BAB 6
- thx
fine
its not problem for me :)
but u always my best friend ever after :)
- Edward William White hu?
- Mia Oktaz
BrandoniZer
mksd.x?
"hu????" - Edward William White who?
- Mia Oktaz BrandoniZer sonia hahaaha :D
- Edward William
White haha
kok bisa sampai sonia?
ask to dukun - Mia Oktaz
BrandoniZer hha
enda kok,
hm,
kira2 sonia lgy sibuk kga ya ngelayanin pasien2 galaunya - Edward William
White wah
supersibuk dia
cibu deh cibu - Mia Oktaz
BrandoniZer okok
hha, cibu mulu,
naikin dikit kek jadi 100perak, gmn? - Edward William White tahunya cuma cibu kok
- Mia Oktaz
BrandoniZer aku
enda mau bli tahu
mau bli tempe aja #lohh--"
Membaca
status Mia yang masih menganggapku sahabatnya membuatku semakin merindukannya.
Aku merasa sangat bersalah terhadapnya, terutama tentang Timur. Dia hanya salah
paham masalah itu. Sepertinya dia dekat banget dengan cowok yang bernama Edward
itu. Dilihat dari perbincangan mereka, Edward kayanya tahu jika dukun online
itu aku. Sampai saat ini pun, Mia masih menanyakan aku sibuk melayani pasienku
atau tidak.
Pengen
rasanya nangis saat malam sepi begini. Bagaimana caranya jelasin ke dia jika
aku tidak ada hubungan apa-apa dengan temennya yang bernama Timur itu. Dianya
yang sok dekat sama aku. Aku juga tahu dirilah, masa tega aku makan cowo yang
ditaksir sahabatku sendiri. Sudahlah, mendadak kepalaku jadi pusing sekali
rasanya.
Pagi ini aku benar-benar demam. Serius demam dengan
suhu badan yang cukup panas. Mama terlihat cukup cemas tidak seperti kemarin
yang hanya menganggap aku galau normal bagi ABG sepertiku. Papa ngotot
memeriksakanku ke dokter dan ternyata aku positif tipus bukan gejala lagi dan
harus dirawat inap.
Tubuhku terlalu lemah dan lemas untuk mengenali semua
yang datang menjengukku. Kok bisa ya, aku jadi beneran sakit ga main-main
begini? Padahal awalnya aku ga masuk hanya karena malas ketemu Nickolodeon.
Dokter mengatur program dietku dan aku diwajibkan untuk mengikuti prosedurnya.
Tidak boleh makan yang ini itu, unaunu pokoknya. Aku sebenarnya pengen banget
makan mangga yang kemarin atau kapan tuh diberikan Timur. Sepertinya segar dan
manis enak banget, tapi juga ga boleh.
Sudah seminggu lebih aku dirawat di rumah sakit hingga
banyak mata pelajaran yang tertinggal. Saat mama memintaku minum obat, mama
bilang padaku katanya pacarku nungguin aku di luar sejak hari pertama kali
masuk rumah sakit. Pacarku? Pacar yang mana? Nickolodeon maksudnya? Rasa
penasaran dengan perkataan mama membuatku meminta mama menyuruh orang yang
ngaku pacarku itu masuk.
Kaget
rasanya saat yang datang ternyata bukan Si Nickolodeon itu. Timur? Ngapain juga
dia ngaku-ngaku jadi pacarku? Akan sulit menjelaskan yang sebenarnya sama Mia
jika mama tahunya Timur itu memang pacarku.
“Mau
apa?” kataku setelah mama pergi meninggalkan kami berdua.
“Bagaimana
keadaanmu?” tanya dia terlihat sangat mengkhawatirkanku.
“Harusnya
kamu tidak di sini. Aku tidak ingin hubunganku dengan Mia semakin berantakan.
Sejak kamu datang, Mia semakin menghindariku. Kamu tahu aku sudah sahabatan
dengannya berapa tahun? Tolong jangan rusak hubungan kami.”
“Aku
hanya mengkhawatirkan keadaanmu.”
“Kenapa
kamu bilang ke mama jika kamu pacarku?”
“Jika
tidak begitu, mana boleh aku tetap di sini. Sonia, aku tidak akan membuat
kesalahan yang sama lagi. Kamu tak perlu memikirkan apapun mengapa aku
melakukan semua ini. Tidak akan kau dapatkan pejelasan yang masuk akal di sana.
Kelak jika waktunya tiba, kau akan mengerti dengan sendirinya. Percayalah.
Apakah kau yakin akan keajaiban?” kaget aku saat Timur mengatakan hal yang sama
yang bisa dikatakan oleh Nick. Sebegitu dekatnyakah dia hingga kompak
mempermainkan perasaanku.
Dia
membacakan cerita dari buku yang dibawanya. David. Entah mengapa dia menyukai
sekali buku itu. Menurutku tidak begitu bagus. Alasan yang kudapat dari
dirinya, ada namaku di buku itu.
Alasan
konyol. Semakin lama aku semakin merasa ada hal yang menarik dari
kepribadiannya. Sebuat karakter yang kuat yang tidak dimiliki oleh anak seusia
kami yang doyan banget dengan istilah galau.
“....
Diary yang satu mana? Aku tanya mama, tapi
mama bilang tidak tahu. Kubuka-buka lagi satu per satu dan kuyakin diary yang
hilang adalah diary saat Mega masih SMP dan itu artinya kejadian yang telah
kulewati membuat diary itu tertinggal di sana.
“David, kenapa Sonia menangis?” tanya mama
membuatku kaget karena kau baru saja membaca salah satu diary itu.
“Mana aku tahu. Kurasa itu juga bukan
urusanku deh, Ma.”
“Kamu menyakiti hatinya ya?”
“Sejak kapan sih mama ikut campur urusan
pribadiku. Ma, aku sendiri tidak tahu sejak kapan Sonia jadi pacarku. Bisa saja
kan dia mengaku-ngaku kalau dia itu pacarku. Lagi pula aku juga tidak
menyukainya.”
“Kok bisa sih kamu ngomong kaya gini.
Terang saja dia nangis. Jika kamu tidak suka dia, kenapa dulu kamu pacari?
David. Sonia itu gadis yang baik. Jangan sia-siakan dia. Aku lihat dia itu
sangat perhatian padamu. Apa kamu sudah punya yang lain?”
“Aku sedang tidak ingin membahas ini, Ma.”
“Biasanya kamu semangat sekali jika
membahas masalah Sonia. Kamu salah minum obat lagi ya? Atau jangan-jangan temen
kamu ngajak minum?”
“Mama ngomong apa sih? Biarkan aku fokus
dulu membaca diary ini dan membuatku mengerti apa yang sedang terjadi pada
diriku. Boleh tanya sesuatu?”
“Apa lagi?”
“Sejak kapan aku masuk tim sepak bola?
Setahuku sejak dulu aku tidak bisa bermain bola.”
“Jangan membuat mama takut ah. Aku telepon
ayah kamu ya?”
“Ayah masih hidup?”
“Ya iyalah. Kok kamu jadi aneh gini sejak
pulang tadi?”
Menurutku jika aku melihat tubuhku yang
sudah remaja seperti ini, harusnya ayah sudah meninggal karena gagal jantung.
Kok aneh. Semua menjadi tidak seperti yang seharusnya. Selain itu mama juga
merestui hubunganku dengan Sonia. Bukankah aku dan Sonia tidak pernah bertemu
sebelumnya, kecuali saat SMP. Itu saja seharusnya tidak terjadi. Akhirnya mama
meninggalkanku dengan penuh pertanyaan yang terlihat di wajahnya. Aku
menggunakan kesempatan ini untuk membaca Diary Mega, siapa tahu kutemukan
jawaban dari semua kekacauan ini. Aku merasa sedang mengalami dejavu. Semua ini
seperti seolah memang pernah terjadi padaku dan harus terjadi padaku.
Tiba-tiba saja kepalaku menjadi pusing sekali. Seisi kamarku bergoncang
hebat seperti terjadi gempa bumi dan semua lukisannya beterbangan seperti
sekumpulan kelelawar. Darah kembali mengalir dari hidungku dan kepalaku seperti
mau pecah. Sakit sekali. Semua tulisan dalam diary Mega seperti ditranfer dalam
hardisk di otakku secara paksa sampai kapasitas otakku penuh dan semakin lelet.
Darah itu mulai membasahi bed cover dan juga selimutku, membuat mama takut saat
masuk ke kamarku melihat keadaanku. Aku kembali terbaring pingsan.
“David...” kata mama memandangku sendu
tergolek di atas ranjangku.
“Aku kenapa?” tanyaku lagi.
“Tidak apa-apa. Kamu istirahat saja dulu.”
“Aku ingin bertemu Mega.”
“Mega?”
“Ya.”
“Siapa Mega?”
Oh ya. Aku lupa jika pacarku sekarang
bukanlah Mega tapi Sonia. Aku hanya diam saat mama menanyakan tentang Mega,
tapi sepertinya mama memaklumi keadaanku yang memang terlihat menyedihkan.
Mama mungkin mengira jika aku sedang
terganggu ingatanku karena dampak mimisan tadi yang membuatku pingsan entah
berapa lama. Intinya ada yang tidak beres dengan kepalaku.
“Mau kemana?” tanya mama melihatku bangun
dari tempat tidurku dan melepas sendiri selang infus yang menempel di tanganku.
Sekarang aku baru tahu jika aku tidak berada di rumah tapi berada di rumah
sakit. Separah itukah yang kuderita hingga aku harus rawat inap di sini.
“Aku mau mencari buku diaryku.”
“Nanti mama ambilkan dan sekarang kamu
tidur saja dulu. Dokter bilang kamu tidak boleh banyak bergerak. Hati-hati
dengan kepalamu.”
“Diary itu lebih penting dari hidupku, Ma.
Semua ada di sana dan aku harus tahu sesuatu tentang diriku. Aku sendiri
sekarang bingung dengan apa yang sedang terjadi. Semua membuatku semakin kacau.
Sudahlah, aku sendiri tidak bisa menjelaskannya.”
“David, tunggu!” mama mencegahku melangkah
keluar kamarku dengan sempoyongan memegang kepalaku, “kamu tidur di sini saja
dan biarkan mama yang mengambilkan untukmu. Jika ada yang kamu butuhkan panggil
saja Sonia. Dia sedang berada di depan bersama temannya.”
Akhirnya mama mengalah untuk mengambilkan
diary yang kumaksudkan. Mama berbicara dengan seseorang di luar kamarku. Aku
yakin mama pasti sedang berbicara dengan Sonia. Bagaimana aku bisa nembak cewek
yang aku sendiri tidak menyukainya. Ini sangat aneh menurutku. Sonia masuk
diikuti oleh temannya yang masih terunduk hingga aku tidak begitu jelas melihat
wajahnya. Jantungku berdetak kencang seperti menemukan lagi changer yang tepat.
Changer yang mampu membuat jantungku bertahan lama seperti batere Energenzer.
Kuharap itu dia. Kuharap yang Sonia bawa sekarang adalah Mega.
“Apa kabar, David?” tanya Sonia diikuti
wajah manis di belakangnya dan membuat jantungku lebih melonjak-lonjak girang.
....”
“Ok.
Lanjutin besok lagi ya ceritanya,” kata Timur menutup bukunya dan semakin membuatku penasaran
akan kelanjutan cerita yang dibacanya.
“Endingnya bagaimana?” tanyaku dengan wajah penasaran.
“Udah besok lagi ya, kamu harus istirahat.”
“Boleh aku pinjam?”
“Katanya kemarin tidak tertarik.”
“David akhirnya sama Sonia atau Mega?” sueerr, aku
tertarik banget dengan cerita buku ini.
Timur meninggalkan buku itu untukku. Wajahnya terlihat
sangat letih seperti kurang tidur. Apa mungkin dia memang tidak tidur menungguiku.
Kurang kerjaan banget.
Keesokan harinya dia datang lagi sebelum berangkat
sekolah. Pagi amat. Dia membawakan beberapa buku catatan yang dipinjamnya dari
Nazria. Aduh, jika gini terus aku bisa gila nih. Nick datang mengunjungiku
siang harinya. Tatapan matanya tertuju pada buku yang sedang kubaca.
“Timur datang kemari?” tanya dia sukses menebak dengan
tepat.
“He.em. Ada masalah?”
“Dia juga yang berikan buku itu?”
“Kenapa?”
Dia diam berpikir.
Maunya apa sih dia? Dia tidak bicara apa-apa dan hanya
meletakkan origami burung kertas –bukan lagi kodok kertas- di atas meja. Dia
mendekat padaku memegang tanganku lembut. Jantung ini seperti dipacu dengan
kejutan jantung. Bibirku seperti dilem, terkatub tak bisa berkata apa-apa.
“Yakinlah pada keajaiban, Sonia.” Kata dia mengecup
keningku dan pergi begitu saja.
Ya Tuhan. Sebenarnya apa sih maunya? Kenapa aku tidak
bisa menolak saat dia mendekatkan wajahnya ke keningku dan hanya bisa
memejamkan mataku seolah memberi ijin baginya? Jika seperti ini bagaimana aku
bisa melupakannya. Sikapnya dingin dan misterius tapi aku selalu menggali arti
dari sana. Aku seperti mencari-cari air di tengah tandusnya gurun.
Beberapa hari berlalu, tapi dia belum juga datang.
Padahal hari ini adalah hari terakhirku di rumah sakit. Setiap kali Timur
datang, aku selalu merasa Nick yang datang. Aku tidak pernah bisa menghilangkan
setiap hal terkecil dari dirinya. Sebagian teman-teman sekelasku mengira aku
sudah jadian sama Timur. Mungkin Mia juga beranggapan seperti itu. Aku merasa
tidak enak sendiri jadinya, terlebih sama Mia.
Sebulan sudah aku tidak berangkat sekolah. Jujur, aku
sangat ingin bertemu dengan Mia. Semua tingkahnya yang aneh dan terkadang
membuatku bertanya-tanya akan yang dilakukannya. Aku juga kangen saat dia
memaksakan diri ngomong pakai Gue Lu hanya untuk dibilang gaul.
Buku David milik Timur ini menarik juga. Sebenarnya
aku bingung juga memahami alur ceritanya banyak twisted dan muter-muter. Apa
mungkin karena ada namaku di sana hingga aku tertarik membacanya berulang-ulang
atau mungkin karena buku ini mendapat perhatian dua cowok yang misterius dalam
hidupku. I don’t know.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar