BAB 4
Semoga saja hari ini di sekolah tidak bertemu dengan
Nickolodeon itu. Perasaanku mengatakan jika bertemu dia, aku pasti akan sial.
Seperti dugaanku, Mia sudah bisa cengar cengir seperti sudah lupa masalah
telpon tadi malam lusa.
“Eh Sonia, sini duduk deket gue,” kata Mia.
Ga salah denger ni telingaku?
“Kamu baik-baik saja?” tanyaku penuh curiga.
“Ih, Lu. Emang gue keliatan cacingan gitu? Sudah sini,
aku mau kasih kabar gembira buat lu.”
“Kabar gembira apaan?”
“Gue udah ikhlasin Nick buat lu, hehehe senengkan lu.”
“Masih kurang paham.”
“Jiah… lola banget otak lu. Gini, gue sudah ketemu
orang yang tepat buat gue. Gini critanya. Kemarin tuh kan gue ke rumah Zhoey,
emang niat sih pengen kenalan sama temennya. Kirain sih dianya dah mau pulang
ke Samarinda eh belum. Dan kabar gembiranya nih katanya dia mau pindah di sini juga. Jadi Nicknya buat lu juga ga papa deh. Ok nanti
kukenalin.”
Tidak salah lagi diabnosaku jika Mia itu positip
setreeeess. Kemarin dia bilang jika Nick itu cinta pertamanya dan sekarang
setelah dapat ganti mudah banget kasihin ke aku, apa ga salah?
Sebenarnya aku juga penasaran dengan cowok yang
dimaksudkannya, tapi berhubung hari ini aku ada tugas ngurusin mading, jadi
kutinggal saja dia sendiri. Di dekat ruang OSIS kulihat Nick berdiri
memandangiku sampai aku masuk ruang Jurnalistik. Aku tahu jika dia meyakini
sesuatu, dia akan terus meyakininya. Wajahnya itu selalu
membuatku degdegan tidak menentu.
Tanpa kusadari, bukannya aku membuat daftar mading dari
kertas yang sudah
tersedia, eh malah aku melipat banyak sekali origami burung kertas. Nazria
memandangiku heran dan aku merasa risih sendiri karenanya.
“Ada yang salah?” tanyaku kesel dia melihatku seperti
itu terus
menerus.
“Lipat origami buat apa?”
“Siapa juga yang buat Origami.”
“Son, jika kamu memang ga enak badan tuh lebih baik
ijin dulu ga usah masuk. Akhir-akhir ini kuperhatikan kamu tidak pernah fokus
ya? Ada masalah apa? Mungkin aku bisa bantu jika kamu pengen cerita.”
Aku baru menyadari jika aku sudah menghabiskan
beberapa kertas yang harusnya kugunakan sabagai bahan mading malah
kulipat-lipat jadi origami. Sepertinya aku memang harus jujur jika aku memang
masih merindukannya. Tapi aku tidak ingin disakiti untuk kedua kalinya oleh
orang yang sama. Ga salah kan?
Akhirnya aku menceritakan semua yang pernah kualami di
Kemsas yang selama ini kurahasiakan pada Nazria. Termasuk tentang Nick. Kulihat
dia sudah mulai mengerti permasalahanku sejak kehadiran Nick di sekolah ini
walau tidak satu kelas denganku. Intinya sih, dia itu sumber semua rasa galau
yang selama ini kurasakan.
“Oh, jadi itu ya permasalahannya,” kata Nazria sok
wise.
“Coba kalau kamu di posisiku apa yang kamu rasakan?
Jujur saja dia memang cinta pertamaku, Ri. Salah ya?”
“Kita itu kan dah gede, Son. Ya engga lah. Semua juga
pasti akan mengalami yang sama sepertimu. Toh nanti kamu juga akan terbiasa
dengan kehadirannya.”
“Masalahnya tuh jika ada dia aku pasti sial, Ri. Sulit
sekali lupakan semua yang pernah dilakukannya. Bisa-bisanya aku dijadikan objek
mainannya. Intinya aku benci sekali dengannya.”
“Kamu bukannya benci, Son. Tapi sebenarnya kamu itu
kangen dia hanya malu mengakuinya hingga kamu sedemian galau seperti ini. Sudah
deh, coba easy going dan biarkan dia. Iya kalau dia ngerti kamu galauin, kalau
ga?”
Beneran sok wise deh ni anak. Dia sendiri masih jomblo
bisa nasehatin aku kaya gitu. Ih jadi tambah galau saya. Aku mutusin keluar
sebentar. Di sini juga aku tak bisa konsentrasi bantu bikin mading, so cari
udara segar saja deh.
TITUT… TITUT
Ngapain juga Mia SMS? Apa dia mau pamerin temen
barunya itu kali ya?
From
Mia:
Ke
Kantin Dong. Gue mau kenalin temen gue nih. Ok… C.U
Mudah sekali menebak jalan hidupnya. Jika
dipikir-pikir banyak sekali new comer di sekolah ini. apa kerennya coba? Apa
bener dia lebih keren dari Nick hingga dengan mudah lepasin Nick begitu saja
dan buang ke tempat sampah. Ralat: jika aku bilang tempat sampah, berarti aku
dong tempat sampahnya?
Mana? Mana? Makhluk yang bernama Mia dan temen barunya
itu. Kantin saja hanya beberapa orang dan tidak kulihat Mia.
“Surprise….!” Seru Mia mengagetkanku dari belakang.
Childist banget ni anak. Kaget tahu.
“Kaget tau!” kataku sambil memukul kecil dirinya.
“Haha… sok dramatis lu. Eh duduk sini dulu, dianya
baru ke toilet.”
“Sapa lagi sih mangsamu? Beneran sudah lupa sama
Nick?”
“Cielah, segitu kawatirnya sih. Ikhlas gue, ikhlas.
Dah Nick buat lu deh.”
Tak lama setelah Mia cuap-cuap muji-muji temen barunya
itu, datang seorang cowok yang haram kayanya kalau aku tidak bilang, “Oh My
God.” Catatan loh. Bukan karena dia gantengnya selangit, atau karena dia itu
anggota boyband. Tapi bukannya dia itu cowok yang kutemuin di toko buku yang
nawarin aku sebuah buku dan ngaku temennya Nick. Haduh bisa salah sangka lagi
ni Zombie di depanku.
“Eh, kedip Son Kedip. Segitu amat liatin dia. Keren
ga?” kata Mia bangga.
“Timur?” spontan aku menyebut namanya.
“Ha? Jangan bilang lu kenal dia ya?”
“Enggak kenal, hanya penah ketemu dia sih.”
“Jangan bercandalah, Son. Gue kan sudah ikhlasin Nick
buat lu, masa dia juga mau lu ambil juga.”
“Positip thinking ngapa. Siapa juga yang mau ambil
dia. Aku kan hanya bilang pernah ketemu dia sekali bukan mau ambil dia.”
“Perasaanku tuh mengatakan jika lu pernah ketemu
seseorang lebih dulu dari gue, itu tandanya lu mau rebut dia juga. Huaaa.”
Tutup mulut saja deh. Jelasin apapun juga tidak akan
didengar olehnya. Tapi ngapain juga dia pindah ke sekolah ini? Apa mungki ada
hubungannya dengan Nick atau denganku? Wah bisa renggang lagi nih hubunganku
dengan Mia.
“Hai, semua. Sonia? Kamu juga sekolah di sini? Mana
Nick?” sapa Timur membawakan softdrink untuk Mia.
Jiah… basi banget salamnya. Aku semakin penasaran
dengan maksud dan tujuan utama dia pindah ke sekolah ini. Tanya Nick? Emang apa
hubunganku dengan Nick?
“Ga usah basa basi lagi, jelasin tujuanmu ke sini mau
apa sebelum semua kesalahpahaman ini menjadi tsunami?”
“Maksud kamu?” tanya dia dengan wajah bingung.
“Timur, jadi bener ya kamu kenal dia?” tanya Mia
dengan wajah animenya siap ngucurin airmata drama.
“Ya, kenal sih tadi saat di toko buku. Ada apa emangnya?”
“Tuh bener kan dia kenal kamu, Son.”
Aduh mau ngomong apa lagi nih. Kenapa juga kecebong
ini malah acting sok akrab banget. Padahal kan dia hanya nyapa aku di toko
buku, bukannya kenal. Kenal bagaimana, la dia hanya nawarin buku dan minta
tolong padaku untuk memberi kesempatan Nick tanpa aku tahu maksudnya apa. Rumit
sekali hidupku.
“Eit, jangan asal ngomong ya. Mia, boleh aku bicara
empat mata dengan dia? Aku hanya ingin lurusin satu hal sebelum nantinya kamu
salah paham lagi padaku.”
“Terserah lu,” kata Mia sewot plus jeles.
Kecebong ungu ini memang perlu dikasih pelajaran. Dia
pasti punya motif tertentu padaku dan juga Nick. Jika dia mau comblangin aku
dengan Nick, seharusnya tidak melalui Mia dong.
“Katakan semuanya, cepat!” kataku to the point tanpa
iklan.
“Katakan apa?”
“Apa maksudmu tadi minta tolong aku untuk memberi Nick
kesempatan? Denger ya, aku tidak ada hubungan apa-apa dengan Nick. Jadi jangan
sok hero deh.”
“Nick sudah kehilangan orang yang paling disayanginya,
Son. Aku tidak tega jika dia menyesal untuk kedua kalinya.”
“Terus apa hubungannya denganku? Kutekankan lagi ya,
aku bukan ceweknya dan tidak ada hubungan apa-apa dengannya. Jadi sa bodoh lah
dia mau nyesel atau engga.”
“Sebegitu bencinya ya, kamu sama dia?”
“Ih, kuping itu buat denger tahu. Jelas ga sih?” bikin
gregetan saja ngomong sama dia.
“Aku lebih tahu apa yang dirasakan Nick dari pada
siapapun, Son. Karena itu aku bisa ngomong seperti ini.”
“Masa bodoh dengan perasaannya. Begini saja bilang
sama temenmu itu, dimana perasaannya saat dia nulis surat itu padaku? Saat dia
jadikan aku objek eksperimen cintanya dan buat aku menangisi sesuatu yang tak
perlu. Apa dia merasa bersalah? So what the hell.”
“Sonia,..”
Ini adalah kedua kalinya aku meninggalkan cowok itu
dengan rasa kesal tingkat dewa. Aku paling benci jika ada orang yang mencampuri
hidupku, apalagi orang yang sok tahu dengan perasaanku. Ingin rasanya menangis
sekeras-kerasnya saat dia mengingatkan kembali semuanya tentang masa itu.
Ini sangat memuakkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar