BAB 9
Rasanya pengen pingsan. Saat sadar jika ini nyata dan
yakinin mataku sekali lagi, pengen pingsan lagi. Mungkin jika Nick berpose
seperti itu dengan gadis yang sangat cantik, atau nenek tua sekalipun bukan
masalah bagiku. Tapi ini malah bersama Timur?
Apa ini mungkin yang akan dijelaskan Timur tadi malam?
Jika benar mereka berdua ‘pacaran’, kenapa juga Timur bersikeras agar aku
memberi kesempatan Nick sekali lagi? Aku terlalu terpuruk memikirkan hal ini
dan tidak bisa memikirkan alasan logis lain selain apa yang kulihat dengan
mataku.
Kira-kira Mia sudah tahu tentang hal ini belum ya? Dia
pernah menyukai kedua cowok itu dan sempat salah paham padaku. Mungkin dia juga
merasakan hal yang sama denganku. Sakit benget. Jika Timur, aku mungkin tidak
begitu mempeduikannya, tapi Nick? Entahlah.
Nazria main ke rumah seperti janjinya tadi saat
menelponku. Sebenarnya aku sudah tidak sabar mendengar klarifikasi kebenaran
foto itu. Masa iya sih? Sangat sulit dipercaya rasanya.
“Masuk, Ri,” kataku langsung memintanya ke kamarku di
atas. “Sudah dengar klarifikasi langsung dari Nick?”
“Tadi mereka dipanggil ke BK.”
“Nick dan Timur ya?”
“Webe dan juga Imel. Ternyata benar Webe yang sengaja
upload foto itu setelah mengambil gambar mereka selesai main bola. Ngapain
coba? Kurang kerjaan sekali kan Si Webe itu.”
“Foto itu editan kan?”
“Aku tidak yakin, Son.”
“Kok ekspresimu seperti meyakini jika foto itu tidak
editan?”
“Nick mengakui jika foto itu memang asli.”
“Tidak mungkinlah. Aku kenal Nick orangnya tidak
seperti itu, Ri.”
“Karena itu aku tadi bilang kurang yakin. Mungkin saja
dia hanya ingin melindungi Webe dan Imel.”
“Terus apa tindakan BK?”
“Sementara ini sih, mereka hanya kena skor. Tapi
keputusan lebih lanjut nunggu rapat dari Dewan Guru dan Komite.”
Pasti Bu Sinta tahu semua ini. Bagaimana jika dia
melaporkan hal ini pada orang tua Timur? Dia pasti akan kena marah besar. Aku
masih belum bisa menerima pengakuan Nick. Menurutku mustahil jika dia memang
seorang Gay.
Nomor Timur maupun nomor Nick tidak bisa kuhubungi.
Rasanya pengen nangis mendengar berita ini. Aku memang tidak memiliki status
apa-apa dengan mereka, tapi mengapa aku sesedih ini ya? Aku merasa begitu
dikhianati dan ditikam sangat dalam. Jika tidak ada Nazria di kamar ini,
mungkin aku sudah nangis peluk guling.
“Yang sabar ya, Son.”
“Awalnya aku sudah bisa lupakan dia, Ri. Tahu tidak
jika di rumah sakit kemarin itu, Nick memberiku origami burung dan menciumku?”
“Dia cium kamu?”
“Karena itu aku tidak percaya jika dia itu maho.”
“Iya. Apa mungkin ini ulah Webe ya? Dulu saat pertama
kali Nick masuk kelas, mereka sempat berkelahi dan kena skor dua hari. Ga tahu
juga kapan mereka baikkan. Kabarnya juga, Webe maksa Nick masuk Tim
sepakbolanya, tapi Nick malah milih masuk kelas sastra.”
“Kok aku ga tahu cerita itu?”
“Ya iyalah, kamu kan tahunya Nick datang pas sudah di
kelas sastra. Apa perlu kuingatkan lagi jika kamu waktu itu sedang galau satu
semester?”
“Sudah ga usah dibahas masalah itu. Tapi, dari cara
dia cium keningku, aku bisa merasakan jika dia bukan maho kok.”
“Sabar deh. Nanti kebenaran juga akan terbuka sendiri.”
Jika seperti ini sih, bisa galau satu abad diriku. Pasti saat aku masuk kelas besok,
semua pandangan akan terarah padaku juga. Mereka semua mengira aku pacaran sama
Timur, eh sekarang malah Timurnya sama Nick.
Cacing yang kemarin kuminum itu pasti sudah mengutukku
beramai-ramai agar aku selalu galau. Ayolah, Nick. Jelaskan padaku yang
sebenarnya jika kamu tidak seperti itu dan bukannya malah mengakuinya.
Nazria pamit pulang setelah menitipkan copy soal dari
pelajaran tadi siang di sekolah. Mau kerjain bagaimana coba, jika perasaanku
kalut seperti ini. Mana soalnya aku belum pernah dapat materinya lagi. Pengen
nangis. Pengen guling-guling dan tidak ingin percaya lagi dengan cowok yang
namanya Nickolodeon. Aku juga yang terlalu larut dalam euphoria ciuman itu dan
melupakan bahwa cowok itu pernah melukai hatiku begitu dalam dan sekarang
mengulanginya lagi.
Sampai maghrib aku tidak keluar dari kamarku. Mama
beberapa kali memastikan kesehatanku. Aku hanya bilang tidak apa-apa. Aku ga
selera makan hari ini, terlebih dengan nasi lembek seperti ini. Makanan Jepang
saja aku ga minat, apa lagi yang ini.
“Makan sedikit ya? Bagaimana mau sembuh jika ga mau
makan,” kata mama berusaha membujukku.
“Malas, Ma. Ga enak rasanya.”
“Ya, memang. Tapi jika ga makan tubuh kamu akan
semakin lemas.”
“Taruh situ saja deh. Nanti kalau sudah laper, aku
makan.”
Hampir setiap lima menit, mama masuk ke kamar. Aku
sengaja memperpanjang salat maghribku agar sedikit bisa melupakan semua ini.
Sulit. Sekarang mungkin aku harus mengakui jika memang aku sangat mencintai
Nick dan tidak bisa menggantikannya dengan cowok lain.
“Sonia, ada temenmu jenguk,” kata mama masuk lagi ke
kamar.
“Suruh pulang saja, Ma. Hari ini aku baru malas nemuin
siapa-siapa. Aku pengen istirahat.”
“Tapi yang datang cowok kamu dan temennya.”
“Timur maksudnya?”
“Ya. Emang kamu punya berapa cowok?”
“Ok, aku ganti baju dulu, Ma. Suruh tunggu di depan
saja ya.”
Timur? Apa mungkin dia kemari bersama Nick untuk
jelasin semuanya? Jika Nick kemari hanya ingin minta maaf dan bilang bahwa
Timur itu pacar barunya, aku sudah siap menamparnya sampai bengkak pipinya.
Kalau perlu kurontokkan semua giginya, biar dia ga bisa bohong lagi. Bohongi
aku lebih spesifiknya.
“Sonia,” kata Timur berusaha menjelaskan sesuatu tapi
dicegah oleh Nick.
“Ok. Ada yang ingin kalian bicarakan denganku,” aku
berusaha mengatur emosiku.
“Aku yakin kamu sudah mendengar tentang foto itu,”
kata Nick langsung ke pokok masalah tanpa aku menyinggung hal ini.
“Foto apa?” kataku pura-pura tidak tahu hal ini karena
tadi aku memang tidak berangkat sekolah.
“Biar aku yang ngomong, Nick,” kata Timur tidak sabar
mengklarifikasi semuanya.
“Sebenarnya kalian ingin ngomong apa sih, cepeten aku
mau istirahat.”
Mereka kembali diam.
“Aku yakin kamu sudah melihat foto itu, Sonia. Aku
tahu kamu pasti akan menyalahkan kami, jadi sebelum kamu mengomentarinya,
kuharap kamu dengarkan dulu cerita kami,” kata Timur seakan bingung memulai
dari mana.
“Sudah, biar aku saja,” kata Nick tanpa basa basi.
“Aku mencintainya dan kamu tak perlu menanyakan kebenaran apapun dari
teman-teman di sekolah, karena kebenaran yang sebenarnya, aku memang sangat
mencintainya.”
Pengen pingsan. Semua tulang-tulangku seperti menjadi
bantal guling dan sangat lemas. Bagaimana bisa dia berkata seperti itu di
hadapanku seakan tidak menghargai sedikit pun perasaanku. Mulutku terkatup tak
bisa berkata apa-apa. Aku hanya bisa berusaha sekuat tenaga menahan agar
airmata ini tidak menghambur keluar dan menjadi tsunami. Tapi bagaimanapun aku
hanya gadis yang lemah. Panas rasanya hatiku dan mataku mulai berkaca-kaca tak
bisa menyembunyikan perasaanku.
“Nick, kamu ingat janjimu padaku kan?” kata Timur
berusaha mencegah Nick bicara lebih banyak lagi.
“Aku sudah tidak sanggup lagi menahan semuanya. Biar
saja dia tahu yang sebenarnya. Dengar, Aira. Aku tidak ingin terus berbohong
pada diriku sendiri dan orang lain. Sangat sulit rasanya untuk mengabaikanmu
dan kamu malah terus memaksaku untuk jalan bersamanya. Ini sangat tidak adil.”
Pengen nangis guling-guling tapi hanya bisa berdiri
dan menyaksikan mereka beradegan romantis di depanku.
“Nick, kumohon. Hanya bersamanya aku yakin kamu bisa
bahagia. Tidak mungkin jika kamu hidup dalam bayang-bayang diriku kan? Apa yang
akan mereka bicarakan jika melihat hubungan kita. Keajaiban yang kau yakini itu
saja sudah cukup membuatku bahagia asal kamu bahagia. Dan kumohon kamu jangan
merusaknya.”
Sudah cukup.
Aku muak.
Aku pengen muntah rasanya melihat semua hal kejam yang
mereka lakukan di hadapanku saat ini.
@3####2@!1!1$%&*@@#
“Cukup! Puas sekarang? Puas sudah menampilkan sebuah
opera yang sukses membuatku terpuruk lebih dalam dan tak bisa bangkit lagi,”
kataku tak bisa lagi menahan tangisku. “Sekarang pulanglah, aku pengen tidur.”
Aku beranjak masuk rumah dengan hati hancur tak
terlukiskan lagi. Baru saja aku disiksa dengan sangat melalui sebuah adegan
memuakkan yang sangat menjijikkan tepat di hadapanku. Kejam sekali mereka.
“Sonia, aku Aira. Itu yang harus kamu ketahui. Dan
Nick akan tetap menjadi milikmu seperti janjiku,” kata Timur membuatku
terperanjat kaget tidak bisa mempercayai semuanya.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar