Selasa, 28 Agustus 2012

SONIA SWAN BAB 6: DAVID


BAB 6


  • thx fine
    its not problem for me :)
    but u always my best friend ever after :)
Top of Form

Membaca status Mia yang masih menganggapku sahabatnya membuatku semakin merindukannya. Aku merasa sangat bersalah terhadapnya, terutama tentang Timur. Dia hanya salah paham masalah itu. Sepertinya dia dekat banget dengan cowok yang bernama Edward itu. Dilihat dari perbincangan mereka, Edward kayanya tahu jika dukun online itu aku. Sampai saat ini pun, Mia masih menanyakan aku sibuk melayani pasienku atau tidak.

Pengen rasanya nangis saat malam sepi begini. Bagaimana caranya jelasin ke dia jika aku tidak ada hubungan apa-apa dengan temennya yang bernama Timur itu. Dianya yang sok dekat sama aku. Aku juga tahu dirilah, masa tega aku makan cowo yang ditaksir sahabatku sendiri. Sudahlah, mendadak kepalaku jadi pusing sekali rasanya.

Pagi ini aku benar-benar demam. Serius demam dengan suhu badan yang cukup panas. Mama terlihat cukup cemas tidak seperti kemarin yang hanya menganggap aku galau normal bagi ABG sepertiku. Papa ngotot memeriksakanku ke dokter dan ternyata aku positif tipus bukan gejala lagi dan harus dirawat inap.

Tubuhku terlalu lemah dan lemas untuk mengenali semua yang datang menjengukku. Kok bisa ya, aku jadi beneran sakit ga main-main begini? Padahal awalnya aku ga masuk hanya karena malas ketemu Nickolodeon. Dokter mengatur program dietku dan aku diwajibkan untuk mengikuti prosedurnya. Tidak boleh makan yang ini itu, unaunu pokoknya. Aku sebenarnya pengen banget makan mangga yang kemarin atau kapan tuh diberikan Timur. Sepertinya segar dan manis enak banget, tapi juga ga boleh.

Sudah seminggu lebih aku dirawat di rumah sakit hingga banyak mata pelajaran yang tertinggal. Saat mama memintaku minum obat, mama bilang padaku katanya pacarku nungguin aku di luar sejak hari pertama kali masuk rumah sakit. Pacarku? Pacar yang mana? Nickolodeon maksudnya? Rasa penasaran dengan perkataan mama membuatku meminta mama menyuruh orang yang ngaku pacarku itu masuk.

Kaget rasanya saat yang datang ternyata bukan Si Nickolodeon itu. Timur? Ngapain juga dia ngaku-ngaku jadi pacarku? Akan sulit menjelaskan yang sebenarnya sama Mia jika mama tahunya Timur itu memang pacarku.

“Mau apa?” kataku setelah mama pergi meninggalkan kami berdua.
“Bagaimana keadaanmu?” tanya dia terlihat sangat mengkhawatirkanku.
“Harusnya kamu tidak di sini. Aku tidak ingin hubunganku dengan Mia semakin berantakan. Sejak kamu datang, Mia semakin menghindariku. Kamu tahu aku sudah sahabatan dengannya berapa tahun? Tolong jangan rusak hubungan kami.”
“Aku hanya mengkhawatirkan keadaanmu.”
“Kenapa kamu bilang ke mama jika kamu pacarku?”
“Jika tidak begitu, mana boleh aku tetap di sini. Sonia, aku tidak akan membuat kesalahan yang sama lagi. Kamu tak perlu memikirkan apapun mengapa aku melakukan semua ini. Tidak akan kau dapatkan pejelasan yang masuk akal di sana. Kelak jika waktunya tiba, kau akan mengerti dengan sendirinya. Percayalah. Apakah kau yakin akan keajaiban?” kaget aku saat Timur mengatakan hal yang sama yang bisa dikatakan oleh Nick. Sebegitu dekatnyakah dia hingga kompak mempermainkan perasaanku.

Dia membacakan cerita dari buku yang dibawanya. David. Entah mengapa dia menyukai sekali buku itu. Menurutku tidak begitu bagus. Alasan yang kudapat dari dirinya, ada namaku di buku itu.

Alasan konyol. Semakin lama aku semakin merasa ada hal yang menarik dari kepribadiannya. Sebuat karakter yang kuat yang tidak dimiliki oleh anak seusia kami yang doyan banget dengan istilah galau.


“....

Diary yang satu mana? Aku tanya mama, tapi mama bilang tidak tahu. Kubuka-buka lagi satu per satu dan kuyakin diary yang hilang adalah diary saat Mega masih SMP dan itu artinya kejadian yang telah kulewati membuat diary itu tertinggal di sana.

“David, kenapa Sonia menangis?” tanya mama membuatku kaget karena kau baru saja membaca salah satu diary itu.
“Mana aku tahu. Kurasa itu juga bukan urusanku deh, Ma.”
“Kamu menyakiti hatinya ya?”
“Sejak kapan sih mama ikut campur urusan pribadiku. Ma, aku sendiri tidak tahu sejak kapan Sonia jadi pacarku. Bisa saja kan dia mengaku-ngaku kalau dia itu pacarku. Lagi pula aku juga tidak menyukainya.”
“Kok bisa sih kamu ngomong kaya gini. Terang saja dia nangis. Jika kamu tidak suka dia, kenapa dulu kamu pacari? David. Sonia itu gadis yang baik. Jangan sia-siakan dia. Aku lihat dia itu sangat perhatian padamu. Apa kamu sudah punya yang lain?”
“Aku sedang tidak ingin membahas ini, Ma.”
“Biasanya kamu semangat sekali jika membahas masalah Sonia. Kamu salah minum obat lagi ya? Atau jangan-jangan temen kamu ngajak minum?”
“Mama ngomong apa sih? Biarkan aku fokus dulu membaca diary ini dan membuatku mengerti apa yang sedang terjadi pada diriku. Boleh tanya sesuatu?”
“Apa lagi?”
“Sejak kapan aku masuk tim sepak bola? Setahuku sejak dulu aku tidak bisa bermain bola.”
“Jangan membuat mama takut ah. Aku telepon ayah kamu ya?”
“Ayah masih hidup?”
“Ya iyalah. Kok kamu jadi aneh gini sejak pulang tadi?”

Menurutku jika aku melihat tubuhku yang sudah remaja seperti ini, harusnya ayah sudah meninggal karena gagal jantung. Kok aneh. Semua menjadi tidak seperti yang seharusnya. Selain itu mama juga merestui hubunganku dengan Sonia. Bukankah aku dan Sonia tidak pernah bertemu sebelumnya, kecuali saat SMP. Itu saja seharusnya tidak terjadi. Akhirnya mama meninggalkanku dengan penuh pertanyaan yang terlihat di wajahnya. Aku menggunakan kesempatan ini untuk membaca Diary Mega, siapa tahu kutemukan jawaban dari semua kekacauan ini. Aku merasa sedang mengalami dejavu. Semua ini seperti seolah memang pernah terjadi padaku dan harus terjadi padaku.

Tiba-tiba saja kepalaku menjadi pusing sekali. Seisi kamarku bergoncang hebat seperti terjadi gempa bumi dan semua lukisannya beterbangan seperti sekumpulan kelelawar. Darah kembali mengalir dari hidungku dan kepalaku seperti mau pecah. Sakit sekali. Semua tulisan dalam diary Mega seperti ditranfer dalam hardisk di otakku secara paksa sampai kapasitas otakku penuh dan semakin lelet. Darah itu mulai membasahi bed cover dan juga selimutku, membuat mama takut saat masuk ke kamarku melihat keadaanku. Aku kembali terbaring pingsan.

“David...” kata mama memandangku sendu tergolek di atas ranjangku.
“Aku kenapa?” tanyaku lagi.
“Tidak apa-apa. Kamu istirahat saja dulu.”
“Aku ingin bertemu Mega.”
“Mega?”
“Ya.”
“Siapa Mega?”

Oh ya. Aku lupa jika pacarku sekarang bukanlah Mega tapi Sonia. Aku hanya diam saat mama menanyakan tentang Mega, tapi sepertinya mama memaklumi keadaanku yang memang terlihat menyedihkan.
Mama mungkin mengira jika aku sedang terganggu ingatanku karena dampak mimisan tadi yang membuatku pingsan entah berapa lama. Intinya ada yang tidak beres dengan kepalaku.
“Mau kemana?” tanya mama melihatku bangun dari tempat tidurku dan melepas sendiri selang infus yang menempel di tanganku. Sekarang aku baru tahu jika aku tidak berada di rumah tapi berada di rumah sakit. Separah itukah yang kuderita hingga aku harus rawat inap di sini.
“Aku mau mencari buku diaryku.”
“Nanti mama ambilkan dan sekarang kamu tidur saja dulu. Dokter bilang kamu tidak boleh banyak bergerak. Hati-hati dengan kepalamu.”
“Diary itu lebih penting dari hidupku, Ma. Semua ada di sana dan aku harus tahu sesuatu tentang diriku. Aku sendiri sekarang bingung dengan apa yang sedang terjadi. Semua membuatku semakin kacau. Sudahlah, aku sendiri tidak bisa menjelaskannya.”
“David, tunggu!” mama mencegahku melangkah keluar kamarku dengan sempoyongan memegang kepalaku, “kamu tidur di sini saja dan biarkan mama yang mengambilkan untukmu. Jika ada yang kamu butuhkan panggil saja Sonia. Dia sedang berada di depan bersama temannya.”

Akhirnya mama mengalah untuk mengambilkan diary yang kumaksudkan. Mama berbicara dengan seseorang di luar kamarku. Aku yakin mama pasti sedang berbicara dengan Sonia. Bagaimana aku bisa nembak cewek yang aku sendiri tidak menyukainya. Ini sangat aneh menurutku. Sonia masuk diikuti oleh temannya yang masih terunduk hingga aku tidak begitu jelas melihat wajahnya. Jantungku berdetak kencang seperti menemukan lagi changer yang tepat. Changer yang mampu membuat jantungku bertahan lama seperti batere Energenzer. Kuharap itu dia. Kuharap yang Sonia bawa sekarang adalah Mega.

“Apa kabar, David?” tanya Sonia diikuti wajah manis di belakangnya dan membuat jantungku lebih melonjak-lonjak girang.
....”

“Ok. Lanjutin besok lagi ya ceritanya,” kata Timur menutup bukunya dan semakin membuatku penasaran akan kelanjutan cerita yang dibacanya.
“Endingnya bagaimana?” tanyaku dengan wajah penasaran.
“Udah besok lagi ya, kamu harus istirahat.”
“Boleh aku pinjam?”
“Katanya kemarin tidak tertarik.”
“David akhirnya sama Sonia atau Mega?” sueerr, aku tertarik banget dengan cerita buku ini.


Timur meninggalkan buku itu untukku. Wajahnya terlihat sangat letih seperti kurang tidur. Apa mungkin dia memang tidak tidur menungguiku. Kurang kerjaan banget.

Keesokan harinya dia datang lagi sebelum berangkat sekolah. Pagi amat. Dia membawakan beberapa buku catatan yang dipinjamnya dari Nazria. Aduh, jika gini terus aku bisa gila nih. Nick datang mengunjungiku siang harinya. Tatapan matanya tertuju pada buku yang sedang kubaca.

“Timur datang kemari?” tanya dia sukses menebak dengan tepat.
“He.em. Ada masalah?”
“Dia juga yang berikan buku itu?”
“Kenapa?”

Dia diam berpikir.

Maunya apa sih dia? Dia tidak bicara apa-apa dan hanya meletakkan origami burung kertas –bukan lagi kodok kertas- di atas meja. Dia mendekat padaku memegang tanganku lembut. Jantung ini seperti dipacu dengan kejutan jantung. Bibirku seperti dilem, terkatub tak bisa berkata apa-apa.

“Yakinlah pada keajaiban, Sonia.” Kata dia mengecup keningku dan pergi begitu saja.

Ya Tuhan. Sebenarnya apa sih maunya? Kenapa aku tidak bisa menolak saat dia mendekatkan wajahnya ke keningku dan hanya bisa memejamkan mataku seolah memberi ijin baginya? Jika seperti ini bagaimana aku bisa melupakannya. Sikapnya dingin dan misterius tapi aku selalu menggali arti dari sana. Aku seperti mencari-cari air di tengah tandusnya gurun.

Beberapa hari berlalu, tapi dia belum juga datang. Padahal hari ini adalah hari terakhirku di rumah sakit. Setiap kali Timur datang, aku selalu merasa Nick yang datang. Aku tidak pernah bisa menghilangkan setiap hal terkecil dari dirinya. Sebagian teman-teman sekelasku mengira aku sudah jadian sama Timur. Mungkin Mia juga beranggapan seperti itu. Aku merasa tidak enak sendiri jadinya, terlebih sama Mia.

Sebulan sudah aku tidak berangkat sekolah. Jujur, aku sangat ingin bertemu dengan Mia. Semua tingkahnya yang aneh dan terkadang membuatku bertanya-tanya akan yang dilakukannya. Aku juga kangen saat dia memaksakan diri ngomong pakai Gue Lu hanya untuk dibilang gaul.

Buku David milik Timur ini menarik juga. Sebenarnya aku bingung juga memahami alur ceritanya banyak twisted dan muter-muter. Apa mungkin karena ada namaku di sana hingga aku tertarik membacanya berulang-ulang atau mungkin karena buku ini mendapat perhatian dua cowok yang misterius dalam hidupku. I don’t know.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar