BAB 15
Tidak salah jika Mia membenciku. Dia pasti mengira aku
mudah banget beralih ke lain hati. Setelah Nick, lalu datang Timur. Dan saat
mereka berdua dalam masalah karena gossip murahan, dengan mudah aku beralih ke
Webe yang notabenenya menyebar foto itu sekaligus yang menyebabkan Nick harus
kritis dirawat di rumah sakit. Aku tidak akan menyalahkannya jika dia
berpikiran seperti itu. Aku juga tidak akan larut memikirkan apa yang mereka
pikirkan tentang aku.
Pulang sekolah, target utamaku adalah mencari Webe
untuk buat perhitungan dengannya. Aku takkan lagi memaafkannya kali ini walau
tadi sudah mati-matian belain aku di depan bokapnya. Dia adalah orang yang
harusnya bertanggung jawab atas masalah yang dialami oleh Nick. Sebenarnya
dimana keadilan bisa ditegakkan. Kenapa orang besar jika semena-mena terhadap
orang kecil, hukum begitu sulit menjangkaunya.
“Sonia. Aku antar ya?” kata Webe sudah menunggu di
depan gerbang sekolah seperti dugaanku.
Tanpa banyak bicara, aku langsung menamparnya dengan
keras. Dia hanya diam, bahkan tidak membalas atau menghindar saat aku
menamparnya untuk yang kedua kalinya. Pipinya terlihat merah karena bekas
tanganku. Aku masih menahan emosi yang terus berkecamuk di dadaku. Ingin sekali
rasanya membunuhnya jika itu tidak dosa.
“Pukul lagi sampai amarahmu hilang, Son. Lakukan saja dan
jangan biarkan rasa kesalmu menggumpal di dadamu hingga menjadikan dendammu
semakin dalam padaku,” kata dia semakin maju lebih dekat padaku.
“Jangan dekati aku!”
Aku memukul-mukul dadanya yang bidang, tapi dia malah
terus mendekat. Aku meronta mendorongnya menjauh, tapi dia malah memelukku
lebih erat dan aku malah membiarkan diriku menangis sejadi-jadinya di dadanya
hingga baju seragamnya basah oleh airmataku. Aku tak mengerti mengapa aku
merasa dia bisa melindungiku.
Jiah. Hoeek hoek. Najis.
Aku pasti sedang dihipnotis olehnya dan berbuat bodoh
di pinggir jalan seperti ini. Kok bisa aku lupa dengan niatan awalku untuk
menanyakan alasan mengapa dia membuat Nick terluka hingga kritis di rumah
sakit.
“Kamu manusia atau bukan sih? Tega sekali kamu membuat
Nick hingga kritis di rumah sakit.”
“Aku minta maaf.”
“Minta maaf pada Nick, bukan padaku. Sekarang mana
tanggung jawabmu?”
“Aku akan bertanggungjawab atas semua biaya
perawatannya.”
Aku kembali menangis dan dia memberikan sapu
tangannya. Tumben sekali sikapnya berubah sangat draktis dan tidak mencerminkan
diri Webe yang terkenal badboy dan egois di sekolah. Bagaimana aku bisa
memarahinya sampai aku puas jika dia terus mengalah seperti ini. Ini lebih
tidak menyenangkan. Aku berharap dia bersikap seperti biasanya hingga aku bebas
meluapkan emosiku.
“Jelaskan padaku semuanya,” kataku meminta Webe
menjelaskan kronologinya.
“Aku tidak tahu mengapa Nick langsung menggedor-gedor
gerbang rumahku dan berteriak-teriak seperti itu. Sore itu ayah baru pulang
dari kantor dan terhalang oleh keributan yang dilakukan Nick dengan satpam.
Tahu sendiri sifat ayahku seperti apa. Belum sempat aku melerai pertikaian
mereka, tiga orang pengawal ayah terlanjur memukulinya. Aku bermaksud
mencegahnya tapi terlambat. Nick sudah terlanjur menerima banyak pukulan di
sekujur tubuhnya…
… Kulihat tubuh Nick sudah tergeletak tak sadarkan
diri. Aku balik memukuli semua pengawal ayah dan marah besar sama ayah. Benci
sekali dengannya yang seperti tak berdosa meninggalkan Nick begitu saja.
Akhirnya aku membawa Nick yang telah kritis itu ke rumah sakit sebelum ke
rumahmu. Awalnya aku ingin memberitahumu semuanya, tapi aku takut kamu lebih
membenciku. Selain itu, ayah juga sudah memecat Kepala Sekolah dan bermaksud
mengeluarkanmu. Entahlah. Maaf, Sonia. Jika aku sudah membuat kehidupanmu di
sekolah menjadi lebih sulit. Sungguh, aku tidak bermaksud membuat Nick terluka
seperti ini. Kejadian masalah foto itu sudah membuatku berpikir untuk lebih
dewasa,” Webe menceritakan semua lebih detail.
Memang dari versi Webe, aku tidak bisa sepenuhnya
menyalahkannya. Tapi bisa saja kan dia hanya mengarang versi itu agar aku tidak
marah padanya. Akhirnya aku meninggalkannya seorang diri dan mencari angkot
menuju rumah sakit. Aku tidak ingin Nick kenapa-napa. Jujur dari hatiku, aku
memang masih menyimpan semua perasaan itu untuknya walau aku tahu yang ada di
hatinya selalu hanya Aira.
Di rumah sakit, Timur duduk sedih menceritakan sesuatu
yang pernah kudengar sebelumnya. Ya, kisah dari Novel David yang pernah
diberikannya padaku. Aira sangat hafal buku itu. Dia meyakini sebuah keajaiban
pasti akan datang pada setiap manusia.
Sedih sekali melihat dua orang saling mencintai
dipisahkan oleh sesuatu yang lebih tinggi dari semua tembok yang ada. Sosok
Aira terlihat lebih dominan walau dari mata memandang, tubuh Timur terlihat
aneh meratapi tubuh Nick yang terbaring tak sadarkan diri. Aku mendekat tapi
takut mengganggu dia yang masih membacakan bagian akhir dari cerita David.
Hanya bisa berdiri sampai dia selesai bercerita pada Nick yang tertidur hingga
selesai.
Dear Mega,
Saat kita kehilangan, bukan berarti
sesuatu telah direnggut paksa dari kita. Apa yang kita punya, semua hanya
titipan dari Yang Maha memiliki segalanya. Bagaimana bisa kita masih merasa
kehilangan sesuatu yang bukan milik kita? Mungkin saja Tuhan menghendaki hal
itu untuk diamanatkan pada orang lain yang lebih tepat dan kelak akan
menggantinya dengan sesuatu yang lebih baik.
Sampai tujuh kehidupan jika Tuhan
mengijinkan, aku akan selalu ada untukmu. Tapi kali ini aku menyadari
sepenuhnya. Pintu yang kupilih saat ini, kurasa adalah pintu yang paling tepat
yang pernah kupilih daripada pintu-pintu sebelumnya. Satu-satunya hal yang
menyakitiku hanyalah airmatamu, Mega. Kumohon dengan sangat gantilah semua itu
dengan senyummu. Biarkan hujan ini berhenti dan digantikan pelangi.
Salam manis selalu dariku, Seekor
kupu-kupu yang sedang terbang menunggu kematiannya. Yang bagiku lebih tepat
sebagai pintu awal kehidupan abadiku. Biarkan kuartikan kata cinta hanyalah
namamu, “MEGA”.
DAVID
“Aira,” sapaku saat dia selesai membaca surat terakhir
David untuk Mega.
“Sonia? Sudah lama di sini?” kata Aira sambil mengusap
airmatanya.
Siapapun yang melihat semua ini pasti akan mengira
jika mereka adalah pasangan gay paling romantic yang pernah ada. Sebagian pasti
akan menggunjingkan dan memakinya, dan sebagian lagi mungkin hanya berdoa dalam
hati agar mereka bertobat. Hanya aku yang bisa merasakan perasaan Aira saat
ini. Aku bisa mengerti kesedihan yang sama yang dirasakannya, karena aku juga
menyukai pria yang sama yang dicintainya, bedanya cintaku tak berbalas tulus
dan Aira tak sanggup memilikinya utuh walau sudah mendapatkan hatinya.
Takdir itu kejam ya?
Takdir seperti tidak bermata dan tidak berhati.
Menjalankan tugasnya tak memandang dan menyimpan sedikit belas kasihan.
“Sabar, Aira. Semua pasti akan berakhir indah.”
“Sepertinya aku tidak sanggup lagi untuk menjalani
semua ini, Sonia. Terlalu berat.”
Dia memelukku erat. Terkesan aneh rasanya jika sosok
seorang cowok memeluk erat cewek untuk mencurahkan apa yang dirasakannya. Setegar
apapun cewek, pelarian terakhir adalah airmata. Dia masih berusaha tidak
menangis karena tubuhnya masih tetap seorang pria.
“Tadi aku sudah memarahi Webe dan meminta
pertanggungjawabannya,” kataku masih terbawa emosi karena ulah keluarga Webe
yang telah membuat Nick sedemikian parah.
“Webe sudah menceritakan semuanya padaku. Sepertinya
kita tidak boleh terus menyalahkannya.”
“Tapi, Aira. Apa kamu percaya begitu saja semua yang
diceritakannya.”
“Aku percaya.”
“Aku tidak. Dia harus tetap bertanggungjawab atas
semua ini.”
“Semua ini sudah takdir, Sonia. Aku sendiri berharap
jika bisa meminta sesuatu, nyawaku untuk ganti nyawanya hingga Nick bisa
bahagia bersamamu. Tapi harus cari Tuhan dimana coba? Harus dengan apa untuk
melakukan pertukaran?”
“Kok kamu ngomongnya gitu sih? Berdoalah. Berdoa agar
semua baik-baik saja.”
“Aku sudah lelah berdoa, Sonia. Keajaiban yang sedang
kunanti saat ini. Jika saja hidup kita hanya hasil tulisan orang lain seperti
kita biasa membuat novel, aku berharap penulisnya sedikit iba padaku.”
Aku mendekap Aira sekali lagi. Tanpa kusadari Bu Sinta
ternyata akan masuk menjenguk Nick dan hanya berdiri di depan pintu, sebelum
dia akhirnya memutuskan untuk beranjak pergi dan menunggu di luar. Dia pasti
salah paham dan mengira aku memang sudah resmi jadian sama Timur. Selang
beberapa saat kemudian, mama dan juganya Timur masuk ruangan, dan kami menjadi
kikuk sendiri.
“Kamu juga harus jaga dirimu, Timur. Kasihan Sonia
kan?” kata mamanya Timur masih mengira aku adalah pacarnya Timur.
“Nick tidak memiliki keluarga lain di sini, Ma. Dia
juga satu-satunya sahabatku di sekolah baruku. Oh, yah. Kenalkan ini Sonia.”
Aku menjabat tangan ayahnya Timur.
Kedua orang tua Timur memang terlihat sangat
menyayanginya. Dia adalah anak laki-laki tunggal yang mungkin akan menjadi
harapan keluarga mereka. Ingin sekali keluar ruangan dan menjelaskan semua pada
Bu Sinta, jika aku dan Timur tidak ada apa-apa. Tapi apa dia percaya, jikapun
aku bilang kami tidak pacaran, maka Timur yang juga Aira, pasti tidak akan diijinkan
untuk menjaga Nick lagi karena gossip itu terlanjur tersebar.
Timur sebenarnya tidak ingin ikut pulang bersama
keluarganya, tapi mamanya maksa dia harus pulang. Akhirnya aku yang jaga Nick
seorang diri. Sedih banget rasanya melihat orang yang disukai terbaring tak
berdaya di rumah sakit. Saat aku tanya dokter yang memeriksa keadaannya,
katanya lukanya cukup parah dan harapan selamat memang kecil. Dokter hanya
meminta aku banyak berdoa.
Pengen nanges.
Aku tidak mau dan belum siap kehilangan dia walau dia
bukan apa-apa bagiku, kecuali satu-satunya pria yang telah mendapatkan hatiku.
Titut Titut
Hapeku berbunyi dan mama menelponku karena sampai mau
maghrib belum pulang dan tidak memberi kabar. Iya, aku sampai lupa belum
telepon rumah. Terus kalau aku pulang yang jaga Nick siapa.
“Iya, Ma. Sebentar lagi aku pulang,” jawabku.
“Tunggu
saja papa jemput kamu. Kamu tuh, masih sakit malah jenguk teman sampai jam
segini,” kata mama
sedikit agak marah.
“Iya, iya.”
Terus siapa yang jaga Nick? Aku keluar untuk cari
perawat agar menjaganya. Tapi di bagian kafentaria, Webe melangkah ke arahku
membawa beberapa makanan kecil. Mau apa lagi makhluk sialan itu datang ke rumah
sakit ini.
“Makanlah dulu,” kata Webe.
“Mau apa kamu kemari?”
“Sonia. Kamu tuh habis kena Tipus, jadi jangan sampai
terlambat makan. Makanlah!”
“Pergi sana. Aku mau cari perawat untuk menjaga Nick.”
“Biar aku yang menjaganya.”
“Aku tidak percaya denganmu.”
“Beri aku kesempatan untuk menebus kesalahanku, Sonia.
Please. Makanlah dulu.”
Cowok ini pantang menyerah juga. Dia selalu bisa
membuatku tidak bisa menolak apapun yang dikatakannya padahal aku begitu
membencinya. Akhirnya aku mengambil sebungkus roti untuk kumakan sambil
menunggu papa menjemput.
Ngapain dia melihatku seperti itu? Risih rasanya diliatin
saat makan. Belum pernah lihat cewek cantik makan roti kali ya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar