BAB 3
Jadi aku takkan menipumu.
Aku mencintaimu,
Namun aku enggan meninggalkanmu.
Aku tak mencintaimu
Namun esensi sukacita yang
Dilengkapi dengan jejakmu,
Berakhir di kehadiranmu.
Aku tak mencintaimu
Namun ketika pergi, aku mendesah
Dan berpikir tentang dirimu
Sampai semua bintang lenyap
Aku tak mencintaimu
Namun cahayamu membutakan mataku
Membawa ke jantung jiwaku
ke langit dan ke surga
Aku tak mencintaimu
Namun cara indahmu
Membawaku dalam ketiadaan
Hampir putus asa setiap harinya
Aku tak bisa membencimu
Tapi rasa cintaku terkesan jelas
Untuk mencintaimu lebih lagi
Begitu membenci, mencintaimu lebih baik lagi.
Kutulis puisi itu berulang kali dalam agendaku.
Hembusan angin yang romantis membawaku hanyut terbawa dalam khayalanku. Aku
berharap waktu bisa kuputar ulang dan tak lagi mempertanyakan mengapa dia
melakukan semua ini kepadaku.
“Aku mencintaimu, jadi aku takkan menipumu,…”
Kudengar suara yang sangat merdu membacakan puisi yang
baru saja kutulis. Nick, siapa lagi. Tapi untuk apa dia di sini?
“Mau apa?” tanyaku ketus.
“Aku bawakan Origami burung, Kecil,” dia memberikan
origami bodoh itu lagi.
“Basi tahu. Kenapa kamu lakukan itu padaku, Ed? Sakit
tahu? Sakit banget hatiku dengan permainanmu. Harusnya kamu tidak menjadikanku
Objek konyolmu itu. Aku benci banget sama kamu.”
Dia hanya tersenyum seperti tidak memperhatikan rasa
kesalku dan airmata yang terus mengalir membasahi pipiku. Belum pernah aku
bertemu cowok yang tidak memiliki perasaan seperti dirinya.
Sueerr.
Aku kesal sekali. Dia malah mengambil lagi bunga
puteri malu yang pernah diberikannya kepadaku tanpa permisi terlebih dahulu.
Sebenarnya apa sih maunya?
“Ed,… hei Nick… siapapun namamu, sebenernya maumu apa
sih?” aku berteriak keras tapi suaraku seperti tersedot habis dan semakin lama
semakin hilang.
Aku terengah-engah bangun dari tidurku dengan airmata
telah membasahi bantalku. Untunglah hanya mimpi. Kulihat jam di atas meja masih
menunjukkan pukul 03.28 WIB. Belum subuh, mungkin bisa kugunakan untuk salat
Tahajud agar aku bisa sedikit lebih tenang. Bayangannya tak pernah bisa hilang.
Tidak mudah menghapusnya dengan apapun. Tipe ex? No. sangat sulit. Dia itu
seperti tattoo yang terlanjur permanen terlukis di hatiku. Menghapusnya dengan
paksa hanya akan menyakitiku lebih sakit lagi. Untunglah mama dan papa tidak
menanyakan tumben aku bangun sepagi ini. Aku memang tidak menceritakan tentang
Nick pada mereka berdua. Yang kuceritakan hanyalah buku terbitan hasil Kemsas.
Kubuka blogku yang paling keren. Apa lagi kalau bukan
Dukun Online. Sebagian isinya mengeluhkan mengapa aku tidak membalas keluhan
mereka kemarin malam. Bisa-bisa pelanggan kecewa nih.
Ask
To Dukun:
Nanya
dong dukun yang super pintar. Kenapa jerawat sering dikaitkan dengan masa puber
sih? Apa hubungannya dengan makan kacang tanah?
Thank
before.
Rika
Khoirunnisa
To Rika Khoirunnisa:
Temenku Pak Saini (bukan nama Group Boyband Korea) itu
penjual kacang rebus di pinggir Jl. Sudirman deket bundaran. Setahuku sih punya
anak ABG yang kebetulan jerawatan. Coba tanya langsung sama anaknya deh.
Semoga bermanfaat.
Ask
To Dukun:
Bener
ga cowo tu suka peliara bulu ketek? Soalnya gw pengen cowo gw cukur bulu
keteknya, tapi takut dianya marah. Saran dong, gimana caranya agar dia mau
potong bulu keteknya. Pernah gw denger sih, sugesti dia tuh bulu ketek bisa
menambah kesan macho kaya Samson gitu.
Ditunggu
jawabannya.
Ai
To Ai:
Wah cowo kamu pasti kelainan tuh. Ada dua alternative
sih yang mungkin tidak begitu menyenangkan untuk kamu praktekkan. Pertama: kamu
coba peliara bulu ketek kamu dan liat reaksi dia dan kedua kamu ambil beberapa
kutu kucing terus tarok di ketek cowo kamu. Alternative kedua ini mungkin akan
membuat cowok kamu dengan senang ati cukur bulu keteknya sukarela.
Kenapa ga ada pertanyaan yang logis sih? Misalnya
untuk menyelesaikan persamaan kuadrat bisa dilakukan dengan berapa cara? Apa
semua ABG sekarang sudah kelewat kreatif hingga yang ditanyakan semua keluar
dari jalur pelajarannya ya?
Ada satu pendatang yang menarik perhatianku nih.
Pengirimnya Nick Cullen? Apa mungkin ini dia?
Ask
To Dukun:
Kamu
percaya keajaiban?
Nick
Cullen.
Gila pertanyaannya singkat sekali dan itu pernah
kudengar dari mulutnya langsung saat di Kemsas. Tidak salah lagi ini pasti
Nick. Bukannya aku tidak bisa menjawab pertanyaannya, tapi yang menanyakan pertanyaan
ini adalah orang yang pernah membuatku terpuruk, galau satu semester.
To Nick Cullen:
Aku benci pertanyaanmu.
Entah mengapa aku malah menjawabnya seperti itu. Semua
itu mengingatkanku kembali tentang bunga puteri malu pemberiaanya. Tiba-tiba saja
perasaan berkecamuk melanda hatiku dengan dahsyat. Ingin sekali membalas lagi
pertanyaannya dengan semua makian yang pernah kudengar lewat telingaku seumur
hidupku. Saat kubaca ulang pertanyaannya dan kubaca balasanku, bukankah aku ini
terlalu lebay?
Dia hanya menanyakan Yes/No Question dan sederhana
jawabannya. Mengapa juga aku malah membenci pertanyaannya. Sangat tidak
professional menurutku. Mendadak aku menjadi nyesel sendiri.
Tutup laptop dan cari aktifitas lain mengisi hari
liburku ah. Gara-gara satu pertanyaan dari dirinya membuatku malas lanjutin
balas pasienku. Bagaimana dia bisa tahu kalau ada Dukun Online ya?
Jangan-jangan Mia yang ngasih tahu nih.
Mia masih ngambek ga
ya?
Hari ini rencananya aku mau ke toko buku untuk beli
beberapa novel. Kabarnya ada novel baru judulnya The Host karya S. Meyer. Tapi
jika pergi sendiri tanpa Mia kesannya jadi ga asyik. Dari pesan dinding yang
kubaca tadi malam sih, sepertinya dia sudah ada janji dengan temennya yang
bernama Zhoey. Ya sudah lah, beginilah nasib jomblo jika mau pergi ga ada yang
nemani.
Banyak juga buku keluaran terbaru. Padahal dompetku
isinya terbatas. Ok deh, liat-liat dulu saja. Sapa tahu ada cowok ganteng yang
nawarin satu buku bagus dan gratis untukku.
Tenong!
Kaget saya, seseorang menyentuh pundakku dari belakang
dan mengulurkan sebuah buku. Aku merasa tidak mengenalnya. Dia juga bukan
temenku sekolah. Mau apa dia?
“Apaan ini?” tanyaku.
“Jika cari buku beda, coba yang ini,” kata dia sambil
mengulurkan buku berjudul David.
“David? Karangan siapa?” tanyaku.
“Tuh ada pengarangnya.”
“Edward William White? Ga kenal.”
“Masa?”
“Eh, kamu siapa sih, sok akrab gitu. Aku pengen
sendiri jangan ganggu aku.”
“Kenalin namaku Timur, aku temannya Nick. Sebenarnya
sih aku hanya ingin minta tolong padamu.”
“Oh, jadi kamu temennya cowok ga tahu diri itu ya.
Patesan ga jauh beda. Ok. Bilang sama temenmu, aku ga tertarik.”
“Sonia, Nick sekarang sudah berbeda, jadi kumohon beri
dia kesempatan.”
“Jadi dia ngutus kamu gitu? Kenapa ga dianya saja yang
datang nemuin aku? Jiah… bikin ilfil saja.”
“Sonia,…” panggil dia tapi aku beranjak
meninggalkannya.
Kenapa coba selalu ada orang yang sukses meruntuhkan
moodku. Aku sepertinya tidak asing dengan pengarang buku itu, tapi sapa ya?
Inget-inget, Sonia. Coba inget lagi.
Jiah… iya. Bukankah itu orang yang ikut dalam obrolan
bersama Mia. Baru tahu aku jika Mia punya kenalan orang yang suka nulis juga.
Tapi untuk apa ya, cowok yang bernama Timur tadi nawarin aku buku yang ga jelas
gitu. Apa mungkin dia diutus Nick untuk berikan buku itu?
Ngapain juga aku masih mikirin dia. Delete, remove dan
blok semua data tentang Si Nickolodeon itu ah. Bisa hang otakku jika terus
kugunakan untuk memikirkan sesuatu yang ga jelas tentang dirinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar