Senin, 27 Agustus 2012

PREQUEL


PREQUEL

KEMSAS-LOVE
(Kemah Sastra-Love)


Liburanku kali ini tidak jadi ke Surabaya untuk berlibur di rumah nenek. Tiket Kemah Sastra yang kumenangkan membuatku tidak bisa ikut keluarga ke Surabaya. Sebenarnya Papa sudah memintaku membatalkan saja untuk ikut Kemah Sastra itu, tapi sayang. Aku sudah mempunyai impian itu sejak lama, sejak pertama kali menekuni dunia tulis menulis.

HARI PERTAMA

Hari pertama diawali dengan pembagian dua kelompok. Kelompok cowok dan kelompok cewek. Seperti biasa tahap perkenalan pasti canggung. Panitia Pembina mengadakan acara pertandingan sepakbola. Ini hal aneh bagiku. Pertama karena aku seorang cewek dan benci banget dengan riuhnya sepakbola. Dan kedua apa hubungannya dengan sastra coba? Karena itu sudah diatur dalam skedul ya udah lakuin aja deh.

Kelompok cewek dibagi menjadi dua kelompok begitu juga kelompok cowok. Yang membuatku semakin malas ikut acara pertama ini adalah datangnya kekacauan yang dibuat oleh seorang peserta cowok. Baru saja dimulai pertandingan belum sampai lima menit sudah mendapat kartu merah. Menurutku biasa saja sih, karena aku juga ga begitu jelas dengan aturannya. Tapi yang ada di kepala panitia itu apa coba? Masa juga cowok yang tadi kena kartu merah itu malah disuruh jadi pelatih kami dan cowok yang satunya yang tadi juga bersitegang dengannya diminta juga jadi pelatih tim lawan. Aneh bukan? Terserahlah, toh kami juga ga minat untuk menang.

“Ok. Sekarang aku pelatih kalian dan aku berharap kalian menang. Ok?” kata cowok itu sok jadi coach. Kecoak iya deh.
“Ya…” kata kami agak malas menanggapinya. Sebagian besar dari kami lebih memilih adu nulis puisi dalam waktu 30 menit, atau nulis cerpen dalam waktu satu jam deh. Tapi semua berubah saat panitia menjelaskan tim mana yang menang akan mendapatkan tambahan waktu tiga jam di acara puncak final menulis novel dalam waktu tiga hari tiga malam yang nantinya novelnya akan diterbitkan. Wah… tiga jam adalah waktu yang sangat berharga karena sampai sekarang kami juga belum tahu temanya sih.
“Heuiii… mana semangatnya? Pokoknya nanti aku minta kamu, kamu, dan kamu semua jadi penyerang kecuali Si Gendut itu jadi kipeernya,” kata cowok itu sok yes.
“Aku?” kata Si Gendut bingung. “Terus yang bantu bertahan siapa?”
“Ga usah bertahan. Pertahanan yang terbaik adalah menyerang. Jelas semuanya?”

Jelas apanya. Tujuan kami datang ke perkemahan ini bukannya untuk main bola tapi untuk nulis tahu. Aku sendiri memperhatikan tingkahnya yang berlebihan itu jadi pengen muntah sendiri.

“Eh… kecil, ngapain kamu di situ? Sini cepat. Kamu yang kickoff,” perintah dia memanggilku kecil.

Kecil?

Kecil nenek moyangmu kumisan tuh. Enak saja panggil seenaknya. Namaku Sonia Swan. Rangking pertama kelas IPA tahu? Malas rasanya ikutin maunya. Kickoff apaan coba?

“Kickoff?” tanyaku bingung.
“Nendang,” kata dia pelan sambil mengusap-usap kepalaku.

Jiah… nendang. Mana bisa? Nulis kali aku bisa.

Aku memperhatikan lagi yang dilakukannya malah berlari ke penjaga gawang tim lawan dan menciumnya sebelum sebuah tamparan melayang ke pipinya. Gila kali tuh cowok ya? Terang saja deh sekarang dia dapat kartu merah kedua. Baru kali ni dalam sejarah sepakbola ada kartu merah kedua kali ya. Tapi syukurin deh, yang penting dia ga jadi pelatih kami.

Nyerang…

Jangan dibayangkan jika pertandingan sepak bola ini akan berlangsung seru. Bolanya kemana saja kami ga tahu. Untung saja penjaga gawang itu ga fokus setelah dicium monyet gila jadi kami berhasil membuat dua gold an menang dua kosong. Sebenarnya kami harus berterimakasih sama Si Gendut. Gawangnya saja kalau besar dengan badannya bagaimana bisa lawan masukin bola coba?

HARI KEDUA

Hari kedua kakiku serasa bengkak semua. Ga nahan deh. Aku hanya duduk-duduk sendiri membaca buku teenlit karangan Umar Tampan. Narsis banget penulis teenlit ini. Apesnya pelatih kami yang budiman itu datang menghampiri kami dengan senyum merekah. Mau apa lagi coba?

“Eh… aku punya sesuatu untukmu nih, Kecil,” kata dia memberikan sebuah origami.
“Apa ini?” tanyaku bingung dengan bentuk abstrak yang diberikannya padaku.
“Itu burung kertas.”
“What? Burung kertas? Kok bentuknya kaya kodok?”
“Anggap saja burung kertas deh. Itu saja aku buatnya semalaman loh.”

Cowok ini pasti positif gila deh. Tapi kok bisa ikutan kemah ini ya? Aku lagi malas ladenin cowok itu jadi kutaruh saja origami abstrak itu di dekat buku.

“Selamatnya ya tim kamu menang. Oh ya, Kecil. Bisa bantu aku buatin puisi tentang patah hati?”
“Namaku Sonia. Bukan kecil. Sonia Swan,” jawabku protes terus dipanggil kecil.
“Hahaha… kenalkan namaku Ed Cullen.”

Apanya yang lucu coba? Lagipula untuk apa dia memintaku membuatkan puisi patah hati. Mungkin karena efek tamparan kemarin kali. Dia masih menungguiku membuatkan puisi untuknya. Haduh… buat puisi patah hati kok ditungguin sambil diliatin seperti itu ya sulit dong. Yang ada malah aku salting sendiri deh.

“Eh tutup mata sana!” kataku dan dia membalikkan tubuhnya.

Kok mau-maunya aku buatin puisi untuk dia. Mana semua kata berlarian dan tidak bisa kutemukan diksi yang tepat lagi. Akhirnya kertas itu malah kulipat jadi origami burung kertas dan kuserahkan padanya.

“Ini, sudah jadi,” kataku memberikan burung kertas itu.
“Kok burung kertas? Puisinya mana?”
“Bodoh! Daripada kamu buatin aku kodok. Sudah sana pulang ke tendamu, aku mau istirahat kakiku pegal semua.”

Dia pergi dengan wajah penuh pertanyaan. Ini hari kedua yang tidak menyenangkan mengikuti perkemahan ini. Tahu gini mending ikutan ke rumah nenek.

HARI KETIGA

Hari ketiga dia datang lagi ke tendaku kali ini malah membawakan sebuah pot kecil berisikan bunga putri malu. Apalagi sih maunya? Dia tertarik padaku kali ya?

“Ini buat kamu, Sonia Swan hehehe… aneh rasanya panggil kamu kaya gitu. Swan saja ya? Cocok banget dengan namaku Cullen gitu.”
“Apaan ini?”
“Bunga putri malu lah masa putra malu-maluin. Ini bunga keajaiban tahu.”
“Jiah… buat apa lagi coba, Mr. Cullen. Kita itu di sini buat latihan nulis bukan bereksperimen biologi. Lagi pula aku tidak tertarik dengan bunga seperti itu. Biasanya tuh ya kalau cowok mau nembak cewek pakainya mawar bukan bunga putri malu.”
“Lagian siapa yang mau nembak kamu sih, Little Swan. Aku hanya pengen tunjukin kamu keajaiban saja kok. Coba sentuh daunnya kan bisa layu nanti.”
“Semua juga tahu deh, Mr. Cullen. Ada kepentingan lainnya. Aku mau persiapan seminar dari Pak Anang. Sayang jika terlambat.”
“Bunganya?”
“Taruh saja.”

HARI KEEMPAT

Datang lagi deh makhluk itu tanpa kenal menyerah. Kali ini dia mau bawa apa lagi coba?

“Mau apa lagi?” tanyaku mendahului niatnya.
“Hanya pengen ajak kamu jalan keliling perkemahan. Ada yang ingin kutunjukkan padamu.”
“Oh so sweet. Tapi sayang, Mr. Cullen. Aku sudah ada janji dengan Jake tuh. Bye.. bye..”

Sebenarnya cowok itu menarik juga. Wajahnya juga tidak jelek-jelek amat. Tapi sikapnya itu loh yang bikin aku tambah ilfil.

HARI KELIMA

Dia tidak datang lagi. Kok aku jadi kangen ya? Ingat Sonia, hilangkan pikiran konyol itu. Dia hanya cowok gila yang tidak pernah menggunakan logikanya. Aku mencoba jalan-jalan ke tenda cowok dan mencari tahu keadaan dia. Jangan-jangan dia sakit, atau mungkin digigit ular kali ya? Ih kenapa aku jadi kawatirin dia sih?

HARI KEENAM

Dalam sesi latihan menulis aku tidak bisa konsentrasi. Pikiranku tentang cowok konyol itu selalu hadir dan membuatku sulit tentuin ide dasar. Apa dia bener-bener patah hati dan memang sedang butu teman ya? Semalaman aku mencoba menulis ide dasar seperti yang dijelaskan tadi siang, tapi semuanya blank. Kertas-kertas itu malah menjadi tumpukan origami burung kertas. Hanya satu yang masih ada di atas meja adalah origami kodok abstrak bikinannya. Jujur aku memang kangen dia. Aku kangen diganggu dia. Mungkin dia cemburu karena aku bilang mau jalan sama Jake. Padahal kan hanya bercanda.

Tidur ayo tidur

HARI KETUJUH

Aku hanya berjalan dan mencari bunga putri malu lalu menyentuh daunnya satu per satu hingga layu. Kali ini aku benar-benar berharap ada keajaiban dia datang lagi menemuiku. Menggangguku juga tidak apa-apa kok. Aku suka diganggu olehnya.

Andai saja aku punya nomor teleponnya atau alamat FBnya ya? Khayalan itu membawaku melamun dan hanya sesekali melempar batu kecil ke kolam.

“Liat wajah cantikmu jadi bergelombang kan,” kata suara itu sangat ingin kudengar dan kurasa hanya imajinasiku saja tentang dia.

Sadar Sonia, sadar. Dia sudah pergi.

“Apa?” tanya dia saat aku melihatnya dengan teliti.
“Beneran kamu?” tanyaku.
“Mr. Cullen lah siapa lagi. Kenapa emang?”
“Kemana saja sih selama ini ga kelihatan?”
“Cieee kangen ya?”
“Ih sapa yang kangen?”
“Begini, Cantik. Ada urusan yang harus kuselesaikan beberapa hari yang lalu. Bagaimana sekarang kita kemana?”

Harus kuakui jika aku memang mulai tertarik padanya. Dia itu aneh tapi manis banget. Semua yang dilakukannya tak bisa kutebak dan penuh kejutan.

HARI KEDELAPAN

Menyenangkan. Kami menghabiskan sepanjang hari dengan berdiskusi tentang tulisannya dan puisinya yang konyol. Entah mengapa aku malah menganggap puisinya itu indah.

HARI KESEMBILAN

Luar biasa. Dia memaksaku ikut Flying Fox dan membuat phobia ketinggianku sembuh. Aku semakin menyayanginya walau dia tidak pernah bialng sayang padaku. Aneh, tapi cinta tak harus terucap lewat kata kan?

HARI KESEPULUH

Aku berharap dia ada di setiap hari-hariku. Hanya harapan dan kutahu nanti di hari keduapuluh pasti kami juga akan berpisah dan kembali ke kehidupan nyata kami masing-masing. Tapi setidaknya dia pernah memberikan keajaiban itu.

HARI SELANJUTNYA

Dia menghilang lagi. Pesanku tidak dibalas. Inboxku juga. Telepon ga diangkat. Hantu kali dia ya? Aku tanya temen-temennya dan panitia juga tidak ada yang tahu. Siapa yang harus tanggung jawab jika dia hilang coba. Hingga…

HARI KETUJUHBELAS

Ini adalah hari dimana kami harus menyiapkan naskah kami selama tiga hari sebelum diedit oleh editor dan dipilih naskah terbaik. Aku belum mendapatkan kabarnya. Galau sekali rasanya. Entahlah banget dibuatnya. Aku sama sekali tidak menemukan ide yang tepat. Padahal panitia menentukan tema yang seharusnya dengan mudah kutulis.

MIRACLE

Keajaiban apaan? Dia pergi tanpa pamit lagi. Aku baru tahu saat kubuka Inboxku dia berjanji tanggal satu akan bertemu di tempat biasa dan menjelaskan semuanya. Bukankah tanggal satu itu kemarin. Tak ada lagi keajaiban.

Si Gendut mengirimiku surat darinya. Katanya kemarin dia menungguku di tepi kolam tapi aku tidak datang. Kenapada  juga tidak menemuiku langsung di tenda seperti dulu. Kesal sekali rasanya. Mana acara karantina sudah mau dimulai. Untung kami punya tambahan waktu tiga jam setelah memenangkan sepakbola waktu itu.

Dear Sonia Swan,


Terima kasih sudah membangkitkanku dari keterpurukkan. Aku selalu meyakini adanya keajaiban. Bagaimana denganmu, Angsa Kecil?

Kamu pasti ingat kipeer lawan yang pernah kucium dan menamparku waktu itu? Dia adalah mantanku. Karena dia, aku ikut perkemahan ini. Aku sama sekali tidak peduli dengan dunia sastra. Yang kupedulikan hanya dia. Kamu boleh membenciku setelah ini. Itu hakmu.

Namanya Aira. Hidupnya mungkin tak akan sepanjang usiamu dan aku takkan memberitahukan apa penyakitnya seperti janjiku. Dia memutuskanku karena menurutnya, penyakitnya itu tak mungkin disembuhkan dan memintaku mencari penggantinya. Aku sudah menjelaskan kepadanya bahwa bisa saja aku mendapatkan gadis lain yang kusuka, tapi selalu saja yang ada hanya dia.

Saat ini aku di sini hanya untuk membujuknya agar mau dirawat di rumah sakit. Sulit sekali membujuknya, Kecil. Karena itu aku harus meyakinkannya dulu bahwa aku sudah mendapatkan penggantinya. Ya. Kamu yang kumaksud. Maafkan aku ya, melibatkanmu tanpa permisi.

Saat ini aku berharap pada keajaiban akan kesembuhannya, Swan. Salahkah? Tidak bukan? Aku hanya ingin dia tidak putus asa. Hidup kan hanya sekali. Aku ingin buat sisa waktunya berarti.

Ok, Angsa Kecil.

Semoga kita berjodoh dan bertemu lagi di lain waktu ya. Jika ada yang bisa kubantu, aku siap kapan-kapan membantu. Telpon saja, seme-es, atau inbox saja ya. Oh ya… selalu ingat. Pasti ada keajaiban.


ED Cullen. (Nick)




Aku boleh nangis ga?

Sekarang boleh galau ga?

Teriak?

Robek-robek kertasnya?

Aku benci sekali denganya. Dia pikir aku apaan? Objek eskperimen keajaiban yang diyakininya? Lemas sekali tubuhku seperti tak memiliki kekuatan untuk melanjutkan tulisanku. Keajaiban apaan coba? Terus aku harus bilang dia so sweet gitu?

Ini bukanlah akhir dari kemah yang kuinginkan. Untunglah karantina ini membuatku tak terlihat menyedihkan di mata umum. Jika pun ada yang melihatku  menangis, mungkin mereka aku sedang meresapi tulisanku. Bukan. Aku sedang meresapi kebodohanku mudah percaya begitu saja pada cowok bodoh sepertinya.

Sudahlah.

Setidaknya aku mendapatkan ide menarik dengan menulis cerita konyolku ini untuk kujadikan bahan tulisanku. Entah mengapa jika kubaca lagi tulisanku ini, aku ingin sekali merobek-robeknya. Aku ingin sekali melempar pot bunga berisi bunga putri malu itu ke wajahnya.

Hikmahnya karyaku masuk tiga besar dan ikut diterbitkan. Mungkin ini akan menjadikan papa berubah pikiran dan memberiku dukungan atas bakatku.

Satu lagi.

Jika aku bertemu dia lagi, aku akan berikan dia ini…..



ED eh… END

Tidak ada komentar:

Posting Komentar