BAB 7
Apakah benar ada sebuah agenda yang bisa memberikan
kita sebuah kesempatan kedua seperti dalam buku ini? Mungkin ini yang
dimaksudkan Nick tentang keajaiban itu. Keajaiban agar kekasihnya bisa bertahan
hidup. Aku masih belum begitu mengerti hubungan Timur dengan Nick itu
bagaimana. Kenapa Timur maksa banget agar aku memberi kesempatan Nick agar
tetap dekat denganku. Beberapa hari bersama Timur, sepertinya dia tahu persis
yang kurasakan. Bahkan perasaan sensitive seorang cewek pun dia mengerti. Jadi
risih sendiri rasanya.
Jika orang lain mungkin beranggapan aku jadian
dengannya. Hampir setiap hari dia datang ke rumah. Mama dan papa, juga beranggapan
sama jika aku dan Timur memang pacaran. Bagiku tidak semudah itu. Ciuman di
kening yang diberikan Nick saat itu masih terasa hangat terutama di hatiku.
Hanya saja aku terlalu malu mengakuinya.
“Kamu kenal Nick berapa lama?” tanyaku pada Timur.
“Secara teknis baru saja, tapi secara emosional sangat
dekat.”
“Maksudnya?”
“Aku bertemu dia di makam cewe yang sudah meninggal.
Aira. Saat itu dia termenung dan terus membersihkan nisannya. Dari sinilah aku
tahu jika dia sangat mencintai kekasihnya itu. Sejak saat itu, dia banyak
cerita ke aku. Tentang kamu juga.”
“Dia cerita apa saja tentang aku?”
“Katanya kamu lucu. Beneran ya kamu suka nulis?”
“Itu dulu, sekarang tidak lagi.”
“Kenapa?”
“Aku tidak ingin membahasnya,” aku diam dan
membolak-balik buku itu lagi. “Timur, aku ingin kamu jelasin semua
kesalahpahaman ini sama Mia. Kalau bisa secepatnya. Tadi malam aku buka
beberapa status teman, mereka mengira kita jadian dan itu membuat Mia
terpuruk.”
“Jangan kawatir. Tujuanku hanya satu kok.”
“Apa?”
“Aku ingin kamu memberi kesempatan pada Nick, dan bisa
menjaga Nick dengan sebaik-baiknya.”
“Kamu kok ngomongnya aneh gini sih? Coba tolong jujur
padaku, sebenernya hubunganmu dengan Nick itu apa? Saudaraan? Temenan? Atau
jangan-jangan itu?”
“Itu apaan?”
“Ya itu.”
“Ngaco ah.”
Kok aku malah merasa bisa terbuka sama dia ya? Seperti
mendapatkan sahabat dekat.
Hari pertamaku masuk sekolah, semua terasa asing. Aku
sudah tertinggal banyak di semua materi pelajaran. Duduk sendiri dengan wajah
pucat dan sesekali keringat dingin mengucur membuatku tak nyaman berada di
antara teman-teman sekelasku. Sebagian menyarankan agar aku isrirahat dulu saja
setelah melihat kondisiku.
Mia masuk sedikit terlambat. Dia hanya melihatku
sekilas lalu kembali ke bangkunya. Sakit banget rasanya saat dia mengabaikanku.
Padahal banyak hal yang ingin kuceritakan kepadanya. Bahkan jika dia mau, aku
akan berbagi admin Dukun Online dengannya.
Hari ini datang seorang guru Biologi baru yang usianya
masih muda banget hingga jika mau memanggilnya Bu, kok rasanya lucu. Namanya Bu
Sinta, cantik dan anggun sekali. Semua siswa cowok terkesan overeacting di
depannya. Mereka menanyakan banyak hal yang kurasa sebenarnya tidak perlu
ditanyakan. Ya, khas anak muda banget pokoknya.
Hal aneh yang kulihat adalah apa yang ada di pikiran
Timur. Dia sama sekali tidak tertarik untuk mencari tahu atau bertanya apapun
ada guru baru itu. Bahkan menurutku sikapnya lebih dingin dari sikap Nick. Apa
di Gay ya? Ih konyol banget isi otakku.
“Are you ok?” tanya Bu Sinta, melihatku tertunduk
tidak fokus ke papan tulis.
“I’m sorry, I feel not good today.”
“You can absent.”
“I’m fine.”
Apes banget nih. Sok-sok banget guru biologi ngajak
ngomongnya pakai Bahasa Inggris, mana aku ga bawa kamus lagi. Bu Sinta,
kesannya kok galak ya? Dia melihat Timur dengan serius. Sepertinya mereka
saling kenal.
Akhirnya aku tak tahan juga tinggal di kelas dan
memilih ijin ke UKS. Tepat diperjalanan, aku berpapasan dengan Nick. Dia
memperhatikan diriku yang menyedihkan dengan keringat dingin membasahi bajuku.
Untung saja tadi aku memakai jaket.
“Kenapa masuk jika masih belum sembuh?” sapa Nick
sambil mengulurkan sapu tangan dari sakunya.
Aku mengabaikannya.
Sebenarnya aku tidak ingin mengabaikannya. Untuk apa
juga dia mengikutiku ke UKS? Untunglah Webe memanggilnya ke lapangan sepakbola
bersiap pelajaran olahraga. Ya Tuhan, Nick ternyata ganteng banget jika pakai
baju olahraga seperti itu. pengen teriak-teriak rasanya, tapi masih lemes.
“Sonia, nanti aku nyusul,” teriak dia dari kejauhan.
Sendirian di UKS juga tidak begitu menyenangkan. Terlintas
kembali sikap Timur yang dingin dan tatapan Bu Sinta padanya yang tidak wajar
membuatku bertanya-tanya. Tapi untuk apa?
“Sonia, aku sudah catatkan semua yang belum sempat
kamu catat,” kata Mia membuyarkan lamunanku karena tiba-tiba saja dia sudah ada
di depan pintu.
“Mia?”
“Kenapa kangen?”
“Iya.”
“Maaf ya kemarin ga sempat jenguk kamu.”
“Tumben ga pakai gue lu lagi?”
“Lupakan. Bagaimana keadaanmu? Masih sering pengen
muntah?”
“Kamu pernah kena Tipus?”
“Yang aku baca sih, tipus itu semacam sariawan di
lambung. Jadi hati-hati saja dengan yang kamu makan.”
“Aku tidak ada hubungan apa-apa dengan Timur, Mia.
Kuharap kamu tidak mendengarkan gossip yang tidak benar itu.”
“Aku sudah lupakan tentang Timur. Kemarin Nick menemuiku
dan memintaku mengajarinya membuat Origami Burung Kertas. Aku tahu dia ingin
memberikannya padamu. Sudah kamu terima?”
“Ternyata kamu yang mengajarinya ya. Sudah. Dulu dia
buatnya kaya kodok.”
“Sedih gue liat lu kaya gini, Son.”
“Kangen aku dengan cara ngomongmu yang kaya gini, Mia.
Hehe…”
Akhirnya aku bisa bercanda dancurhat bareng lagi
dengannya. Aku tak ingin kehilangan sahabat seperti dia lagi hanya karena
kesalahpahaman masalah cowok. Bagiku sahabat lebih penting dari pada pacar.
Seandainya akan punya atau suatu saat putus dengan pacar pasti ceritanya hanya
pada sahabat kan.
Pulang sekolah, papa terlambat menjemput. Mana hape
tidak diangkat lagi saat ditelepon. Masa aku harus nunggu sendirian dengan
kondisi badan yang seperti ini.
Sebuah kendaraan tiba-tiba berhenti di depanku.
Awalnya kukira itu Timur atau Nick karena dari tadi aku tidak melihat mereka,
ternyata Bu Sinta. Mau apa dia?
“Kenapa masih belum pulang?” tanya Bu Sinta turun dari
motornya.
“Nunggu Papa, Bu.”
“Mau kuantar?”
“Ga usah, Bu. Ngerepotin.”
“Tidak apa-apa. Aku kawatir dengan kondisimu. Kamu
Sonia kan?”
“Iya. Maaf tadi tidak bisa ikut pelajaran perdana Bu
Sinta.”
“Ayolah. Rumahmu dimana?”
“Ga usah, Bu. Takut nanti papa malah cari aku di
sekolah.”
“Kalau begitu biar saya temani.”
Ternyata Bu Sinta baik hati juga. Tadinya kukira dia
guru yang judes dan killer dari penampilannya yang dingin. Dia memulai
pembicaraan dengan perkenalan.
“Sudah lama kenal Timur?” tanya Bu Sinta membuatku
kaget dan tidak menduga dia akan bertanya hal ini.
“Bu Sinta kenal Timur?” tanyaku balik.
Dia hanya tersenyum. “Dulu timur adalah murid
privateku sebelum kecelakaan.”
“Kecelakaan?”
“Ya, sekitar setengah tahun yang lalu. Dan setelah itu
dia tidak ingat segalanya.”
Amnesia maksudnya?
Aku semakin yakin ada hubungan khusus di antara mereka
berdua. Mungkin karena itu tadi di kelas Bu Sinta melihat Timur dengan tatapan
lain. Aku semakin penasaran dengan jati diri Timur yang mendadak saja masuk
dalam kehidupanku dan memaksaku memberi Nick kesempatan, padahal kenal aku saja
tidak.
“Bu Sinta kenal Nick?” tanyaku mencoba menghubungkan
masalah Timur dengan Nick.
“Nick siapa?”
“Nick anak IPA 5, sahabat Timur.”
“Setahuku Timur itu tertutup dan tidak mempunyai
sahabat. Coba besok kutanyakan pada mamanya tentang hal ini.”
“Bisa tolong ceritakan tentang Timur pada saya?”
“Bukankah kalian pacaran?”
“Aduh, Bu. Itu mah gossip. Udah ah, males bahas
tentang gossip itu. Aku juga tidak tahu Timur itu kenal aku dari mana, mungkin
dari Nick. Tapi kalau menurut Bu Sinta tadi Timur ga punya sahabat, impossible
dia kenal aku dan sengaja datang ke toko buku waktu itu.”
“Well, itu kamu sudah dijemput. Cerita tentang Timur
kita lanjutkan besok saja ya. Oh ya, Sonia. Jangan banyak capek, Tipus itu
mudah kambuh. Istirahat dulu yang banyak ya.”
Bener-bener perfect banget Bu Sinta itu. cantik,
anggun dan pintar. Saat papa memintaku masuk mobil dan minta maaf dengan alasan
yang so classic, malah membuatku semakin kesal saja rasanya. Bayangin deh,
sakit, nunggu lama, bĂȘte, alasannya sepele. “Lupa cas hape, sayang.”
Diem lebih enak deh.
Selama perjalanan, pertanyaan-pertanyaan tentang Timur
gentayutan seperti monyet. Sangat mengganggu setelah semua cerita Bu Sinta yang
masih ngambang itu seperti memberi pupuk urea agar pertanyaan itu tumbuh dengan
suburnya. Ralat: pupuk kandang, karena sekarang aku semakin muak dengan baunya.
Muak sekali mengapa setelah Nickolodeon datang dengan sukses menjajah kembali
hatiku dengan perasaan galau, muncul Timur dengan tanpa alasan sok kenal maksa
aku memberi kesempatan pada Nick.
Coba cari aturan rantainya.
Tidak ketemu.
Saat ini aku juga sedang malas memikirkan persamaan
diferensial yang kuyakin hanya akn menambah rasa sialku.
“Tadi papa mampir beliin obat cacing untukmu, Nia,”
kata papa membuatku pengen muntah.
Cacingan banget hidup gue.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar