Rabu, 29 Agustus 2012

SONIA SWAN BAB 15: A THOUSAND YEARS


BAB 15


Tidak salah jika Mia membenciku. Dia pasti mengira aku mudah banget beralih ke lain hati. Setelah Nick, lalu datang Timur. Dan saat mereka berdua dalam masalah karena gossip murahan, dengan mudah aku beralih ke Webe yang notabenenya menyebar foto itu sekaligus yang menyebabkan Nick harus kritis dirawat di rumah sakit. Aku tidak akan menyalahkannya jika dia berpikiran seperti itu. Aku juga tidak akan larut memikirkan apa yang mereka pikirkan tentang aku.

Pulang sekolah, target utamaku adalah mencari Webe untuk buat perhitungan dengannya. Aku takkan lagi memaafkannya kali ini walau tadi sudah mati-matian belain aku di depan bokapnya. Dia adalah orang yang harusnya bertanggung jawab atas masalah yang dialami oleh Nick. Sebenarnya dimana keadilan bisa ditegakkan. Kenapa orang besar jika semena-mena terhadap orang kecil, hukum begitu sulit menjangkaunya.

“Sonia. Aku antar ya?” kata Webe sudah menunggu di depan gerbang sekolah seperti dugaanku.

Tanpa banyak bicara, aku langsung menamparnya dengan keras. Dia hanya diam, bahkan tidak membalas atau menghindar saat aku menamparnya untuk yang kedua kalinya. Pipinya terlihat merah karena bekas tanganku. Aku masih menahan emosi yang terus berkecamuk di dadaku. Ingin sekali rasanya membunuhnya jika itu tidak dosa.

“Pukul lagi sampai amarahmu hilang, Son. Lakukan saja dan jangan biarkan rasa kesalmu menggumpal di dadamu hingga menjadikan dendammu semakin dalam padaku,” kata dia semakin maju lebih dekat padaku.
“Jangan dekati aku!”

Aku memukul-mukul dadanya yang bidang, tapi dia malah terus mendekat. Aku meronta mendorongnya menjauh, tapi dia malah memelukku lebih erat dan aku malah membiarkan diriku menangis sejadi-jadinya di dadanya hingga baju seragamnya basah oleh airmataku. Aku tak mengerti mengapa aku merasa dia bisa melindungiku.

Jiah. Hoeek hoek. Najis.

Aku pasti sedang dihipnotis olehnya dan berbuat bodoh di pinggir jalan seperti ini. Kok bisa aku lupa dengan niatan awalku untuk menanyakan alasan mengapa dia membuat Nick terluka hingga kritis di rumah sakit.

“Kamu manusia atau bukan sih? Tega sekali kamu membuat Nick hingga kritis di rumah sakit.”
“Aku minta maaf.”
“Minta maaf pada Nick, bukan padaku. Sekarang mana tanggung jawabmu?”
“Aku akan bertanggungjawab atas semua biaya perawatannya.”

Aku kembali menangis dan dia memberikan sapu tangannya. Tumben sekali sikapnya berubah sangat draktis dan tidak mencerminkan diri Webe yang terkenal badboy dan egois di sekolah. Bagaimana aku bisa memarahinya sampai aku puas jika dia terus mengalah seperti ini. Ini lebih tidak menyenangkan. Aku berharap dia bersikap seperti biasanya hingga aku bebas meluapkan emosiku.

“Jelaskan padaku semuanya,” kataku meminta Webe menjelaskan kronologinya.

“Aku tidak tahu mengapa Nick langsung menggedor-gedor gerbang rumahku dan berteriak-teriak seperti itu. Sore itu ayah baru pulang dari kantor dan terhalang oleh keributan yang dilakukan Nick dengan satpam. Tahu sendiri sifat ayahku seperti apa. Belum sempat aku melerai pertikaian mereka, tiga orang pengawal ayah terlanjur memukulinya. Aku bermaksud mencegahnya tapi terlambat. Nick sudah terlanjur menerima banyak pukulan di sekujur tubuhnya…

… Kulihat tubuh Nick sudah tergeletak tak sadarkan diri. Aku balik memukuli semua pengawal ayah dan marah besar sama ayah. Benci sekali dengannya yang seperti tak berdosa meninggalkan Nick begitu saja. Akhirnya aku membawa Nick yang telah kritis itu ke rumah sakit sebelum ke rumahmu. Awalnya aku ingin memberitahumu semuanya, tapi aku takut kamu lebih membenciku. Selain itu, ayah juga sudah memecat Kepala Sekolah dan bermaksud mengeluarkanmu. Entahlah. Maaf, Sonia. Jika aku sudah membuat kehidupanmu di sekolah menjadi lebih sulit. Sungguh, aku tidak bermaksud membuat Nick terluka seperti ini. Kejadian masalah foto itu sudah membuatku berpikir untuk lebih dewasa,” Webe menceritakan semua lebih detail.

Memang dari versi Webe, aku tidak bisa sepenuhnya menyalahkannya. Tapi bisa saja kan dia hanya mengarang versi itu agar aku tidak marah padanya. Akhirnya aku meninggalkannya seorang diri dan mencari angkot menuju rumah sakit. Aku tidak ingin Nick kenapa-napa. Jujur dari hatiku, aku memang masih menyimpan semua perasaan itu untuknya walau aku tahu yang ada di hatinya selalu hanya Aira.

Di rumah sakit, Timur duduk sedih menceritakan sesuatu yang pernah kudengar sebelumnya. Ya, kisah dari Novel David yang pernah diberikannya padaku. Aira sangat hafal buku itu. Dia meyakini sebuah keajaiban pasti akan datang pada setiap manusia.

Sedih sekali melihat dua orang saling mencintai dipisahkan oleh sesuatu yang lebih tinggi dari semua tembok yang ada. Sosok Aira terlihat lebih dominan walau dari mata memandang, tubuh Timur terlihat aneh meratapi tubuh Nick yang terbaring tak sadarkan diri. Aku mendekat tapi takut mengganggu dia yang masih membacakan bagian akhir dari cerita David. Hanya bisa berdiri sampai dia selesai bercerita pada Nick yang tertidur hingga selesai.


Dear Mega,


Saat kita kehilangan, bukan berarti sesuatu telah direnggut paksa dari kita. Apa yang kita punya, semua hanya titipan dari Yang Maha memiliki segalanya. Bagaimana bisa kita masih merasa kehilangan sesuatu yang bukan milik kita? Mungkin saja Tuhan menghendaki hal itu untuk diamanatkan pada orang lain yang lebih tepat dan kelak akan menggantinya dengan sesuatu yang lebih baik.

Sampai tujuh kehidupan jika Tuhan mengijinkan, aku akan selalu ada untukmu. Tapi kali ini aku menyadari sepenuhnya. Pintu yang kupilih saat ini, kurasa adalah pintu yang paling tepat yang pernah kupilih daripada pintu-pintu sebelumnya. Satu-satunya hal yang menyakitiku hanyalah airmatamu, Mega. Kumohon dengan sangat gantilah semua itu dengan senyummu. Biarkan hujan ini berhenti dan digantikan pelangi.

Salam manis selalu dariku, Seekor kupu-kupu yang sedang terbang menunggu kematiannya. Yang bagiku lebih tepat sebagai pintu awal kehidupan abadiku. Biarkan kuartikan kata cinta hanyalah namamu, “MEGA”.


DAVID


“Aira,” sapaku saat dia selesai membaca surat terakhir David untuk Mega.
“Sonia? Sudah lama di sini?” kata Aira sambil mengusap airmatanya.

Siapapun yang melihat semua ini pasti akan mengira jika mereka adalah pasangan gay paling romantic yang pernah ada. Sebagian pasti akan menggunjingkan dan memakinya, dan sebagian lagi mungkin hanya berdoa dalam hati agar mereka bertobat. Hanya aku yang bisa merasakan perasaan Aira saat ini. Aku bisa mengerti kesedihan yang sama yang dirasakannya, karena aku juga menyukai pria yang sama yang dicintainya, bedanya cintaku tak berbalas tulus dan Aira tak sanggup memilikinya utuh walau sudah mendapatkan hatinya.

Takdir itu kejam ya?

Takdir seperti tidak bermata dan tidak berhati. Menjalankan tugasnya tak memandang dan menyimpan sedikit belas kasihan.

“Sabar, Aira. Semua pasti akan berakhir indah.”
“Sepertinya aku tidak sanggup lagi untuk menjalani semua ini, Sonia. Terlalu berat.”

Dia memelukku erat. Terkesan aneh rasanya jika sosok seorang cowok memeluk erat cewek untuk mencurahkan apa yang dirasakannya. Setegar apapun cewek, pelarian terakhir adalah airmata. Dia masih berusaha tidak menangis karena tubuhnya masih tetap seorang pria.

“Tadi aku sudah memarahi Webe dan meminta pertanggungjawabannya,” kataku masih terbawa emosi karena ulah keluarga Webe yang telah membuat Nick sedemikian parah.
“Webe sudah menceritakan semuanya padaku. Sepertinya kita tidak boleh terus menyalahkannya.”
“Tapi, Aira. Apa kamu percaya begitu saja semua yang diceritakannya.”
“Aku percaya.”
“Aku tidak. Dia harus tetap bertanggungjawab atas semua ini.”
“Semua ini sudah takdir, Sonia. Aku sendiri berharap jika bisa meminta sesuatu, nyawaku untuk ganti nyawanya hingga Nick bisa bahagia bersamamu. Tapi harus cari Tuhan dimana coba? Harus dengan apa untuk melakukan pertukaran?”
“Kok kamu ngomongnya gitu sih? Berdoalah. Berdoa agar semua baik-baik saja.”
“Aku sudah lelah berdoa, Sonia. Keajaiban yang sedang kunanti saat ini. Jika saja hidup kita hanya hasil tulisan orang lain seperti kita biasa membuat novel, aku berharap penulisnya sedikit iba padaku.”

Aku mendekap Aira sekali lagi. Tanpa kusadari Bu Sinta ternyata akan masuk menjenguk Nick dan hanya berdiri di depan pintu, sebelum dia akhirnya memutuskan untuk beranjak pergi dan menunggu di luar. Dia pasti salah paham dan mengira aku memang sudah resmi jadian sama Timur. Selang beberapa saat kemudian, mama dan juganya Timur masuk ruangan, dan kami menjadi kikuk sendiri.

“Kamu juga harus jaga dirimu, Timur. Kasihan Sonia kan?” kata mamanya Timur masih mengira aku adalah pacarnya Timur.
“Nick tidak memiliki keluarga lain di sini, Ma. Dia juga satu-satunya sahabatku di sekolah baruku. Oh, yah. Kenalkan ini Sonia.”

Aku menjabat tangan ayahnya Timur.

Kedua orang tua Timur memang terlihat sangat menyayanginya. Dia adalah anak laki-laki tunggal yang mungkin akan menjadi harapan keluarga mereka. Ingin sekali keluar ruangan dan menjelaskan semua pada Bu Sinta, jika aku dan Timur tidak ada apa-apa. Tapi apa dia percaya, jikapun aku bilang kami tidak pacaran, maka Timur yang juga Aira, pasti tidak akan diijinkan untuk menjaga Nick lagi karena gossip itu terlanjur tersebar.

Timur sebenarnya tidak ingin ikut pulang bersama keluarganya, tapi mamanya maksa dia harus pulang. Akhirnya aku yang jaga Nick seorang diri. Sedih banget rasanya melihat orang yang disukai terbaring tak berdaya di rumah sakit. Saat aku tanya dokter yang memeriksa keadaannya, katanya lukanya cukup parah dan harapan selamat memang kecil. Dokter hanya meminta aku banyak berdoa.

Pengen nanges.

Aku tidak mau dan belum siap kehilangan dia walau dia bukan apa-apa bagiku, kecuali satu-satunya pria yang telah mendapatkan hatiku.

Titut Titut

Hapeku berbunyi dan mama menelponku karena sampai mau maghrib belum pulang dan tidak memberi kabar. Iya, aku sampai lupa belum telepon rumah. Terus kalau aku pulang yang jaga Nick siapa.

“Iya, Ma. Sebentar lagi aku pulang,” jawabku.
“Tunggu saja papa jemput kamu. Kamu tuh, masih sakit malah jenguk teman sampai jam segini,” kata mama sedikit agak marah.
“Iya, iya.”

Terus siapa yang jaga Nick? Aku keluar untuk cari perawat agar menjaganya. Tapi di bagian kafentaria, Webe melangkah ke arahku membawa beberapa makanan kecil. Mau apa lagi makhluk sialan itu datang ke rumah sakit ini.

“Makanlah dulu,” kata Webe.
“Mau apa kamu kemari?”
“Sonia. Kamu tuh habis kena Tipus, jadi jangan sampai terlambat makan. Makanlah!”
“Pergi sana. Aku mau cari perawat untuk menjaga Nick.”
“Biar aku yang menjaganya.”
“Aku tidak percaya denganmu.”
“Beri aku kesempatan untuk menebus kesalahanku, Sonia. Please. Makanlah dulu.”

Cowok ini pantang menyerah juga. Dia selalu bisa membuatku tidak bisa menolak apapun yang dikatakannya padahal aku begitu membencinya. Akhirnya aku mengambil sebungkus roti untuk kumakan sambil menunggu papa menjemput.

Ngapain dia melihatku seperti itu? Risih rasanya diliatin saat makan. Belum pernah lihat cewek cantik makan roti kali ya?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar