Rabu, 29 Agustus 2012

SONIA SWAN BAB 11: TRUTH


BAB 11


Pengen bacok-bacok ni anak. Pokoknya emosi sampai langit ketujuh. Jika sekarang aku beneran bawa golok, siap bacok-bacok dah. Bahkan selama perjalanan ke ruang BK pun, dia masih bisa bersikap tanpa dosa lagi.

Sikapnya yang tenang saat menghadapi Kepala Sekolah dan juga guru BK mengisyaratkan jika di sekolah ini, dia memang above the law. Semakin gregetan rasanya.

“Kamu lagi ya,” kata Bu Nurul ketika yang masuk aku dan Webe. “Buat masalah apa lagi dia, Pak?”
“Pokoknya saya tidak mau tahu lagi. Sekarang saya ingin dia diberi hukuman,” kata Kepala Sekolah sepertinya sudah mulai habis kesabarannya.
“Tapi, Pak?” Bu Nurul sempat bingung untuk memutuskannya.

Aku tahu posisi Bu Nurul cukup sulit. Jika dia memberikan hukuman seperti point kedisiplinan, bisa-bisa dia akan kehilangan pekerjaannya. Tapi jika tidak, ini adalah perintah Kepala Sekolah.

“Tidak ada tapi-tapian lagi.”

Bu Nurul mengajak Pak Kepala Sekolah untuk mendiskusikan keputusan yang akan diambil nanti di dalam. Apa sulitnya sih ambil keputusan kasih hukuman gitu saja? Pas jatuhin hukuman ke Timur dan Nick mudah banget.

“Ngapain liat-liat gitu?” kataku sewot.
“Kamu beneran serius sama Timur?”
“Bukan urusanmu.”
“Sonia, aku cuma kasihan saja jika kamu beneran mau jalan sama Timur. Dah tahu sendirikan, jadi tidak perlu kujelaskan lagi.”
“Ga usah campuri urusanku. Kamu sendiri ngapain pakai upload-upload foto orang?”
“Ya, aku tidak nyangka saja jika masalahnya akan menjadi seperti ini.”
“Mana tanggung jawabmu?”
“Begini saja. Bagaimana jika kita buat kesepakatan?”
“Kamu positif gila, ya. Masih berani juga buat kesepakatan. Sudah tahu kamu yang salah.”
“Terserah kamu saja. Aku hanya menawarkan bantuan, tapi jika kamu tidak mau ya sudah. Bersiap saja tidak lagi melihat kekasih mahomu itu di sekolah ini.”
“Berani ngancam aku ya?”

Siapa saja yang punya meriam, aku pengen pinjam dan letusin ke mulut besarnya itu. Habis sudah kesabaranku. Jari-jariku sudah pengen nampar dia sekali lagi. Sabar, Sonia. Sabar. Jangan terbawa emosi dan akan merusak segalanya.

“Katakan?”
“Begitu kan lebih baik. Setelah keluar dari kantor ini, aku ingin kamu ubah status hubanganmu jadi berpacaran denganku.”
“What? No way.”
“Ok.”
“Terus Imel mau kamu kemanain?”
“Bosan aku dengan cewe kecentilan kaya dia. Gimana? Deal?”
“Ga mau. Apa kamu ga mikir jika Imel bakalan ngelabrak aku? Aku ga mau lagi cari masalah.”
“Imel nanti aku yang urus. Mudah kan?”

Jika Kepala Sekolah sama BK saja berpikir dua kali untuk jatuhin hukuman, sepertinya memang harus berpikir tiga kali untukku. Bagaimana dengan Nick? Bagaimana jika dia salah paham?

“Aku tidak mau,” jawabku tegas.
“Terserah deh.”

Kenapa juga berundingnya sampai lama gini? Mana sekarang harus berdua dengan monyet ini lagi. Kaya mau nentuin naik atau ganya BBM saja. Emangnya jika Webe kena hukuman, ngaruh ya sama hajat hidup orang banyak.

Sejam deh.

“Baiklah. Kami telah mengambil keputusan untuk memberi point tambahan padamu, Webe,” kata Bu Nurul sangat sulit diterima nalar.

Apa?

Hanya point?

Ini sangat memuakkan. Dimana coba sisi prifesionalitas gurunya? Bagaimana bisa sih, guru yang harusnya dijadikan panutan malah memberikan contoh ketidakadilan? Aku tidak terima.

“Tapi, Bu?” kataku kesel.
“Kamu tidak perlu ikut berdebat, Sonia. Apa perlu saya memberikan point kepadamu juga?”
“Terserah ibu mau beri saya point berapa saja, pokoknya aku tidak setuju dengan keputusan ibu. Dimana sih nurani ibu sebagai guru. Sudah jelas tersangkanya bersalah, eh malah korbannya yang kena hukuman. Lebih baik, ibu mengundurkan diri saja jadi guru deh.”
“Berani sekali kamu bicara seperti itu. Orang tuamu tidak pernah mengajarimu sopan santun ya?”
“Yang pasti orang tua saya lebih beretika dari anda.”

Aku semakin kesel saja. Tidak biasanya aku bersikap meledak-ledak seperti ini, tapi kali ini mereka semua sudah keterlaluan.

“Aku yang salah, Pak. Sonia tidak ada kaitannya dengan hal ini. Dia hanya melindungi pacarnya dari fitnah yang kubuat. Foto itu, aku yang edit. Jadi kuharap bapak batalkan hukuman untuk Timur dan Nick. Itu hanya untuk having fun saja kok,” kata Webe membuatku tidak percaya mendengarnya. Tadi dia bersikeras minta kesepakatan denganku, eh sekarang malah ngaku salah sendiri.

Anak ini beneran stress kali ya.

“Tapi, Pak. Sonia juga perlu dapat hukuman,” kata Bu Nurul masih terlihat dendam terhadapku.
“Tidak. Sonia benar. Sonia hanya mengatakan yang seharusnya dikatakan. Mulai besok kamu tidak usah berangkat ke sekolah ini lagi, Webe. Aku akan menandatangani surat skormu satu semester dan itu artinya kamu tidak naik kelas.”

Gila.

Aku tidak menyangka jika Kepala Sekolah akan menjatuhkan hukuman seberat itu. Awalnya aku mengira, paling hanya skor satu minggu. Satu semester? Sepertinya belum sempat skor itu berlangsung, Kepala Sekolah sudah out dari sekolah ini.

“Pak, anda serius?” tanya Bu Nurul.
“Jangan membantah lagi.”
“Terima kasih, Pak,” jawab Webe dengan senyum tenang semakin membuatku bertanya-tanya apa sih yang dipikirkannya?

Aku keluar ruang BK dengan tanda tanya besar di benakku. Yang kudengar tadi beneran ga sih. Tapi kok bisa ya? Biasanya cowok yang namanya Webe itu paling egois dan tidak pernah mengaku salah, la ini?

Mia langsung menyerangku dengan seratus pertanyaan yang harusnya diketik rapi dulu spasi 1.5 Time New Roman ukuran 12. Mana bisa aku menjawab semua pertanyaan yang tak bisa cerna apa yang ditanyakannya. Kaya wartawan saja, sampai aku bingung mau jawab apa.

“Terus lu diapain sama Si Webe?” tanya Mia masih tidak percaya dengan yang kujelaskan.
“Diapain gimana?”
“Ya kaya ga tahu saja siapa dia. Tidak mungkinlah dia mau nerima hukuman begitu saja tanpa ada apa-apanya.”
“Tidak. Kan tadi sudah kujelaskan semua.”
“Masa sih?”
“Udah ah. Kamu tahu rumah Timur?”
“Dia kan kost.”
“Nanti tunjukin tempat kostnya ya, aku pengen ngomong dengan dia masalah ini.”
“Nanti gua ada acara dengan Serly. Gini saja deh. Gue catetin alamatnya dan lu cari sendiri ya.”
“Eh, aku jadiin kamu admin Dukun Online ya. Lagi pusing nih ga bisa jawab pasien.”
“La Lu itu juga kurang kerjaan sih. Ngapain juga jadi dukun ga jelas kaya gitu.”
“Tapi sayangkan jika ga dikelola.”
“Terserah lu lah. Tapi ga janji bisa jawab encer kaya lu loh.”
“Terserah kamu saja jawabnya. Biasanya juga jawabnya asal.”

Amat ini bukannya deket sama rumahku? Pantes saja dianya cepet banget jika nymperin aku. Apa mungkin Timur, eh salah Aira. Jiah.. jadi bingung mau panggil apa, itu memang sengaja kost dekat rumahku ya?

Rumah ini kayanya. Awalnya aku mengira, Timur akan menyewa kastil tua tempat tinggal hantu-hantu galau. Ternyata malah dekat hypermarket gini. Untunglah Timur ada di rumah sedang mainan laptop di teras. Apa bener ya, kalau Timur itu anak orang kaya?

“Sonia? Darimana kamu tahu jika aku tinggal di sini?” tanya Timur menaruh laptopnya dan beranjak menghampiriku.
“Mia.”
“Sudah kuduga. Masuklah, aku sedang nulis cerita nih. Masih ingatkan saat di Kemsas waktu itu kita pernah mengerjakan tugas buat sebuah cerita dalam waktu tiga hari tiga malam?”
“Ya.”
“Aku belum selesai nulis malah Nick mengajakku ke rumah sakit. Eh kenapa kamu liatin aku begitu sih?”
“Timur, eh Aira,… aku bingung sendiri harus panggil kamu apa. Aneh banget rasanya bicara sama cowok tapi tahu jika kamu bukan cowok. Tahu kan maksudku?”
“Membiasakan diri, Sonia. Manusia harus bisa beradaptasi. Aku juga lama membiasakan diri menjadi cowok. Yang pertama membuatku takut adalah saat buang air kecil. Tahu sendiri kita biasanya gimana. Banyak hal yang membuatku bisa menghargai laki-laki yang dulu menurutku hanya mau enaknya saja. Seperti itulah jika kita mau menjadi atau setidaknya berpikir seperti jalan pikiran mereka.”
“Terus aku harus panggil kamu apa?”
“Timur saja. Aku tidak mau semua menjadi membingungkan jika kamu menganggapku Aira.”
“Bisa ceritakan saat pertama kali Nick percaya jika kamu Aira?”

Aira hanya diam.

Dia seperti mencoba memutar kembali memory yang sebenarnya ingin dihapus semua dalam ingatannya. Pada dasarnya aku merasa iba dengan nasibnya mendapatkan kesempatan hidup kedua, tapi lebih mengerikan dari kematian itu sendiri. Aku bisa membayangkan betapa sulitnya dia membiasakan diri menjadi cowok dengan tidak bersikap centil lagi seperti cewek.

“Kamu pasti ingat buku David yang pernah kubacakan di rumah sakit saat kamu dirawat di sana itu kan?”
“Iya. Buku yang menurutku penuh chaos malah. Tapi ceritanya boleh juga. Ada apa dengan buku itu?”
“Sejak tahu jika aku kena kanker, Nick selalu berusaha membuatku tegar, tetap semangat dan tidak menyerah. Sudah berulang kali aku memutuskannya. Sampai-sampai kukenalkan dengan sahabatku sendiri yang kutahu dia juga menyukai Nick, tapi dia balik lagi. Dia juga yang selalu bilang akan keajaiban. Pasti ada keajaiban katanya. Aku bertemu dengan penulis aneh dan memberiku buku itu. Dia minta aku membelinya seharga 300rb. Mahal banget kan. Tapi bagiku yang hidup tinggal hitungan bulan, uang tak lagi penting.”

Timur diam sejenak mematikan laptopnya dan mengecas di pojok teras. Setelah itu, dia mengambilkanku beberapa minuman gelas dan keripik tales. Sepertinya dia sudah siap menceritakan semuanya, tinggal aku saja yang harus siap menjadi pendengarnya.

“Saat kulihatkan buku itu pada Nick, dia yang begitu yakin akan keajaiban, langsung mencari penulis buku itu.”
“Edward William White?”
“Ya. Sampai sekarang ga ketemu.”
“Aku tahu dia itu temennya Mia.”
“Kamu masih naif, Sonia. Kamu percaya jika dunia maya itu tak beruang?”
“Maksudmu?”
“Bagaimana jika kita itu sebenarnya malah sedang hidup di dunia maya? Coba tanya apa Mia pernah bertemu langsung dengan Edward atau hanya temenan saja lewat FB? Seperti halnya jika aku bilang aku Aira, bukankah itu gila? Tapi seperti itulah kenyataannya. Nick terus membaca buku itu dan memintaku percaya jika keajaiban itu ada. Karena malas, ya sudah aku ikut Kemsas saja.”
Kok dianya malah jelasin sebelum dia jadi hantu sih. Nicknya mana?
“Kapan Nick percaya jika kamu itu bukan Timur, Aira? Aduh sudah sore nih.”
“Kamu bawa buku itu?”
“Tidak.”
“Nanti coba buka halaman 213. Di sana ada bab yang mengisahkan saat David dipaksa untuk menerima takdir bahwa pacarnya adalah Sonia. Tidak mungkin Timur tahu jika Nick saat di Kemsas berusaha nembak Sonia kecuali aku. Dan tidak mungkin pula dia mengingat cerita dalam buku David itu selain aku. Karena buku itu ga dijual di toko buku manapun.”

Aku kembali dipaksa mengingat saat pertama kali bertemu dengan Timur di toko buku itu saat seseorang menyentuh pundakku dan tiba-tiba saja menawarkan sebuah buku aneh kepadaku.

“Apaan ini?”
“Jika cari buku beda, coba yang ini.”
“David? Karangan siapa?”
“Tuh ada pengarangnya.”
“Edward William White? Ga kenal.”
“Masa?”
“Eh, kamu siapa sih, sok akrab gitu. Aku pengen sendiri jangan ganggu aku.”
“Kenalin namaku Timur, aku temannya Nick. Sebenarnya sih aku hanya ingin minta tolong padamu.”
“Oh, jadi kamu temennya cowok ga tahu diri itu ya. Patesan ga jauh beda. Ok. Bilang sama temenmu, aku ga tertarik.”
“Sonia, Nick sekarang sudah berbeda, jadi kumohon beri dia kesempatan.”
“Jadi dia ngutus kamu gitu? Kenapa ga dianya saja yang datang nemuin aku? Jiah… bikin ilfil saja.”
“Sonia,…”

Jadi mungkin ini kali, alasan dia maksa banget aku membaca buku itu. Dia bermaksud menjelaskan semua ini lebih awal tapi tidak tahu caranya. Besar sekali rasa cintanya pada Nick. Sampai maut saja tak menghapusnya, bahkan dia rela mengorbankan kebahagiaannya demi kebahagiaan kekasihnya. Tapi masa juga aku harus paksa Nick, jika dianya memang ga ada rasa sama aku dan selalu hanya ada Aira di hatinya.

“Sonia, lama aku berusaha keluar dari rumah. Mamanya Timur selalu memaksaku untuk berhati-hati. Ini itu, sampai aku tahu jika Sinta dan Timur itu sudah lama pacaran diam-diam karena usia Sinta yang lebih tua darinya. Tahu apa yang kurasakan saat Sinta menempelkan tubuhnya manja di tubuhku. Risih. Aku merasa aneh karena sesuatu yang tak bisa diterima oleh nuraniku. Tubuhku memang cowok dan semua orang melihatku begitu, tapi jiwaku tetap Aira dan aku tak bisa mengingkarinya. Karena itu perlahan aku mulai menjauhi Sinta dan menghabiskan waktuku untuk mengikuti Nick. Kemana lagi jika tidak meratapi nisanku. Tersayat-sayat hati ini mendengar semua keluhannya. Aku tidak bisa membiarkan dia terus terpuruk seperti itu hingga…”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar