Rabu, 29 Agustus 2012

SONIA SWAN BAB 16: .... EMPTY


BAB 16




Beberapa saat kemudian, papa menjemputku dengan wajah kurang senang. Aku bisa memakluminya karena memang ini semua salahku. Dalam perjalanan, aku masih terus memikirkan keadaan Nick yang masih belum sadarkan diri. Teringat kembali perkataan dokter yang mengatakan jika harapan kesembuhan Nick sangat kecil membuatku ingin menangis.

Papa tidak menanyakan tadi di rumah sakit aku menjenguk siapa. Papa hanya diam dan aku tahu tanda diamnya itu berarti papa sedang marah. Sesampai di rumah, aku langsung mandi dan salat maghrib lalu mendoakan kesembuhan Nick. Yang lebih membuatku tidak tenang adalah Webe yang sekarang ini menjaganya. Bagaimana jika dia mencabut selang oksigennya? Bagaimana jika dia menyuntikkan racun ke dalam selang infusnya? Semua pikiran buruk bergelombang, bergantian menghantam pikiranku.

Aku mencoba membuka-buka buku pelajaran dan berusaha menghilangkan semua pikiran buruk tentang kemungkinan hal terburuk yang bisa dilakukan Webe terhadap Nick. Aduh kenapa aku jadi galau sendiri seperti ini sih? Buku yang kubaca sama sekali tidak masuk dalam dereten ruang di otakku. Perlahan kulihat buku David yang terselip di beberapa buku pelajaranku. Aku kembali penasaran dengan buku itu. Buku yang sering dibaca Timur dan juga diberikannya padaku.

Aku membuka beberapa halaman terakhir dan mencoba memahami sekilas isi dari buku aneh milik Timur. Ceritanya sedikit mengarah tentang takdir itu apa dan bagaimana peran Tuhan atas buku yang disebut TAKDIR.


Terima kasih, Tuhan. Engkau tidak jadi mengirimku ke Neraka.

“Mana Tuhan?” tanyaku pada Mega tapi dia malah tersenyum dan meraih tanganku mengajakku ke sebuah tempat yang di penuhi pintu-pintu. “Kamu dikirim Tuhan ke sini untukku ya?” tanyaku lagi dan dia masih tersenyum lagi memberi tanda tanya itu semakin besar.

“Aku Tuhan, hahaha…” kata Dia sambil tertawa lagi dan membuatku semakin dipermainkan.

What? Semakin lama aku semakin tidak mengerti jalan pikiran Tuhan itu bagaimana. Selalu memberi kejutan yang aku sendiri merasa terkucilkan dan terabaikan. Ataukah sekarang Dia sedang menunjukkan secuil kuasa-Nya.

“Tentu saja kamu tidak mengerti yang Aku pikirkan, David. Jika kamu tahu, itu artinya Aku bukan Tuhan. Haha..” Dia kembali tertawa seperti menyindir kebodohanku. Bukan hanya kebodohanku, tapi semua kebodohan manusia yang merasa sok tahu apa pendapat Tuhan, sedang mereka sebenarnya hanyalah ciptaan-Nya.

Aku semakin dibawa untuk berpikir lebih realistis dan terbuka. Jika seorang tukang kayu membuat kursi, mana mungkin kursi itu akan berpikir seperti yang yang diinginkan pembuatnya. Sebegitu sombongnya manusia yang sudah merasa dekat dengan Tuhannya, padahal mereka semakin jauh dari Tuhannya sebelum mereka menyerahkan dengan tulus semua atas kehendak Tuhan itu sendiri.

Aku tertunduk malu karena sudah berbuat dosa lagi, padahal baru beberapa menit tadi mendapat pelajaran langsung dari Tuhan. Mana mungkin manusia mampu berperan sedetik saja menjadi Tuhan dan bisa bersabar. 

“Kenapa, David? Merasa aneh ya melihat Aku dengan wajah kekasihmu? Hahaha kamu boleh panggil aku Mega jika kamu suka.”
“Ampuni aku.”
“Ayolah, kenapa jadi formal begini. Ada sesuatu yang akan Aku tunjukkan padamu. Bukankah harusnya kamu mati tanggal 29 Februari kan, hehehe…”
“Engkau yang lebih berhak menentukkannya.”
“Kemarilah!”
Banyak sekali pintu-pintu yang ada di hadapanku. Apakah aku diminta untuk memilih salah satunya, mungkin Surga atau Neraka?
“Itu pintu menuju Surga atau Neraka?” tanyaku to the point, karena aku yakin Tuhan sendiri juga sudah tahu isi hatiku.
“Itu adalah pintu kesempatan.”
“Pintu Kesempatan?”
“Yap. Ok, sekarang kita lihat, apa saja yang telah kamu lewati darinya.”

Kali ini setiap pintu yang dibuka oleh Tuhan dan menjelaskanku semuanya. Bagaimana pertemuanku dengan Mega saat SMP dan semua kejadian buruk yang menimpaku. Jalur cerita ini seperti film yang komplit dan tidak dipangkas iklan ataupun sensor. Tuhan telah menentukan sesuatu yang tak bisa diubah dan sesuatu yang bisa diubah dengan usaha dan pilihan. 

Pintu kesempatan itu telah membawaku untuk memilih seandainya aku menjadi seorang pemain bola professional dan tidak mengenal Mega. Diawali dengan ayah yang memenangkan tiket nonton Manchester United ke Old Trafford dan bertemu mama di sana. Sejak pertama mendapat tanda tangan dari David Beckham, ayah menjadi terobsesi dengannya. Semua tentang David. Bahkan saat kelahiranku yang ternyata laki-laki, membuat ayah senang sekali dan dengan mantab memberiku nama David Beckham. Semua diusahakan ayah agar aku menjadi seperti dirinya. Maka jadilah aku seperti yang diharapkannya. Tapi semua juga berubah jalur karena pintu kesempatan yang dibuka tidak membawaku satu kelas bersama Mega sewaktu SMP dan itu artinya aku –seharusnya- tidak mengenal Mega.

“Kok ceritanya jadi melenceng jauh seperti ini, sih?” tanyaku bingung.
“Terus harusnya bagaimana?”
“Bukankah ini melanggar aturan takdir?”
“Siapa bilang?”
“Aku masih belum paham.”
“OK. Lihat Aku!”

What? Sekarang wajah Tuhan menjadi Boss. Dengan gayanya yang acuh dan mulai membuatku penasaran. 

“Sekarang paham?” kata Tuhan dengan senyuman khas Boss yang super narsis.
“Belum.”
“Tidak mudah lo, memilih mana doa yang harus dikabulkan dan mana yang tidak. Kita ambil contoh saja kamu dan Mega, Aku ulang berulang kali, apakah akan membawa sesuatu yang lebih baik? Ok, David. Sekarang apakah kamu masih ingin kembali ke awal. Pikirkan baik-baik, Aku masih memberimu kesempatan terakhir.”

Aku terdiam beberapa saat. Sesuatu yang rumit masih belum bisa kupahami hingga kini. Menurutku semua menjadi aneh jika kita berbincang langsung dengan Tuhan. Terlebih jika Tuhan berganti wajah sesuka hati-Nya.

“Aku ingin kembali ke awal,” kataku mantab.
“Serius?”
“Serius.”
“Bukankah tadi kamu bilang sudah lelah?”
“Aku punya alasan sendiri, Tuhan.”
“Boleh Aku tahu alasannya?”
“Jangan mengejekku lagi, Tuhan. Bukankah Engkau maha mengetahui segalanya?”
“Hahahaa sepertinya kamu lebih nyaman berbicara dengan-Ku jika aku berwajah seperti ini ya?”
“Bukan seperti itu. Aku hanya berharap, jika kelak aku tersesat lagi, berikan selalu petunjuk-Mu. Ya, masih banyak hal yang harus kulakukan.”
“Aku berubah lagi jadi Mega ya hahhaa..”

Apakah Tuhan suka bercanda seperti ini? Dulu aku selalu berpikir Tuhan itu kaku, tegas dan menakutkan dengan ancaman Neraka-Nya. Tapi yang kulihat saat ini, Dia begitu murah senyum dan tanpa basa basi. 

“David, sebenarnya Aku suka kamu berada disini. Kamu tidak menyesal memutuskan kembali bersusah-susah lagi di dunia?”
“Dengan petunjuk-Mu, aku tidak perlu khawatir.”
“Bagaimana jika Aku hanya diam saat kamu berteriak-teriak dan memohon?”
“Aku yakin Engkau sedang mendengarnya.”
“Up to you, deh. Ingat jangan nyesel lagi, Ok.”

Sekarang aku sedikit mengerti kiasan aneh di buku ini. Terlalu sering bagi kita merasa sok mengerti yang Tuhan pikirkan, yang Tuhan inginkan itu apa, padahal kita hanya menerka-nerka saja. Sudah ada petunjuk yang jelas yang diberikan-Nya melalui apa saja. Melalui hal kecil yang terkadang malah kita abaikan. Aku seperti diingatkan akan pengajian yang pernah kuikuti yang dulunya malah kutinggal tidur atau bikin status di FB. Menurut Ustadz, Al Quran adalah petunjuk yang nyata.


Maka nikmat Rabb kamu yang manakah yang akan kau dustakan lagi? (QS. Ar-Rahman)

Ayat ini diulang hingga 31 kali, masihkah kita berpikir pahala dan amalan ibadah kita itu sebanding dengan nikmat yang telah Allah berikan pada kita hingga kita berpikir sudah layak masuk dalam surganya. Tidak. Sedikit pun tidak, kecuali karena Ridho dari Allah Ta’alla. Surga itu Rahmatullah.


Dari sini aku mulai mencoba mengambil semua sisi positif yang bisa kupelajari. Mencoba untuk ikhlas. Saat istirahat, aku menyempatkan diri untuk salat di mushala. Setelah pulang sekolah, Webe mengantarku ke rumah sakit untuk menjenguk Nick. Sebenarnya aku belum bisa memaafkan Webe, jadi saat perjalanan, aku hanya diam.

Hari ini Timur tidak datang menjenguk Nick. Sangat sulit dipercaya. Ok, Sonia positif thinking. Aku tak tahu lagi bagaimana caranya agar bisa membuat Nick mengerti jika aku peduli padanya. Setiap hari saat menjenguknya, aku membacakan satu bab buku David. Sudah sampai bab keempat, Timur belum jenguk juga. Lama-lama aku mulai khawatir padanya. Atau mungkin orang tuanya tidak mengijinkan dia menjenguk Nick ya? Takut jika gossip itu kembali menyebar.

Setiap hari hal rutin itu saja yang kulakukan. Berangkat sekolah, istirahat ke mushalla doain Nick, lalu ke rumah sakit bacakan setiap bab. Masih ada Tuhan di atas sana yang pasti mendengar doaku. Keyakinan kecilku akan kesembuhan Nick walau itu sama halnya mengharap keajaiban. Aku tidak peduli teman-temanku menganggapku aneh.

Saat aku mengambil air wudhu, aku melihat Webe sedang berdiskusi dengan Pak Ahmad guru Agama Islam. Entahlah dia mau apa. Akhirnya aku tahu jika dia sedang belajar salat pada beliau. Jiah, taktik basi untuk mendapatkan simpati cewek. Jika pun dia salat hanya untuk mendapatkan simpatiku, itu adalah ciri orang munafik yang akan diancam Naar di neraka. 

Lama-lama kulihat Webe dengan tekun mengerjakan salatnya mulai membuatku menepis semua pikiran negative tentangnya. Bahkan saat aku tidak salat saja dia tetap melakukannya. Apa benar ya dia sudah berubah. Terserah dia. Itu hak dia. Hanya dia dan Tuhan yang tahu.

Ini adalah bab ke 18 dengan judul Ex- Teen. Sudah lebih dari dua puluh hari Nick tak sadarkan diri. Bahkan tanda-tanda kesembuhannya saja tidak terlihat sama sekali.  Saat keluar ruangan, aku berpapasan dengan Mamanya Timur. Wajahnya sedih dan terkesan menyimpan sebuah permasalahan. Ingin rasanya aku bertanya, ada apa dengan Timur. Tapi aku takut, beliau marah.

“Selamat sore, Tante,” sapaku memberanikan diri menegurnya.
“Sonia ya?”
“Benar, Tante. Timur mana?”

Mamanya Timur malah menangis dan mengajakku duduk seperti sulit untuk menceritakan sesuatu yang ingin diceritakannya. Aku harus menunggu sampai beliau berhenti menangis dan menceritakan keadaan yang sebenarnya.

“Setelah kembali dari rumah sakit, Timur mendadak merasa pusing dan ingin tidur, Sonia. Setiap hari tubuhnya semakin lemah dan kini malah tak sanggup lagi menelan makanan. Kami tidak tahu apa sebabnya. Sekarang dia dirawat di ruang 19. Sedih sekali rasanya. Dia adalah anak kami satu-satunya. Kami pernah hampir kehilangannya dan tidak ingin kehilangan dia lagi untuk kedua kalinya. Bahkan dokter saja tidak tahu penyakitnya.”

Sepertinya aku mulai mengerti apa yang sedang dialami Timur saat ini. Timur hanyalah tubuh yang digunakan oleh Aira sebagai nyawanya. Jika Aira saja sudah tidak memiliki keinginan untuk hidup lagi, bagaimana tubuh Timur bisa bertahan. Aira pasti sudah menyerah untuk memperjuangkan keajaiban yang diyakininya. Baginya jika Nick tidak terselamatkan lagi, untuk apa dia hidup. Hanya Nick yang bisa membuat Timur bertahan hidup. Bertahan hidup bagaimana? Nick saja sampai sekarang belum sadarkan diri. Iba sekali melihat Mamanya Timur begitu sedih mencari cara agar putera satu-satunya bisa sembuh kembali.

Aku kembali ke kamar Nick dan mencoba berbisik padanya, “Nick bangunlah. Lihatlah kami. Jika benar kamu sayang Aira, bangunlah. Beri dia semangat dan tidak menyerah. Ayolah, Nick.”

Dia tidak bisa mendengarnya. Yang ada aku hanya bisa terisak menggenggam tangannya yang dingin.

“Sonia,” kata seseorang memegang bahuku.

Aku menengok ke belakang. Webe. Kenapa dia terus yang aku temui? Aku tidak ingin dia ada dalam hidupku.

“Biarkan aku sendiri.”
“Aku akan keluar setelah kamu makan.”
“Lihatlah yang telah kamu lakukan. Puas sekarang?”
“Aku tidak menyalahkanmu jika sampai sekarang pun kamu masih belum bisa memaafkanku. Tapi makanlah dulu. Nick juga akan bilang begitu jika dia bisa bicara.”

Akhirnya aku menggigit roti yang diberikannya. Webe keluar setelah memastikan bahwa aku sudah makan separuh roti itu. Apa Imel tidak marah jika dia setiap hari kerjaannya hanya ngikutin aku terus? Atau mungkin mereka sudah putus? Entahlah. Sejak Nick dirawat di rumah sakit, aku memang sudah jarang sekali berhubungan dengan teman-teman sekelasku. Aku juga sudah jarang membuka jejaring sosialku hingga tidak tahu berita terbaru dari teman-temanku.

Papa mulai terbiasa melihatku pulang sore. Mungkin sekarang papa sudah mengerti jika aku sebenarnya menyukai Nick dari pada Timur. Mungkin juga papa bertanya-tanya mengapa yang sering menjemputku malah Webe. Entahlah lagi.

“Sonia. Aku minta maaf,” kata Mia mengagetkanku saat aku merapikan mukenahku.
“Mia. Maaf kenapa? Harusnya aku yang minta maaf.”
“Kenapa kamu tidak mengkonfirmasi permintaan pertemananku? Kukira kamu benar-benar serius marah padaku.”
“Akhir-akhir ini aku tidak sempat membuka FB, Mia. Maaf ya. Nanti kalau sempat kukonfirmasi.”
“Sepertinya Webe sudah benar-benar berubah, Son. Apa kamu belum bisa memaafkannya?”
“Jika kamu kemari hanya karena diminta dia, sepertinya sampai sekarang aku belum bisa, Mia. Dia yang telah membuat Nick seperti ini. Timur juga terbaring lemah di rumah sakit. Bagaimana bisa aku memaafkan orang yang telah membuat orang yang paling kusayangi tak sadarkan diri hampir sebulan penuh. Sulit, Mia. Hatiku belum bisa ikhlas menerima permintaan maafnya.”
“Ya aku tahu benar sifatmu. Aku mengerti. Kemarin Webe minta maaf pada semua orang yang pernah dijailinya. Apa itu tidak aneh?”
“Terserah dia sajalah.”
“Nanti kamu akan ke rumah sakit? Boleh aku ikut?”
“Silahkan. Lagipula, jika harus semobil berdua terus dengan Webe aku juga cepat bosan.”
“Itu buku terbaru kamu ya?” kata Mia menunjuk buku yang selama ini kubawa.
“Bukan. Ini buku pemberian Timur. Buku ini selalu kubaca agar Nick sadar, karena dulu Nick suka banget buku ini.”
“Son. Kamu tambah kurus. Tidakkah kamu sadar jika yang kamu lakukan itu sangat bodoh.”
“Terima kasih sudah mau bicara jujur.”
“Sudah tidak marah padaku lagi kan?”
“Ya tidaklah, Mia. Bagaimanapun kamu itu adalah sahabatku. Sulit mencari sahabat. Kalau mencari teman sih mudah. Benar tidak? Kamu pasti juga kangen aku kan?”

Kami berpelukan setelah sekian lama saling diam. Sesampai di rumah sakit, masih belum ada kabar positif akan perkembangan kesehatan mereka berdua. Lama aku memperhatikan Webe yang memang sudah banyak berubah. Bahkan dia sekarang lebih rajin beribadah. Dia juga lebih sabar, tidak seperti Webe yang pernah kukenal sebelumnya yang merupakan preman di sekolah kami.

“Kenapa, Son? Percayalah, semua orang pasti bisa berubah. Kamu hanya perlu memberinya kesempatan,” kata Mia mengagetkanku.
“Aku tidak sedang melihatnya kok.”
“Sonia. Beri dia kesempatan. Jangan biarkan dia kembali tersesat lagi di jalan lamanya.”
“Entahlah, Mia. Semoga saja aku bisa.”

Ini adalah keberapa aku tidak tahu lagi. Yang pasti, saat ini aku sudah sampai ke bab terakhir buku ini. Bab ke 32, Tree to Eternity. Bab ini pernah dibacakan Aira karena hanya berisi satu surat terakhir David untuk Mega. Menetes airmataku membacakannya. Saat ini aku tidak berharap lagi Nick sembuh. Aku hanya berharap mereka berdua bisa bersama walau mungkin tidak bersama di dunia ini.

“Tittttttttttttt….”

Suara yang kutakutkan benar-benar terjadi. Garis datar putih di layar itu sudah memberitahukan semuanya jika ini adalah akhir dari kisah Nick. Aku tak sanggup lagi menangis kecuali memanggil perawat jika Nick sudah tiada. 

Dari kamar 19 tak jauh dari ruangan Nick, terdengar suara seorang ibu yang tak bisa merelakan kepergian seseorang. Lengkap sudah. Mereka berdua sekarang sudah pergi untuk selamanya dan bersama seperti janji mereka. Sedang aku? Menangis tidak bisa hanya bisa duduk meratap di pojok lorong dalam kesedihan. 

        Kenapa Tuhan begitu maha tidak adil? Aku sudah memperbanyak ibadahku dan hanya meminta kesembuhannya, tapi itu pun tidak dikabulkan-Nya. Sesekali kurasakan dada ini sangat sesak. Aku ingin sekali menangis dan mengeluarkan semua beban yang menggumpal memenuhi setiap urat di jantungku. Tiba-tiba seseorang mendekapku erat dan membiarkanku menangis mengeluarkan semua beban itu. Aku tidak tahu sudah berapa lama berada dalam pelukannya. Setidaknya aku merasa sedikit rasa hangat. Tidak peduli dia siapa.

SONIA SWAN BAB 15: A THOUSAND YEARS


BAB 15


Tidak salah jika Mia membenciku. Dia pasti mengira aku mudah banget beralih ke lain hati. Setelah Nick, lalu datang Timur. Dan saat mereka berdua dalam masalah karena gossip murahan, dengan mudah aku beralih ke Webe yang notabenenya menyebar foto itu sekaligus yang menyebabkan Nick harus kritis dirawat di rumah sakit. Aku tidak akan menyalahkannya jika dia berpikiran seperti itu. Aku juga tidak akan larut memikirkan apa yang mereka pikirkan tentang aku.

Pulang sekolah, target utamaku adalah mencari Webe untuk buat perhitungan dengannya. Aku takkan lagi memaafkannya kali ini walau tadi sudah mati-matian belain aku di depan bokapnya. Dia adalah orang yang harusnya bertanggung jawab atas masalah yang dialami oleh Nick. Sebenarnya dimana keadilan bisa ditegakkan. Kenapa orang besar jika semena-mena terhadap orang kecil, hukum begitu sulit menjangkaunya.

“Sonia. Aku antar ya?” kata Webe sudah menunggu di depan gerbang sekolah seperti dugaanku.

Tanpa banyak bicara, aku langsung menamparnya dengan keras. Dia hanya diam, bahkan tidak membalas atau menghindar saat aku menamparnya untuk yang kedua kalinya. Pipinya terlihat merah karena bekas tanganku. Aku masih menahan emosi yang terus berkecamuk di dadaku. Ingin sekali rasanya membunuhnya jika itu tidak dosa.

“Pukul lagi sampai amarahmu hilang, Son. Lakukan saja dan jangan biarkan rasa kesalmu menggumpal di dadamu hingga menjadikan dendammu semakin dalam padaku,” kata dia semakin maju lebih dekat padaku.
“Jangan dekati aku!”

Aku memukul-mukul dadanya yang bidang, tapi dia malah terus mendekat. Aku meronta mendorongnya menjauh, tapi dia malah memelukku lebih erat dan aku malah membiarkan diriku menangis sejadi-jadinya di dadanya hingga baju seragamnya basah oleh airmataku. Aku tak mengerti mengapa aku merasa dia bisa melindungiku.

Jiah. Hoeek hoek. Najis.

Aku pasti sedang dihipnotis olehnya dan berbuat bodoh di pinggir jalan seperti ini. Kok bisa aku lupa dengan niatan awalku untuk menanyakan alasan mengapa dia membuat Nick terluka hingga kritis di rumah sakit.

“Kamu manusia atau bukan sih? Tega sekali kamu membuat Nick hingga kritis di rumah sakit.”
“Aku minta maaf.”
“Minta maaf pada Nick, bukan padaku. Sekarang mana tanggung jawabmu?”
“Aku akan bertanggungjawab atas semua biaya perawatannya.”

Aku kembali menangis dan dia memberikan sapu tangannya. Tumben sekali sikapnya berubah sangat draktis dan tidak mencerminkan diri Webe yang terkenal badboy dan egois di sekolah. Bagaimana aku bisa memarahinya sampai aku puas jika dia terus mengalah seperti ini. Ini lebih tidak menyenangkan. Aku berharap dia bersikap seperti biasanya hingga aku bebas meluapkan emosiku.

“Jelaskan padaku semuanya,” kataku meminta Webe menjelaskan kronologinya.

“Aku tidak tahu mengapa Nick langsung menggedor-gedor gerbang rumahku dan berteriak-teriak seperti itu. Sore itu ayah baru pulang dari kantor dan terhalang oleh keributan yang dilakukan Nick dengan satpam. Tahu sendiri sifat ayahku seperti apa. Belum sempat aku melerai pertikaian mereka, tiga orang pengawal ayah terlanjur memukulinya. Aku bermaksud mencegahnya tapi terlambat. Nick sudah terlanjur menerima banyak pukulan di sekujur tubuhnya…

… Kulihat tubuh Nick sudah tergeletak tak sadarkan diri. Aku balik memukuli semua pengawal ayah dan marah besar sama ayah. Benci sekali dengannya yang seperti tak berdosa meninggalkan Nick begitu saja. Akhirnya aku membawa Nick yang telah kritis itu ke rumah sakit sebelum ke rumahmu. Awalnya aku ingin memberitahumu semuanya, tapi aku takut kamu lebih membenciku. Selain itu, ayah juga sudah memecat Kepala Sekolah dan bermaksud mengeluarkanmu. Entahlah. Maaf, Sonia. Jika aku sudah membuat kehidupanmu di sekolah menjadi lebih sulit. Sungguh, aku tidak bermaksud membuat Nick terluka seperti ini. Kejadian masalah foto itu sudah membuatku berpikir untuk lebih dewasa,” Webe menceritakan semua lebih detail.

Memang dari versi Webe, aku tidak bisa sepenuhnya menyalahkannya. Tapi bisa saja kan dia hanya mengarang versi itu agar aku tidak marah padanya. Akhirnya aku meninggalkannya seorang diri dan mencari angkot menuju rumah sakit. Aku tidak ingin Nick kenapa-napa. Jujur dari hatiku, aku memang masih menyimpan semua perasaan itu untuknya walau aku tahu yang ada di hatinya selalu hanya Aira.

Di rumah sakit, Timur duduk sedih menceritakan sesuatu yang pernah kudengar sebelumnya. Ya, kisah dari Novel David yang pernah diberikannya padaku. Aira sangat hafal buku itu. Dia meyakini sebuah keajaiban pasti akan datang pada setiap manusia.

Sedih sekali melihat dua orang saling mencintai dipisahkan oleh sesuatu yang lebih tinggi dari semua tembok yang ada. Sosok Aira terlihat lebih dominan walau dari mata memandang, tubuh Timur terlihat aneh meratapi tubuh Nick yang terbaring tak sadarkan diri. Aku mendekat tapi takut mengganggu dia yang masih membacakan bagian akhir dari cerita David. Hanya bisa berdiri sampai dia selesai bercerita pada Nick yang tertidur hingga selesai.


Dear Mega,


Saat kita kehilangan, bukan berarti sesuatu telah direnggut paksa dari kita. Apa yang kita punya, semua hanya titipan dari Yang Maha memiliki segalanya. Bagaimana bisa kita masih merasa kehilangan sesuatu yang bukan milik kita? Mungkin saja Tuhan menghendaki hal itu untuk diamanatkan pada orang lain yang lebih tepat dan kelak akan menggantinya dengan sesuatu yang lebih baik.

Sampai tujuh kehidupan jika Tuhan mengijinkan, aku akan selalu ada untukmu. Tapi kali ini aku menyadari sepenuhnya. Pintu yang kupilih saat ini, kurasa adalah pintu yang paling tepat yang pernah kupilih daripada pintu-pintu sebelumnya. Satu-satunya hal yang menyakitiku hanyalah airmatamu, Mega. Kumohon dengan sangat gantilah semua itu dengan senyummu. Biarkan hujan ini berhenti dan digantikan pelangi.

Salam manis selalu dariku, Seekor kupu-kupu yang sedang terbang menunggu kematiannya. Yang bagiku lebih tepat sebagai pintu awal kehidupan abadiku. Biarkan kuartikan kata cinta hanyalah namamu, “MEGA”.


DAVID


“Aira,” sapaku saat dia selesai membaca surat terakhir David untuk Mega.
“Sonia? Sudah lama di sini?” kata Aira sambil mengusap airmatanya.

Siapapun yang melihat semua ini pasti akan mengira jika mereka adalah pasangan gay paling romantic yang pernah ada. Sebagian pasti akan menggunjingkan dan memakinya, dan sebagian lagi mungkin hanya berdoa dalam hati agar mereka bertobat. Hanya aku yang bisa merasakan perasaan Aira saat ini. Aku bisa mengerti kesedihan yang sama yang dirasakannya, karena aku juga menyukai pria yang sama yang dicintainya, bedanya cintaku tak berbalas tulus dan Aira tak sanggup memilikinya utuh walau sudah mendapatkan hatinya.

Takdir itu kejam ya?

Takdir seperti tidak bermata dan tidak berhati. Menjalankan tugasnya tak memandang dan menyimpan sedikit belas kasihan.

“Sabar, Aira. Semua pasti akan berakhir indah.”
“Sepertinya aku tidak sanggup lagi untuk menjalani semua ini, Sonia. Terlalu berat.”

Dia memelukku erat. Terkesan aneh rasanya jika sosok seorang cowok memeluk erat cewek untuk mencurahkan apa yang dirasakannya. Setegar apapun cewek, pelarian terakhir adalah airmata. Dia masih berusaha tidak menangis karena tubuhnya masih tetap seorang pria.

“Tadi aku sudah memarahi Webe dan meminta pertanggungjawabannya,” kataku masih terbawa emosi karena ulah keluarga Webe yang telah membuat Nick sedemikian parah.
“Webe sudah menceritakan semuanya padaku. Sepertinya kita tidak boleh terus menyalahkannya.”
“Tapi, Aira. Apa kamu percaya begitu saja semua yang diceritakannya.”
“Aku percaya.”
“Aku tidak. Dia harus tetap bertanggungjawab atas semua ini.”
“Semua ini sudah takdir, Sonia. Aku sendiri berharap jika bisa meminta sesuatu, nyawaku untuk ganti nyawanya hingga Nick bisa bahagia bersamamu. Tapi harus cari Tuhan dimana coba? Harus dengan apa untuk melakukan pertukaran?”
“Kok kamu ngomongnya gitu sih? Berdoalah. Berdoa agar semua baik-baik saja.”
“Aku sudah lelah berdoa, Sonia. Keajaiban yang sedang kunanti saat ini. Jika saja hidup kita hanya hasil tulisan orang lain seperti kita biasa membuat novel, aku berharap penulisnya sedikit iba padaku.”

Aku mendekap Aira sekali lagi. Tanpa kusadari Bu Sinta ternyata akan masuk menjenguk Nick dan hanya berdiri di depan pintu, sebelum dia akhirnya memutuskan untuk beranjak pergi dan menunggu di luar. Dia pasti salah paham dan mengira aku memang sudah resmi jadian sama Timur. Selang beberapa saat kemudian, mama dan juganya Timur masuk ruangan, dan kami menjadi kikuk sendiri.

“Kamu juga harus jaga dirimu, Timur. Kasihan Sonia kan?” kata mamanya Timur masih mengira aku adalah pacarnya Timur.
“Nick tidak memiliki keluarga lain di sini, Ma. Dia juga satu-satunya sahabatku di sekolah baruku. Oh, yah. Kenalkan ini Sonia.”

Aku menjabat tangan ayahnya Timur.

Kedua orang tua Timur memang terlihat sangat menyayanginya. Dia adalah anak laki-laki tunggal yang mungkin akan menjadi harapan keluarga mereka. Ingin sekali keluar ruangan dan menjelaskan semua pada Bu Sinta, jika aku dan Timur tidak ada apa-apa. Tapi apa dia percaya, jikapun aku bilang kami tidak pacaran, maka Timur yang juga Aira, pasti tidak akan diijinkan untuk menjaga Nick lagi karena gossip itu terlanjur tersebar.

Timur sebenarnya tidak ingin ikut pulang bersama keluarganya, tapi mamanya maksa dia harus pulang. Akhirnya aku yang jaga Nick seorang diri. Sedih banget rasanya melihat orang yang disukai terbaring tak berdaya di rumah sakit. Saat aku tanya dokter yang memeriksa keadaannya, katanya lukanya cukup parah dan harapan selamat memang kecil. Dokter hanya meminta aku banyak berdoa.

Pengen nanges.

Aku tidak mau dan belum siap kehilangan dia walau dia bukan apa-apa bagiku, kecuali satu-satunya pria yang telah mendapatkan hatiku.

Titut Titut

Hapeku berbunyi dan mama menelponku karena sampai mau maghrib belum pulang dan tidak memberi kabar. Iya, aku sampai lupa belum telepon rumah. Terus kalau aku pulang yang jaga Nick siapa.

“Iya, Ma. Sebentar lagi aku pulang,” jawabku.
“Tunggu saja papa jemput kamu. Kamu tuh, masih sakit malah jenguk teman sampai jam segini,” kata mama sedikit agak marah.
“Iya, iya.”

Terus siapa yang jaga Nick? Aku keluar untuk cari perawat agar menjaganya. Tapi di bagian kafentaria, Webe melangkah ke arahku membawa beberapa makanan kecil. Mau apa lagi makhluk sialan itu datang ke rumah sakit ini.

“Makanlah dulu,” kata Webe.
“Mau apa kamu kemari?”
“Sonia. Kamu tuh habis kena Tipus, jadi jangan sampai terlambat makan. Makanlah!”
“Pergi sana. Aku mau cari perawat untuk menjaga Nick.”
“Biar aku yang menjaganya.”
“Aku tidak percaya denganmu.”
“Beri aku kesempatan untuk menebus kesalahanku, Sonia. Please. Makanlah dulu.”

Cowok ini pantang menyerah juga. Dia selalu bisa membuatku tidak bisa menolak apapun yang dikatakannya padahal aku begitu membencinya. Akhirnya aku mengambil sebungkus roti untuk kumakan sambil menunggu papa menjemput.

Ngapain dia melihatku seperti itu? Risih rasanya diliatin saat makan. Belum pernah lihat cewek cantik makan roti kali ya?