarang adalah Mia remove aku dari pertemanan. Nyesek banget rasanya. Tidak biasanya dia sampai mutusin sejauh ini. Dia pasti mengira aku ada apa-apa sama Webe. Aku tidak tahu lagi bagaimana jelasin ke dia, jika semua ini hanya kesalahpahaman semata.

Untunglah aku masih punya Nazria yang masih mau kujadikan tempat nyampah uneg-unegku. Jika aku tidak cerita permasalahanku, aku bisa gila. Aku butuh teman untuk sharing.

“Tidak seharusnya Mia bersikap seperti itu padaku kan, Ri?” kataku dengan mata masih sebab karena habis nangis.
“Mungkin dia mengira kamu sudah tidak sama seperti kamu yang dulu.”
“Tidak sama yang bagaimana coba?”
“Apa kamu tidak tahu jika Nick sekarang kritis di rumah sakit?”
“Hah? Jangan bercanda deh, Ri!”
“Jadi kamu serius belum tahu hal ini?”
“Ya iyalah.”
“Bener kata Mia, kamu tuh sekarang ga update. Kirain kemarin malam tuh kamu nulis note cerpen itu untuknya.”
“Anyelir terakhir itu ya? Bukan, itu untuk Si Kunyuk Mini. Pantesan hapenya ga bisa kuhubungi. Kok bisa kritis di rumah sakit kenapa? Kemarin dia masih ngantar aku pulang.”
“Aku ga tahu pasti, Son. Tapi kabarnya, dia dikeroyok oleh satpamnya Webe saat mau masuk ke rumahnya.”
“Hah? Masa?”

Jadi kemarin dia buru-buru meninggalkanku memang sengaja cari Webe dan sekarang koma di rumah sakit setelah dihajar satpamnya Webe. Kurang ajar banget Si Webe. Aku tidak akan tinggal diam membiarkan keluarga Webe bersikap semena-mena di sekolah ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar