BAB 11
Pengen bacok-bacok ni anak. Pokoknya emosi sampai
langit ketujuh. Jika sekarang aku beneran bawa golok, siap bacok-bacok dah.
Bahkan selama perjalanan ke ruang BK pun, dia masih bisa bersikap tanpa dosa
lagi.
Sikapnya yang tenang saat menghadapi Kepala Sekolah
dan juga guru BK mengisyaratkan jika di sekolah ini, dia memang above the law.
Semakin gregetan rasanya.
“Kamu lagi ya,” kata Bu Nurul ketika yang masuk aku
dan Webe. “Buat masalah apa lagi dia, Pak?”
“Pokoknya saya tidak mau tahu lagi. Sekarang saya
ingin dia diberi hukuman,” kata Kepala Sekolah sepertinya sudah mulai habis
kesabarannya.
“Tapi, Pak?” Bu Nurul sempat bingung untuk memutuskannya.
Aku tahu posisi Bu Nurul cukup sulit. Jika dia
memberikan hukuman seperti point kedisiplinan, bisa-bisa dia akan kehilangan
pekerjaannya. Tapi jika tidak, ini adalah perintah Kepala Sekolah.
“Tidak ada tapi-tapian lagi.”
Bu Nurul mengajak Pak Kepala Sekolah untuk
mendiskusikan keputusan yang akan diambil nanti di dalam. Apa sulitnya sih
ambil keputusan kasih hukuman gitu saja? Pas jatuhin hukuman ke Timur dan Nick
mudah banget.
“Ngapain liat-liat gitu?” kataku sewot.
“Kamu beneran serius sama Timur?”
“Bukan urusanmu.”
“Sonia, aku cuma kasihan saja jika kamu beneran mau
jalan sama Timur. Dah tahu sendirikan, jadi tidak perlu kujelaskan lagi.”
“Ga usah campuri urusanku. Kamu sendiri ngapain pakai
upload-upload foto orang?”
“Ya, aku tidak nyangka saja jika masalahnya akan
menjadi seperti ini.”
“Mana tanggung jawabmu?”
“Begini saja. Bagaimana jika kita buat kesepakatan?”
“Kamu positif gila, ya. Masih berani juga buat
kesepakatan. Sudah tahu kamu yang salah.”
“Terserah kamu saja. Aku hanya menawarkan bantuan,
tapi jika kamu tidak mau ya sudah. Bersiap saja tidak lagi melihat kekasih
mahomu itu di sekolah ini.”
“Berani ngancam aku ya?”
Siapa saja yang punya meriam, aku pengen pinjam dan
letusin ke mulut besarnya itu. Habis sudah kesabaranku. Jari-jariku sudah
pengen nampar dia sekali lagi. Sabar, Sonia. Sabar. Jangan terbawa emosi dan
akan merusak segalanya.
“Katakan?”
“Begitu kan lebih baik. Setelah keluar dari kantor
ini, aku ingin kamu ubah status hubanganmu jadi berpacaran denganku.”
“What? No way.”
“Ok.”
“Terus Imel mau kamu kemanain?”
“Bosan aku dengan cewe kecentilan kaya dia. Gimana?
Deal?”
“Ga mau. Apa kamu ga mikir jika Imel bakalan ngelabrak
aku? Aku ga mau lagi cari masalah.”
“Imel nanti aku yang urus. Mudah kan?”
Jika Kepala Sekolah sama BK saja berpikir dua kali
untuk jatuhin hukuman, sepertinya memang harus berpikir tiga kali untukku.
Bagaimana dengan Nick? Bagaimana jika dia salah paham?
“Aku tidak mau,” jawabku tegas.
“Terserah deh.”
Kenapa juga berundingnya sampai lama gini? Mana
sekarang harus berdua dengan monyet ini lagi. Kaya mau nentuin naik atau ganya
BBM saja. Emangnya jika Webe kena hukuman, ngaruh ya sama hajat hidup orang
banyak.
Sejam deh.
“Baiklah. Kami telah mengambil keputusan untuk memberi
point tambahan padamu, Webe,” kata Bu Nurul sangat sulit diterima nalar.
Apa?
Hanya point?
Ini sangat memuakkan. Dimana coba sisi prifesionalitas
gurunya? Bagaimana bisa sih, guru yang harusnya dijadikan panutan malah
memberikan contoh ketidakadilan? Aku tidak terima.
“Tapi, Bu?” kataku kesel.
“Kamu tidak perlu ikut berdebat, Sonia. Apa perlu saya
memberikan point kepadamu juga?”
“Terserah ibu mau beri saya point berapa saja,
pokoknya aku tidak setuju dengan keputusan ibu. Dimana sih nurani ibu sebagai
guru. Sudah jelas tersangkanya bersalah, eh malah korbannya yang kena hukuman.
Lebih baik, ibu mengundurkan diri saja jadi guru deh.”
“Berani sekali kamu bicara seperti itu. Orang tuamu
tidak pernah mengajarimu sopan santun ya?”
“Yang pasti orang tua saya lebih beretika dari anda.”
Aku semakin kesel saja. Tidak biasanya aku bersikap
meledak-ledak seperti ini, tapi kali ini mereka semua sudah keterlaluan.
“Aku yang salah, Pak. Sonia tidak ada kaitannya dengan
hal ini. Dia hanya melindungi pacarnya dari fitnah yang kubuat. Foto itu, aku
yang edit. Jadi kuharap bapak batalkan hukuman untuk Timur dan Nick. Itu hanya
untuk having fun saja kok,” kata Webe membuatku tidak percaya mendengarnya.
Tadi dia bersikeras minta kesepakatan denganku, eh sekarang malah ngaku salah
sendiri.
Anak ini beneran stress kali ya.
“Tapi, Pak. Sonia juga perlu dapat hukuman,” kata Bu
Nurul masih terlihat dendam terhadapku.
“Tidak. Sonia benar. Sonia hanya mengatakan yang
seharusnya dikatakan. Mulai besok kamu tidak usah berangkat ke sekolah ini
lagi, Webe. Aku akan menandatangani surat skormu satu semester dan itu artinya
kamu tidak naik kelas.”
Gila.
Aku tidak menyangka jika Kepala Sekolah akan
menjatuhkan hukuman seberat itu. Awalnya aku mengira, paling hanya skor satu
minggu. Satu semester? Sepertinya belum sempat skor itu berlangsung, Kepala
Sekolah sudah out dari sekolah ini.
“Pak, anda serius?” tanya Bu Nurul.
“Jangan membantah lagi.”
“Terima kasih, Pak,” jawab Webe dengan senyum tenang
semakin membuatku bertanya-tanya apa sih yang dipikirkannya?
Aku keluar ruang BK dengan tanda tanya besar di
benakku. Yang kudengar tadi beneran ga sih. Tapi kok bisa ya? Biasanya cowok
yang namanya Webe itu paling egois dan tidak pernah mengaku salah, la ini?
Mia langsung menyerangku dengan seratus pertanyaan
yang harusnya diketik rapi dulu spasi 1.5 Time New Roman ukuran 12. Mana bisa
aku menjawab semua pertanyaan yang tak bisa cerna apa yang ditanyakannya. Kaya
wartawan saja, sampai aku bingung mau jawab apa.
“Terus lu diapain sama Si Webe?” tanya Mia masih tidak
percaya dengan yang kujelaskan.
“Diapain gimana?”
“Ya kaya ga tahu saja siapa dia. Tidak mungkinlah dia
mau nerima hukuman begitu saja tanpa ada apa-apanya.”
“Tidak. Kan tadi sudah kujelaskan semua.”
“Masa sih?”
“Udah ah. Kamu tahu rumah Timur?”
“Dia kan kost.”
“Nanti tunjukin tempat kostnya ya, aku pengen ngomong
dengan dia masalah ini.”
“Nanti gua ada acara dengan Serly. Gini saja deh. Gue
catetin alamatnya dan lu cari sendiri ya.”
“Eh, aku jadiin kamu admin Dukun Online ya. Lagi
pusing nih ga bisa jawab pasien.”
“La Lu itu juga kurang kerjaan sih. Ngapain juga jadi
dukun ga jelas kaya gitu.”
“Tapi sayangkan jika ga dikelola.”
“Terserah lu lah. Tapi ga janji bisa jawab encer kaya
lu loh.”
“Terserah kamu saja jawabnya. Biasanya juga jawabnya
asal.”
Amat ini bukannya deket sama rumahku? Pantes saja
dianya cepet banget jika nymperin aku. Apa mungkin Timur, eh salah Aira. Jiah..
jadi bingung mau panggil apa, itu memang sengaja kost dekat rumahku ya?
Rumah ini kayanya. Awalnya aku mengira, Timur akan
menyewa kastil tua tempat tinggal hantu-hantu galau. Ternyata malah dekat
hypermarket gini. Untunglah Timur ada di rumah sedang mainan laptop di teras.
Apa bener ya, kalau Timur itu anak orang kaya?
“Sonia? Darimana kamu tahu jika aku tinggal di sini?”
tanya Timur menaruh laptopnya dan beranjak menghampiriku.
“Mia.”
“Sudah kuduga. Masuklah, aku sedang nulis cerita nih.
Masih ingatkan saat di Kemsas waktu itu kita pernah mengerjakan tugas buat
sebuah cerita dalam waktu tiga hari tiga malam?”
“Ya.”
“Aku belum selesai nulis malah Nick mengajakku ke
rumah sakit. Eh kenapa kamu liatin aku begitu sih?”
“Timur, eh Aira,… aku bingung sendiri harus panggil
kamu apa. Aneh banget rasanya bicara sama cowok tapi tahu jika kamu bukan
cowok. Tahu kan maksudku?”
“Membiasakan diri, Sonia. Manusia harus bisa
beradaptasi. Aku juga lama membiasakan diri menjadi cowok. Yang pertama
membuatku takut adalah saat buang air kecil. Tahu sendiri kita biasanya gimana.
Banyak hal yang membuatku bisa menghargai laki-laki yang dulu menurutku hanya
mau enaknya saja. Seperti itulah jika kita mau menjadi atau setidaknya berpikir
seperti jalan pikiran mereka.”
“Terus aku harus panggil kamu apa?”
“Timur saja. Aku tidak mau semua menjadi membingungkan
jika kamu menganggapku Aira.”
“Bisa ceritakan saat pertama kali Nick percaya jika
kamu Aira?”
Aira hanya diam.
Dia seperti mencoba memutar kembali memory yang
sebenarnya ingin dihapus semua dalam ingatannya. Pada dasarnya aku merasa iba
dengan nasibnya mendapatkan kesempatan hidup kedua, tapi lebih mengerikan dari
kematian itu sendiri. Aku bisa membayangkan betapa sulitnya dia membiasakan
diri menjadi cowok dengan tidak bersikap centil lagi seperti cewek.
“Kamu pasti ingat buku David yang pernah kubacakan di
rumah sakit saat kamu dirawat di sana itu kan?”
“Iya. Buku yang menurutku penuh chaos malah. Tapi
ceritanya boleh juga. Ada apa dengan buku itu?”
“Sejak tahu jika aku kena kanker, Nick selalu berusaha
membuatku tegar, tetap semangat dan tidak menyerah. Sudah berulang kali aku
memutuskannya. Sampai-sampai kukenalkan dengan sahabatku sendiri yang kutahu
dia juga menyukai Nick, tapi dia balik lagi. Dia juga yang selalu bilang akan
keajaiban. Pasti ada keajaiban katanya. Aku bertemu dengan penulis aneh dan
memberiku buku itu. Dia minta aku membelinya seharga 300rb. Mahal banget kan.
Tapi bagiku yang hidup tinggal hitungan bulan, uang tak lagi penting.”
Timur diam sejenak mematikan laptopnya dan mengecas di
pojok teras. Setelah itu, dia mengambilkanku beberapa minuman gelas dan keripik
tales. Sepertinya dia sudah siap menceritakan semuanya, tinggal aku saja yang
harus siap menjadi pendengarnya.
“Saat kulihatkan buku itu pada Nick, dia yang begitu
yakin akan keajaiban, langsung mencari penulis buku itu.”
“Edward William White?”
“Ya. Sampai sekarang ga ketemu.”
“Aku tahu dia itu temennya Mia.”
“Kamu masih naif, Sonia. Kamu percaya jika dunia maya
itu tak beruang?”
“Maksudmu?”
“Bagaimana jika kita itu sebenarnya malah sedang hidup
di dunia maya? Coba tanya apa Mia pernah bertemu langsung dengan Edward atau
hanya temenan saja lewat FB? Seperti halnya jika aku bilang aku Aira, bukankah
itu gila? Tapi seperti itulah kenyataannya. Nick terus membaca buku itu dan
memintaku percaya jika keajaiban itu ada. Karena malas, ya sudah aku ikut
Kemsas saja.”
Kok dianya malah jelasin sebelum dia jadi hantu sih.
Nicknya mana?
“Kapan Nick percaya jika kamu itu bukan Timur, Aira?
Aduh sudah sore nih.”
“Kamu bawa buku itu?”
“Tidak.”
“Nanti coba buka halaman 213. Di sana ada bab yang
mengisahkan saat David dipaksa untuk menerima takdir bahwa pacarnya adalah
Sonia. Tidak mungkin Timur tahu jika Nick saat di Kemsas berusaha nembak Sonia
kecuali aku. Dan tidak mungkin pula dia mengingat cerita dalam buku David itu
selain aku. Karena buku itu ga dijual di toko buku manapun.”
Aku kembali dipaksa mengingat saat pertama kali
bertemu dengan Timur di toko buku itu saat seseorang menyentuh pundakku dan
tiba-tiba saja menawarkan sebuah buku aneh kepadaku.
“Apaan ini?”
“Jika cari buku beda, coba
yang ini.”
“David? Karangan siapa?”
“Tuh ada pengarangnya.”
“Edward William White? Ga
kenal.”
“Masa?”
“Eh, kamu siapa sih, sok
akrab gitu. Aku pengen sendiri jangan ganggu aku.”
“Kenalin namaku Timur, aku
temannya Nick. Sebenarnya sih aku hanya ingin minta tolong padamu.”
“Oh, jadi kamu temennya
cowok ga tahu diri itu ya. Patesan ga jauh beda. Ok. Bilang sama temenmu, aku
ga tertarik.”
“Sonia, Nick sekarang sudah
berbeda, jadi kumohon beri dia kesempatan.”
“Jadi dia ngutus kamu gitu?
Kenapa ga dianya saja yang datang nemuin aku? Jiah… bikin ilfil saja.”
“Sonia,…”
Jadi mungkin ini kali, alasan dia maksa banget aku
membaca buku itu. Dia bermaksud menjelaskan semua ini lebih awal tapi tidak
tahu caranya. Besar sekali rasa cintanya pada Nick. Sampai maut saja tak
menghapusnya, bahkan dia rela mengorbankan kebahagiaannya demi kebahagiaan
kekasihnya. Tapi masa juga aku harus paksa Nick, jika dianya memang ga ada rasa
sama aku dan selalu hanya ada Aira di hatinya.
“Sonia, lama aku berusaha keluar dari rumah. Mamanya
Timur selalu memaksaku untuk berhati-hati. Ini itu, sampai aku tahu jika Sinta
dan Timur itu sudah lama pacaran diam-diam karena usia Sinta yang lebih tua
darinya. Tahu apa yang kurasakan saat Sinta menempelkan tubuhnya manja di
tubuhku. Risih. Aku merasa aneh karena sesuatu yang tak bisa diterima oleh
nuraniku. Tubuhku memang cowok dan semua orang melihatku begitu, tapi jiwaku
tetap Aira dan aku tak bisa mengingkarinya. Karena itu perlahan aku mulai
menjauhi Sinta dan menghabiskan waktuku untuk mengikuti Nick. Kemana lagi jika
tidak meratapi nisanku. Tersayat-sayat hati ini mendengar semua keluhannya. Aku
tidak bisa membiarkan dia terus terpuruk seperti itu hingga…”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar