Selasa, 28 Agustus 2012

SONIA SWAN BAB 2: MIA


BAB 2

Gara-gara membalas pertanyaan pasien semalaman, jadi telat deh masuk kelas. Ini adalah pertama kali aku harus berurusan dengan BK. Aku sama sekali belum siap menjawab dan memberikan argumenku, mengapa aku bisa terlambat. Tadinya kukira akan ditanya, “kenapa bisa terlambat?” eh tak tahunya aku malah ditanya, “tadi malam tidur jam berapa?”

Kelihatan banget ya kantung mataku?

“Jam 3 pagi, Bu. Sakit giginya kambuh ga bisa tidur,” jawabku ngeles.
“Oh…,” kata Bu Rahma, seakan tidak percaya dengan jawabanku.
“Terus bagaimana, Bu? Boleh saya masuk kelas?”
“Ya, silahkan. Why not?”
“Saya tidak dihukum?”
“Ya. Hanya point saja kok.”
“Beneran boleh masuk?”

Bu Rahma hanya mengangguk dan tersenyum membuatku semakin bertanya-tanya dikuadratkan dengan tanda tanya. Aku semakin dipaksa untuk lebih mengoreksi kesalahanku. Padahal aku berharap diberi hukuman dan aku tidak terbebani seperti ini.

Di kelas, kulihat Mia senyum-senyum seperti kucing habis makan ikan segar. Aku tak ingin menebak-nebak lagi apa yang membuatnya sebegitu berseri-seri seperti ubur-ubur. Pak Willy memintaku duduk setelah membaca surat yang kubawa dari BK.

“Tumben lu bisa terlambat juga hehe,” kata Mia menertawakanku.
“Banyak pasien yang ikutan gila sama sepertimu dan aku lembur membalasnya tadi malam. Gila bener deh dunia ini.”
“Sonia, jika belum siap belajar keluar saja!” kata Pak Willy merasa terganggu dengan obrolanku sama Mia.

Apes banget hari ini.

Gara-gara telat, terus ngobrol dengan Mia, sekarang malah diminta Pak Willy nyusun persamaan Differensial lagi. Bisa terlambat lagi masuk kelas sastra deh. Di sekolah ini, satu-satunya pelajaran yang paling kusukai adalah ekskul kelas sastra walau sekarang ini aku sudah jarang nulis.

Beneran kan terlambat?

Aku mengetuk pintu kelas dengan perasaan serba salah.

 “Masuk,” seru Bu Ida pembina kelas sastra.
“Maaf saya terlambat, Bu.”

Seperti di sambar petir rasanya saat melihat cowok itu –Nick: maksudnya- sudah ada juga di kelas sastra. Mau apa dia? Dia melihatku tanpa berkedip dan membuatku salting 7phiD (baca aja tujuh keliling).

Gabrukkk

Jiah… malu banget saya. Gara-gara memperhatikannya, aku malah menabrak Bu Ida yang jelas-jelas duduk di kursinya. Kok bisa gitu? Seisi kelas gemuruh menertawakanku. Ya Tuhan, mengapa setiap kali ketemu dia aku jadi begitu sial banget sih.

“Sonia, kamu baik-baik saja,” Bu Ida membantuku berdiri dan aku berusaha merapikan tubuhku.
“Maaf, Bu.”
“Sonia sedang galau, Bu,” kata Mia disusul tawa riuh seisi kelas.

Sejak kapan Mia ikutan kelas sastra? Bukankah dia benci banget hal-hal tentang sastra?

Ini pasti mimpi buruk yang paling mengerikan. Ingin rasanya menangis dan mengujat dunia ini. Tapi sepertinya ada yang beda dengan Nick. Dia terlihat dingin dan tidak bersemangat tidak seperti saat kutemui di Kemsas. Apa mungkin pacarnya tidak tertolong ya? Ih, kenapa aku malah berpikiran jahat seperti ini sih?

“Sudah, sudah. Sonia kamu cari tempat dudukmu,” kata Bu Ida berusaha menenangkan siswa dan tidak ingin membuatku lebih merasa malu. “Ok, kita ulang materi yang tadi kita bahas tolong diperhatikan lagi penggalan berikut.”

Penggalan apa lagi nih?

Aku tidak ingin mendengar apapun sekarang ini, please.



I do not love thee
So I’ll not deceive thee.
I do love thee,
Yet I’m loth to leave thee.

I do not love thee
Yet joy’s very essence
Comes with thy footstep,
Is complete in thy presence…



Kenapa Bu Ida malah memutar puisi dari John Clare? Ini sama artinya dengan menggali lagi kubur kenanganku saat bersamanya di Kemsas. Puisi ini begitu sering kutulis dalam statusku setelah pulang dari Kemsas saat itu. Jadi dengan kata lain semua yang telah kuanggap hilang dengan jelas dimunculkan lagi.

“Ok, Sonia sekarang lanjutkan,” kata Bu Ida melihatku kurang fokus sehingga memintaku melanjutkan penggalan puisi tadi.


I do not love thee
Yet when gone, I sigh
And think about thee
Till the stars all die

I do not love thee
Yet thy bright black eyes
Bring to my heart’s soul
Heaven and paradise

I do not love thee
Yet thy handsome ways
Bring me in absence
Almost hopeless days

I cannot hate thee
Yet my love seems debtor
To love thee more
So hating, love thee better.




Seperti diiris-iris hati ini membacakan setiap bait dari puisi John Clare. Walaupun kukatakan berulang kali jika aku tak lagi mencintainya, aku tak lagi menyimpan sekeping pun bayangnya dalam hatiku, tapi semua itu terkesan semu di mataku. Terlebih lagi sekarang dia ada di sini dan mendengar langsung setiap bait dari hatiku yang sangat ingin kuucapkan di depannya.



Aku tak mencintaimu
Namun ketika pergi, aku mendesah
Dan berpikir tentang
dirimu
Sampai
semua bintang lenyap



“Tepat sekali, wow wonderfull, Sonia. Bagaimana kamu bisa hafal puisi ini. Ok, siapa yang ingin menanggapi tentang puisi dari John Clare tadi, Kata Bu Ida bertepuk tangan dan meminta beberapa teman mendiskusikan tentang puisi tadi.

Tentu saja aku sangat memahami puisi itu. semua tentangnya kembali hadir sangat jelas. Aku keluar dengan langkah lesu dan tidak semangat seperti biasanya.

“Apa kabar, Kecil?” sapa seorang cowok dan hanya ada satu orang yang memanggilku ‘Kecil’. Dia.

Aku meninggalkannya begitu saja. Ada dua alasan mengapa aku tak ingin bertemu dengannya. Pertama, Mia dan kedua aku tak ingin tersiksa lagi. Lubang yang pernah dibuat dia di hatiku sangat dalam dan cukup  untuk menampung airmataku hingga menjadi sumur.

Jika seperti ini, pelarianku selalu hanya peran keduaku. Benar sekali, menjadi Dukun Online. Huaaaaa, aku juga pengen curhat, tapi sama siapa. Paling tidak aku bisa membaca keluhan lucu mereka.

Yang ini? No, balas nanti saja.

Kalau yang ini? Ya Tuhan, ini sudah pernah kubahas kenapa ditanyakan lagi. Suerrr, aku tidak bisa konsentrasi membahas semua biang galau yang konsultasi. Akhirnya aku menutup kembali laptopku dan tergeletak lemas di ranjangku.

TIRITITTTT…

Ngapain lagi Si Mia telepon malam-malam gini.

“Ya,” kataku malas.
“Lu ga bisa batalin kotrak dong,” kata dia sambil sesekali terdengar seperti sedang menangis.

Ni anak kumat gilanya kali ya?

“Ngapa lagi?”
“Nick, Son. Nick. Lu ngomong apa sama dia?”
“Bisa ga sih ga bicarain Nick?”
“Hayoo ngaku!”
“Ya ampun, Mia. Kamu kenapa sih? Aku sedang pusing nih.”
“Gue ga tanya keadaan lu. Bagaimana dia bisa memanggil lu Angsa Kecil dengan begitu mesra coba? Gue jeles, tahu?”

Jeles?

Kok bisa hayoo?

Perasaan ni anak lebay banget deh.

“Jeles dari Hongkong. Kok bisa kamu jeles ma aku itu rumusnya dari mana?”
“Habis dianya, gue ajak ngobrol malah tanyain macem-macem tentang lu siapa yang ga jeles coba. Lu tahu kan gue itu sayang banget sama dia.”
“Terus kamu jawab apa?”
“Tau ah.”

Sialan dia malah tutup telponnya. Aku membuka FBnya sapa tau online dan bisa kujelasin semuanya. Seperti dugaanku deh. Aku mencoba kirim pesan padanya. Dia ga mau membalasnya. Jiah, dia malah matiin chattnya. Sepertinya dia beneran marah nih. Telepon ga dijawab. Ya udah, deh paling sebentar lagi buat status galau.



nunyi, bsk kn aku ke ruma mu jam 11,
nah sebelum qta ke ruma mu,
qta mampir di kfc yo ha ha ha
#puasawoymia

Nih anak positip stress kali ya. Tadi tersedu-sedu karena Nick nanyain keadaanku, eh sekarang malah janjian ke rumah temennya Zhoey dan nanyain temennya? Tapi kok aku bingung sendiri ya dengan perbincangan mereka. Kok dia ga pake gue lu lagi ya? Dasar Si Mia. Mana dia masih bisa ngakak lagi. Whoosa deh.

Sudahlah, paling besok juga baikan lagi. Ngakak juga ikutin perbincangan mereka. Sepertinya memang hanya aku orang yang tidak bisa sebebas itu berekspresi kecuali saat bersembunyi menjadi Dukun Online. Cacingan gue. Terkadang harusnya aku yang jeles sama Mia. Dia itu bisa ngungkapin emosinya tanpa ada yang harus dipendam. Tidak seperti aku yang hanya bisa galau sendirian.

Sudah ah. Daripada mikirin Mia, mending tidur biar ga terlambat lagi besok.

What?

Bukankah esok libur?

Kira-kira Nick tadi nanyain aku apaan ya sama Mia? Huuuuu kenapa sih, dia selalu saja menyiksa hatiku? Kenapa juga dia harus pindah lagi ke sekolahku saat aku sudah mulai bisa melupakannya?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar